Jawaban atas pertanyaan Anda akan kami suguhkan dalam dua bagian, jawaban kritik (naqhdi) dan jawaban solutif (halli).
Jawaban kritik (naqhdi)
Tidak diragukan bahwa seluruh ilmuan dan pemikir dari seluruh bidang ilmu pengetahuan memanfaatkan kitab-kitab ilmuan dan pemikir terdahulu. Akan tetapi harus dicermati bahwa mereka bukan tanpa tedeng aling-aling menerima begitu saja tanpa dalil ucapan para pendahulunya.
Sekarang kami ingin bertanya apakah hal ini merupakan sebuah praktik taklid, tercela dan harus dihindari? Apakah harus dikatakan bahwa mereka bertaklid kepada orang mati atau hidup?
Jawaban solutif (halli)
Riwayat-rirwayat yang disebutkan dalam kitab-kitab hadis (kitab-kitab yang dinukil para Imam Maksum) itu terdiri dari tiga bagian pokok:
- Periwayat (rawi) menukil hadis mentah dari para Imam Maksum As namun ia menjelaskan hasil penafsiran dan inferensi (istinbâth)nya.
- Periwayat (rawi) menukil hadis mentah dari para Imam Maksum As namun setelah menjelaskan riwayat ia juga menerangkan pandangan dan penafsirannya (atas hadis dan riwayat tersebut).
- Periwayat (rawi) hanya menukil hadis mentah dari para Imam Maksum As dan tidak menambahkan sesuatu apa pun dari dirinya.
Pertama, apabila seorang mujtahid ingin menjadikan pemahaman periwayat dari riwayat hujjah bagi dirinya maka tanpa syak, sebagaimana yang Anda singgung, hal ini bukanlah ijtihad melainkan taklid.
Kedua, dalam kondisi seperti ini apabila sebagian riwayat yang dinukil dari para Imam Maksum As dijadikan sebagai hujjah (seperti jenis ketiga) namun pada sebagian riwayat tersebut dan hadis, periwayat menjelaskan pandangan dan kesimpulannya setelah menukil hadis dan riwayat seperti bagian pertama maka hal ini sama tidak dapat disebut sebagai ijtihad.
Ketiga, namun apabila periwayat hanya menukil hadis mentah dari sabda para Imam Maksum dalam bentuk nukilan (ansich) dan tidak menambahkan sesuatu apa pun maka dalam kondisi seperti ini periwayat hanyalah memainkan peran sebagai mediator yang tentu saja dengan selaksa persyaratan yang telah disebutkan dalam hujjiyah khabar dan dapat dijadikan sebagai hujjah. Dan apabila seorang mujtahid merujuk kepada hadis tersebut dan menyimpulkannya maka hal ini tidak dapat disebut sebagai taklid atau taklid yang tercela.
Untuk telaah lebih jauh dalam masalah ini kami persilahkan Anda untuk merujuk pada indeks, “Taklid dan Celaan Terhadapnya” No. 8165 (Site: 8320)