Terdapat tujuh hal yang membatalkan wudhu:
- Buang air kecil
- Buang air besar
- Buang angin
- Tidur dengan mata terpejam dan telinga tidak mendengar, namun wudhu tidak batal apabila mata (sekedar) terpejam dan telinga (masih) mendengar
- Segala sesuatu yang menghilangkan (kerja) akal seperti gila, mabuk dan tidak sadarkan diri
- Istihâdha wanita
- Amalan yang membuat orang harus mandi seperti junub.
Karena itu wudhu tidak akan batal apabila persentuhan suami dan istri tidak menyebabkan terjadinya salah satu dari tujuh poin di atas.
Adapun cairan-cairan yang keluar dari manusia dalam kondisi seperti ini dihukumi suci (kecuali air seni dan sperma yang merupakan najis. Keluarnya dua cairan ini tentu saja akan membatalkan wudhu).
Namun apabila manusia bersenggama dan masuknya alat vital (pria) hingga batasan khitan atau lebih pada wanita, melalui qubul (dari depan) atau dubur (dari belakang), baligh atau belum baligh meski sperma tidak keluar, keduanya telah junub dan harus mandi (untuk meyucikan diri). Kecuali keduanya merasa ragu, apakah telah sampai batasan khitan atau tidak, dalam kondisi seperti ini keduanya tidak diwajibkan untuk mandi (junub).[1] Dan sebagai ikutannya juga tidak akan membatalkan wudhu.
Perlu untuk diingat bahwa junub terjadi melalui dua cara:
- Koitus dan senggama meski sperma tidak keluar.
- Keluarnya sperma (meski tanpa senggama), baik dalam kondisi tidur (mimpi basah), sedikit atau banyak, dengan syahwat atau tanpa syahwat, dalam kondisi sadar atau tidak.[2]
Sesuai dengan pandangan mayoritas fakih, cairan yang keluar dari para wanita, apabila disertai syahwat (hingga mencapai orgasme dan puncak kenikmatan) maka cairan tersebut dihukumi sebagai sperma dan ia harus mandi junub.[3]
Karena itu, wajib bagi pria dan wanita setelah setiap kali melakukan senggama dan koitus terlepas apakah sperma keluar atau tidak.
Penjelasan lebih jauh bahwa mandi junub pada dasarnya tidak wajib, namun untuk melakukan amalan-amalan yang syaratnya harus bersuci, seperti salat, memasuki masjid, menyentuh huruf al-Qur’an dan lain sebagainya, maka mandi junub menjadi wajib.[4] [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat indeks terkait:
1. Indeks: Madzi, Wadzi dan Wadhi adalah Tidak Termasuk Najis, Pertanyaan 1895 (Site: 2819)
2. Indeks: Mandi yang Tidak Wajib Sebagai Ganti Wudhu, Pertanyaan 3249 (Site: 3505).
[1]. Taudhih al-Masâil, al-Muhassyâ lil Imâm al-Khomeini, jil. 1, hal. 188.
[2]. Ibid, jil. 1, hal. 210.
[3]. Taudhih al-Masâil Marâji’, Masalah 345; Wahid Khurasani, Taudhih al-Masâil, Masalah 351; Nuri Hamadani, Taudhih al-Masâil, Masalah 346 dan Khamenei, Ajwiba al-Istiftâ’ât, Ahkam Ghusl Janabat.
Taudhih al-Masâil Marâji’, jil. 1, hal. 208, Masalah 346. Untuk penjelasan lebih jauh silahkan lihat indeks, Junubnya Para Wanita, No 676 (Site: 723).
[4]. Taudhih al-Masâil, al-Muhassyâ lil Imâm al-Khomeini, jil. 1, hal. 214, Masalah 357.
Diadaptasi dari Pertanyaan No. 1711 (Site: 1831), Indeks: Para Wanita dan Mandi Junub.