Kode Site
fa29299
Kode Pernyataan Privasi
43352
Tema
Talak
Ringkasan Pertanyaan
Bagaimana talak dapat terjadi?
Pertanyaan
Bagaimanakah talak dapat terjadi? Dan untuk bercerai, kata-kata apa yang harus diucapkan dan berapa kali harus diucapkan?
Jawaban Global
- Talak merupakan salah satu dari iqa’ (pelemparan sepihak) yaitu perkataan dan kemunculannya berasal dari satu pihak saja, yaitu pihak laki-laki, dan tidak membutuhkan kerelaan atau campur tangan perempuan. Oleh itu, laki-laki bisa menalak istrinya secara sepihak dengan syarat-syarat yang terpenuhi.[1]
- Talak harus dibacakan dengan formula (shighah) Arab yang benar, dan didengar oleh dua orang lelaki adil, dan jika suami itu sendiri yang membacakan shighah talak, sedangkan nama istrinya adalah Fatimah misalnya, maka ia harus mengatakan, زَوْجَتِى فٰاطِمَةُ طالِقٌ yaitu istriku Fatimah telah lepas dan bebas (ditalak), dan jika orang lain yang mewakilkan, maka wakil tersebut harus mengatakan
, زَوْجَةُ مُوكِّلى فٰاطِمَةُ طٰالِقٌ [2]
- Diantara hukum-hukum dan syarat-syarat talak, bisa disinggung sebagai berikut:
- Laki-laki yang menceraikan istrinya harus berakal, dan berdasarkan prinsip ihtiyâth wajib, ia juga harus telah baligh dan mentalak istrinya dengan kewenangan dan kehendaknya sendiri. Dan jika ia dipaksa untuk mentalak istrinya, maka talak ini menjadi batal.[3]
- Pemberi talak harus memiliki maksud untuk menalak, maka jika formula talak diucapkan dengan bergurau, maka talak menjadi tidak sah.[4]
- Perempuan saat ditalak, tidak berada dalam keadaan haid, kecuali dalam tiga keadaan berikut:
Pertama: suaminya tidak menyetubuhinya (dengan dukhul) setelah menikahinya,
Kedua: dalam keadaan mengandung, dan jika tidak ketahuan bahwa ia tengah mengandung dan suaminya mentalaknya dalam keadaan haid, setelah itu mengetahui ternyata ia mengandung, maka hal ini tidak menjadi masalah.
Ketga: laki-laki dikarenakan ketidakhadirannya tidak bisa atau sulit untuk mengetahui istrinya dalam keadaan bersih ataukah tidak.[5]
Kedua: dalam keadaan mengandung, dan jika tidak ketahuan bahwa ia tengah mengandung dan suaminya mentalaknya dalam keadaan haid, setelah itu mengetahui ternyata ia mengandung, maka hal ini tidak menjadi masalah.
Ketga: laki-laki dikarenakan ketidakhadirannya tidak bisa atau sulit untuk mengetahui istrinya dalam keadaan bersih ataukah tidak.[5]
- Jika suami mentalak istrinya sebelum dukhul, maka separuh dari mahar yang telah ditentukan sebelumnya, harus dibayarkan kepadanya.[6] Dan wajar jika setelah dukhul, ia harus membayarkan seluruh maharnya.
- Ketika shighah talak dengan memperhatikan syarat-syaratnya telah diucapkan satu kali oleh suami, maka perceraian suami dan istri ini telah berlaku, dan tidak perlu untuk melakukan pengulangan formula. Tentunya jika formula diucapkan tiga kali dan setelah masing-masingnya terjadi rujuk, hal ini akan menjadi talak bain, dan memiliki hukum-hukum yang tersendiri, dimana untuk mengetahui informasi yang lebih mendalam, Anda bisa merujuk ke indeks 27550 (Tiga Talak dalam Satu Pertemuan dan Talak Ba’in).
- Iddah talak dalam pernikahan permanen (daim) adalah: untuk bisa melangsungkan pernikahan baru, perempuan ini harus sejenak bersabar hingga dua kali melihat haid dan suci. Saat ia melihat haid ketiga, maka iddahnya telah selesai. Dan jika ia tidak haid, akan tetapi berada dalam usia yang biasanya para perempuan masih haid, maka setelah talak ia harus melewati masa iddahnya selama tiga bulan.[7] Dan iddah perempuan yang hamil adalah hingga lahir atau gugurnya janin yang dikandungnya.[8]
Namun dalam pernikahan sementara: (setelah selesainya masa atau diserahkannya waktu sisa dari suami) apabila ia haid, maka iddahnya seukuran dua haid sempurna, dan jika tidak haid, maka masa iddahnya adalah selama 45 hari.[9] [iQuest]
[1]. Diambil dari Indeks 8148.
[2]. Imam Khomeini, Taudhîh al-Masâil (Muhasyyâ), Ibid, hal. 522, masalah 2508, penyusun: Bani Hasyimi Khomeini, Sayyid Muhammad Husain, Daftar Intisyarat Islami, Qom, cet. Kedelapan, 1424 H.
[3]. Ibid, hal. 517, Masalah 2498.
[4]. Ibid.
[5]. Ibid, hal. 518, Masalah 2500.
[6]. Najâh al-‘Ibâd (lil Imam al-Khomeini), hal. 378, Masalah 7.
[7]. Taudhîh al-Masâil Marâji’, Masalah 2511 dan 2512; dan Ayatullah Wahid, Taudhîh al-Masâil, Masalah 2575 dan 2576.
[8]. Ibid, Masalah 2514 dan Ayatullah Wahid, Taudhîh al-Masâil, Masalah 2578.
[9]. Ibid, Masalah 2515; Ayatullah Wahid, Taudhîh al-Masâil, masalah 2579, dan Daftar Ayatullah Khamenei, diadaptasi dari Indeks 2311.