Kode Site
fa2277
Kode Pernyataan Privasi
72072
Ringkasan Pertanyaan
Bagaimana hukum satu ranjang seorang laki-laki dengan salah satu istrinya dengan kehadiran istri lainnya?
Pertanyaan
Apabila seorang laki-laki mempunyai 2 istri, bagaimana hukum bersenggama dengan keduanya dalam satu waktu?
Jawaban Global
Masalah ini harus diteliti dari dua sudut pandang: akhlak dan fikih:
Berdasarkan pandangan akhlak, Islam sangat menaruh perhatian terhadap masalah memelihara rasa malu (hayā) dan kesucian (iffah) khususnya dalam kehidupan rumah tangga dan suami istri.
Oleh itu Islam membuat peraturan sangat rinci dan teliti dalam hal ini, seperti pelaksanaan hubungan suami istri dalam keadaan berdua-duaan (khalwat) dan jauh dari kehadiran orang ketiga walaupun orang itu merupakan istri sah (syar’i) laki-laki itu (orang laki-laki yang mempunyai dua istri) karena apabila amalan seperti ini dikerjakan dalam kehadiran istrinya yang lain maka akan berakibat jelek dan buruk baik dari sisi kasih sayang maupun akhlak.
Pada riwayat yang lain, bahkan hubungan suami istri dilarang ketika ada anak-anak bukan mumayyiz (anak yang masih menyusu) jika mereka dalam keadaan bangun dan bersabda bahwa perbuatan ini akan mengakibatkan kerusakan akhlak anak-anak pada masa-masa mendatang. [1]
Dalam riwayat-riwayat yang jumlahnya cukup banyak menyebutkan larangan berhubungan suami istri dengan kehadiran istrinya yang lain.
Nabi Muhammad Saw melarang suami bersenggama dan berjima dalam satu waktu dengan dua istri.[2]
Imam Baqir As bersabda, “Seorang laki-laki yang mempunyai 2 istri, tidak boleh bersenggama dengan dua istri sekaligus pada saat yang sama, satu ruangan.”[3]
Namun harus diperhatikan bahwa menurut pandangan fikih, pelarangan dalam riwayat yang disebutkan adalah berdasarkan pada pelarangan tanzihi (baiknya tidak dilakukan), bukan tahrimi (haram), yaitu bahwa riwayat ini dimaknai sebagai perbuatan makruh. Oleh itu fukaha berkata, “Bersenggama dalam satu waktu dengan dua istri dalam satu ruangan, walaupun hukumnya tidak haram, tapi makruh.”[4]
Tapi harus diperhatikan bahwa haram hukumnya seorang perempuan melihat aurat perempuan lainnya. [iQuest][5]
Berdasarkan pandangan akhlak, Islam sangat menaruh perhatian terhadap masalah memelihara rasa malu (hayā) dan kesucian (iffah) khususnya dalam kehidupan rumah tangga dan suami istri.
Oleh itu Islam membuat peraturan sangat rinci dan teliti dalam hal ini, seperti pelaksanaan hubungan suami istri dalam keadaan berdua-duaan (khalwat) dan jauh dari kehadiran orang ketiga walaupun orang itu merupakan istri sah (syar’i) laki-laki itu (orang laki-laki yang mempunyai dua istri) karena apabila amalan seperti ini dikerjakan dalam kehadiran istrinya yang lain maka akan berakibat jelek dan buruk baik dari sisi kasih sayang maupun akhlak.
Pada riwayat yang lain, bahkan hubungan suami istri dilarang ketika ada anak-anak bukan mumayyiz (anak yang masih menyusu) jika mereka dalam keadaan bangun dan bersabda bahwa perbuatan ini akan mengakibatkan kerusakan akhlak anak-anak pada masa-masa mendatang. [1]
Dalam riwayat-riwayat yang jumlahnya cukup banyak menyebutkan larangan berhubungan suami istri dengan kehadiran istrinya yang lain.
Nabi Muhammad Saw melarang suami bersenggama dan berjima dalam satu waktu dengan dua istri.[2]
Imam Baqir As bersabda, “Seorang laki-laki yang mempunyai 2 istri, tidak boleh bersenggama dengan dua istri sekaligus pada saat yang sama, satu ruangan.”[3]
Namun harus diperhatikan bahwa menurut pandangan fikih, pelarangan dalam riwayat yang disebutkan adalah berdasarkan pada pelarangan tanzihi (baiknya tidak dilakukan), bukan tahrimi (haram), yaitu bahwa riwayat ini dimaknai sebagai perbuatan makruh. Oleh itu fukaha berkata, “Bersenggama dalam satu waktu dengan dua istri dalam satu ruangan, walaupun hukumnya tidak haram, tapi makruh.”[4]
Tapi harus diperhatikan bahwa haram hukumnya seorang perempuan melihat aurat perempuan lainnya. [iQuest][5]
[1] Wasāil Syiah, jil. 20, hal. 133, hadis 25223. Silahkan lihat: Software Jāmi al-Ahādits Nur
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ص وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلًا غَشِيَ امْرَأَتَهُ وَ فِي الْبَيْتِ صَبِيٌّ مُسْتَيْقِظٌ يَرَاهُمَا وَ يَسْمَعُ كَلَامَهُمَا وَ نَفَسَهُمَا مَا أَفْلَحَ أَبَداً إِنْ كَانَ غُلَاماً كَانَ زَانِياً أَوْ جَارِيَةً كَانَتْ زَانِيَة
[2] Nuri Thabarsi, Mirza Husain, Mustadrak al-Wasāil, jil. 14, Abwāb Muqādimat Nikāh, Bab 50, Hadis 2. Silahkan lihat: Software Jāmi al-Ahādis Nur
رسول الله (ص) انه نهی ان توطأ الحرة و فی البیت اخری
[3] Majlisi, Bihār al-Anwār, Cet. Beirut, 1403 Q, jil. 100, Abwāb Nikāh, Bab Adab al-Jimā wa Fadhilah, hal. 293, hadis 42, Silahkan lihat: Software Jāmi al-Ahādis Nur
لاتجامع الحرة بین یدی الحرة فاما الاماء بین یدی الاماء فلابأس.
[4] Ali Panoh, Al-Isytihardi Madarik a-Urwah, jil. 29, hal. 71. Silahkan lihat: Software Jāmi al-Ahādis Nur
و يكره أن يجامع و عنده من ينظر اليه و لو الصبيّ الغير المميّز.
[5] Fadhil Langkarani, Muhammad, Ahkām Pezesykān wa Bimāran, hal. 73, tanpa tempat dan tanpa tahun