Kode Site
fa1240
Ringkasan Pertanyaan
Istri dan suami telah bercerai, siapakah di antara mereka yang memiliki hak perwalian atas anak-anak yang ditinggalkan?
Pertanyaan
Saya adalah seorang ibu yang telah bercerai dan memiliki empat orang anak yang kesemuanya berada di bawah penjagaan saya. Bagaimanakan peran benar yang harus dijalankan ayah mereka? Apakah merupakan haknya secara syar’i untuk menjaga dan memelihara anak-anaknya?
Jawaban Global
Menurut Islam, nafkah (pengeluaran dan uang belanja) seluruh anak berada di pundak seorang ayah dan hak perwalian dan pendidikan anak-anak berbeda-beda tergantung usia mereka, jenis kelamin, putra atau putri.
Imam Khomeini Rah dalam menjawab sebuah pertanyaan dalam hal ini berkata, “Hak perwalian anak laki-laki hingga dua tahun dan anak perempuan hingga tujuh tahun, berada di pundak ibu. Setelah itu, sang ibu tidak memiliki hak (perwalian) dan sang ayah dapat mengambil anak-anak. Seorang ayah dalam kondisi apa pun tidak dapat memutus nafkah anak-anak dan dengan pernikahan sang ibu di tengah masa perwalian, maka hak perwaliannya telah gugur dan sang ayah memperoleh haknya (untuk mengasuh dan mendidik si anak).”[1]
Akan tetapi pada masa-masa ini, ayah dan ibu masing-masing dapat bertemu dengan putra atau putrinya.
Ayatullah Agung Bahjat Rah dalam hal ini berujar, “Pada hari-hari perwalian, masing-masing ayah dan ibu, apabila ingin melihat anaknya atau menyampaikan sesuatu kepadanya atau menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi atau bersama mereka untuk beberapa lama, maka yang lainnya (istri atau suami) tidak dapat menghalangi satu sama lain.”[2] [iQuest]
Imam Khomeini Rah dalam menjawab sebuah pertanyaan dalam hal ini berkata, “Hak perwalian anak laki-laki hingga dua tahun dan anak perempuan hingga tujuh tahun, berada di pundak ibu. Setelah itu, sang ibu tidak memiliki hak (perwalian) dan sang ayah dapat mengambil anak-anak. Seorang ayah dalam kondisi apa pun tidak dapat memutus nafkah anak-anak dan dengan pernikahan sang ibu di tengah masa perwalian, maka hak perwaliannya telah gugur dan sang ayah memperoleh haknya (untuk mengasuh dan mendidik si anak).”[1]
Akan tetapi pada masa-masa ini, ayah dan ibu masing-masing dapat bertemu dengan putra atau putrinya.
Ayatullah Agung Bahjat Rah dalam hal ini berujar, “Pada hari-hari perwalian, masing-masing ayah dan ibu, apabila ingin melihat anaknya atau menyampaikan sesuatu kepadanya atau menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi atau bersama mereka untuk beberapa lama, maka yang lainnya (istri atau suami) tidak dapat menghalangi satu sama lain.”[2] [iQuest]