Apabila meminta pertolongan dari selain Tuhan dengan keyakinan bahwa para pembesar dan wali Allah ini secara langsung memenuhi hajat dan tidak membutuhkan Tuhan dalam memenuhi hajat maka keyakinan seperti ini adalah syirik dan tidak dibenarkan.
Akan tetapi apabila dasar keyakinan ini adalah bahwa para pembesar dan wali Allah ini memenuhi pelbagai hajat dengan izin Allah dan terlaksana dengan kekuasaan (kudrat) Tuhan maka hal ini tidak saja bukan syirik melainkan berpijak pada pokok tauhid dan tidak bermasalah.
Apa yang dimaksud dengan Syirik?
Yang dimaksud dengan syirik adalah bahwa manusia memandang seseorang sebagai serupa dengan Tuhan dalam zat, penciptaan (khaliqiyyah), kepemilikan (malikiyyah), pengaturan (rububiyah), ibadah dan memandang Tuhan memiliki sekutu dan mitra dalam urusan-urusan ini. Karena itu, apabila meminta pertolongan dari selain Tuhan sedemikian sehingga konsekuensinya adalah menempatkan sekutu bagi Tuhan; misalnya kita meyakini bahwa selain Tuhan memiliki kekuasaan dan kekuatan mandiri selain dari Tuhan dalam melaksanakan hajat-hajat maka hal ini adalah syirik dan haram hukumnya.
Akan tetapi apabila dalam meminta pertolongan dari selain Tuhan kita tidak meyakini adanya kekuasaan mandiri pada selain Tuhan bahkan berada secara vertikal dari kekuasaan Tuhan dan pemenuhan hajat-hajat tersebut berlaku dengan izin Tuhan makah hal tidak hanya bukan syirik melainkan mendapat sokongan dan penegasan dari al-Qur’an, Sunnah dan kebiasaan masyarakat.
Karena itu, apabila kita memohon pertolongan dalam urusan tertentu kepada Rasulullah Saw dan hamba-hamba saleh lainnya sehingga mereka dengan izin Tuhan melaksanakan urusan tersebut maka hal ini bukanlah syirik lantaran mereka dalam wilayah kekuasaan Tuhan dan tidak menempatkan mereka sejajar dengan Tuhan dan mandiri dalam efek pemenuhan tersebut. Dan tentu saja, meminta pertolongan dari yang lain itu (selain Tuhan) tidak bermakna beribadah kepadanya.
Konsep Doa dalam Al-Qur’an
Kesalahan dalam memahami makna doa dalam al-Qur’an telah menjadi sebab sebagian permohonan kepada selain Tuhan dan menyeru selain-Nya dipandang sebagai syirik dan orang-orang seperti ini disebut kafir dan halal darahnya. Orang-orang seperti ini bersandar pada ayat-ayat al-Qur’an, seperti ayat: “Wa Inna Masâjidalillâh fala Tad’u ma’alLlâhi ahadan.” (Dan bahwasanya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah, Qs. Al-Jin [72]:18) Padahal redaksi doa dalam al-Qur’an digunakan untuk ragam makna:
1. Doa bermakna ibadah seperti pada ayat yang disebutkan di atas, Qs. Al-Jin (72):18
2. Doa bermakna mengajak dan mengundang kepada sesuatu; seperti tuturan Nabi Nuh As yang bersabda, “Qala Rabbi Inni Da’awtu qaumi lailan wa nahara. Falam yazidhum dua’i illa firara.” Nuh berkata, “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang. Tetapi seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran), Qs. Nuh [71]:5-6). Doa ini adalah seruan kepada iman dan jenis doa ini bukan hanya tidak syirik melainkan pancaran iman dan pelaksanaannya wajib bagi para nabi.
3. Doa bermakna permohonan hajat yang terkadang melalui jalan biasa dan normal seperti ayat “Wala ya’ba al-Syuhadah idza ma du’u.” (Janganlah para saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, Qs. Al-Baqarah [2]:2828) Doa ini terkait dengan urusan biasa sehingga dengan yakin orang tidak akan menjadi kafir dengan melakukan doa seperti ini. Dan juga terkadang melalui jalan mukjizat dan adikodrati yang juga terbagi menjadi dua bagian:
- Terkadang dengan keyakinan adanya kemandirian pada selain Tuhan dalam memberikan pengaruh atas doa yang dipanjatkan. Doa jenis ini termasuk syirik karena hanya Tuhan yang mandiri dalam memberikan pengaruh dan selain-Nya bahkan sebab-sebab normal juga apapun yang dimilikinya bersumber dari Tuhan dan sesuai dengan izin-Nya dapat memberikan pengaruh. Al-Qur’an dalam hal ini menandaskan, “Qul Ud’ulladzina za’amtum min dunihi fala yamlikuna kasyfa al-dhurr ‘ankum wala tahwila.” (Katakanlah, “Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah. Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula mengubahnya, Qs. Al-Isra [17]:56).” Tentu saja tidak seorang pun mukmin yang sadar dan penuh iman yang memiliki keyakinan seperti ini tidak terhadap para nabi juga para pembesar Ilahi.
- Terkadang kita menginginkan seseorang untuk memintakan sesuatu kepada Tuhan bagi kita. Jenis permintaan ini adalah jenis permintaan tauhid manusia sempurna. Orang seperti ini yang menjadikan seorang pembesar sebagai media (wasilah) dan penolong di hadapan Tuhan dan memandang bahwa Penyebab segala sebab, Sebab sejati dan pemberi pengaruh hakiki adalah Tuhan. Namun dengan berperantara kepada para wali Allah kita meminta kepada mereka untuk memohon hajat baginya di hadapan Tuhan. Hal ini tidak berseberangan dengan tauhid bahkan inti tauhid adalah demikian. Al-Qur’an menegaskan, “Dan (ingatlah) ketika Bani Israel berkata, “Wahai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Oleh sebab itu, mohonlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia mengeluarkan bagi kami segala yang tumbuh dari bumi, seperti sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas dan bawang merah.” Musa menjawab, “Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah ke suatu kota, niscaya kamu akan memperoleh apa yang kamu minta.” (Qs. Al-Baqarah [2]:60) Musa sekali-kali tidak pernah berkata kepada bahwa kalian jangan memanggilku dengan kata Ya Musa! Atau Musa berkata, Mengapa kalian tidak secara langsung meminta kepada Tuhan. Apa yang kalian lakukan ini adalah syirik dan kufur. Tidak Musa tidak menyampaikan demikian. Malah, Musa menyampaikan permohonan mereka di sisi Tuhan dan supaya hajat mereka dipenuhi.
Keyakinan terhadap peran makhluk dalam proses pengaruh dan mempengaruhi, aksi dan reaksi, sebab dan musabab bukanlah syirik. Keniscayaan tauhid itu tidak bermakna bahwa kita harus mengingkari mekanisme sebab dan akibat yang berlaku di alam semesta. Dan memandang bahwa setiap efek (akibat) secara langsung dan tanpa perantara bersumber dari Tuhan dan bagi sebab-sebab tidak memiliki peran bahkan secara vertikal; misalnya kita meyakini bahwa api tidak memiliki peran dalam membakar atau air tidak memiliki peran dalam melepaskan dahaga atau hujan dalam menghidupkan, Tuhanlah yang secara langsung membakar, secara langsung melepaskan dahaga dan secara langsung menghidupkan. Karena itu, sebagaimana keyakinan terhadap adanya makhluk tidak sepadan dengan syirik zati dan keyakinan terhadap tuhan kedua melainkan pelengkap dan komplementer keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Mahaesa, terhadap adanya pengaruh dan kausalitas serta adanya peran makhluk di alam semesta ini.
Karena itu, batas demarkasi tauhid dan syirik masalahnya tidak terletak pada apakah kita meyakini atau tidak meyakini adanya peran dan pengaruh bagi selain Tuhan. Kita berlaku syirik tatkala kita meletakkan sebab-sebab yang lain sejejeran secara horizontal dan berada di samping Tuhan serta meyakini sebab-sebab itu memiliki kemandirian dalam memberikan pengaruh.
Dengan kata lain, keyakinan terhadap kekuasaan dan pengaruh metafisis untuk satu entitas seperti malaikat atau nabi atau imam juga seperti keyakinan terhadap pengaruh sebab-sebab normal bukanlah syirik dan adanya peran di atas faktor-faktor normal, tidak meniscayakan adanya kekuasaan mandiri di hadapan Tuhan.
Entitas yang seluruh identitasnya bergantung pada kehendak Ilahi dan sama sekali tidak memiliki kemandirian pada dirinya. Pengaruh metafisis yang diberikannya terlebih dahulu disandarkan kepada Tuhan sebelum disandarkan kepada dirinya. Ia semata-mata bagian dari pelaksana terimplementasinya emanasi Tuhan terhadap sesuatu sebagaimana perantara emanasi wahyu dan ilmu agama pada Jibril dan perantara rizki pada Mikail dan perantara menghidupkan pada Israfil dan perantara emanasi ruh-ruh pada Malaikat Maut bukan syirik.
Untuk lebih jelasnya pembahasan ini kami akan menyebutkan dua contoh dari ayat-ayat sebagai berikut:
- Al-Qur’an melalui tuturan Nabi Isa As menyatakan, “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhan-mu, yaitu aku membuat untukmu dari tanah seperti bentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku memberitahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.” (Qs. Ali Imran [3]:49)
- Anak-anak Ya’qub setelah mereka menyesal, mereka datang menghadap ayahnya, “Mereka berkata, “Hai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” Ya‘qub berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Yusuf [12]:97-98)
Kita perhatikan bahwa anak-anak Ya’qub menggunakan redaksi “Wahai Ayah Kami (Ya Abana) dan Nabi Ya’qub tidak melarang mereka menggunakan redaksi ini dan tidak bersabda bahwa kalian sendiri yang secara langsung meminta kepada Tuhan. Karena itu menjadi jelas bahwa menggunakan redaksi Ya (seruan pada selain Allah) sama sekali tidak berseberangan dengan konsep tauhid. [IQuest]
Untuk telaah lebih jauh silakan Anda lihat beberapa indeks dan literatur terkait berikut ini:
- Tawassul dan Hubungan tanpa Perantara dengan Tuhan, Pertanyaan 542 (Site: 590)
- Tawassul dalam al-Qur’an dan Sunnah, Pertanyaan 2032 (Site: 2265)
- Falsafah Tawassul kepada Ahlulbait As, Pertanyaan 1321 (Site: 1316)
- Murtadha Muthahhari, Jahan Bini-ye Tauhid, Teheran, Shadra, Cetakan Keduapuluh Satu, 1384 S.
- Makarim Syirazi, Wahabiyat bar Sar-e Du Rahi, Qum, Madrasah Imam Ali bin Abi Thalib As, Cetakan Pertama, 1384 S.