Al-a’lâm dan fal a’lâm merupakan satu terma fikih yang mengemuka dalam pembahasan syarat-syarat marja taklid. Al-a’lâm dan fal a’lâm bermakna seorang fakih yang lebih pandai dan orang yang setingkat lebih pandai di bawahnya.
Kita tahu bahwa salah satu syarat marja taklid adalah a’lâmiyah (kelebihpandaian); artinya bahwa seorang marja taklid harus lebih pandai dari para mujtahid lainnya (dan mujtahid seperti ini yang harus dijadikan sebagai marja taklid). Nah apabila mujtahid a’lâm ini tidak memberikan fatwa pada sebuah masalah, maka mukallidnya dapat merujuk pada fatwa mujtahid lainnya yang derajat keilmuannya setingkat di bawahnya atau berada setelahnya. Dan apabila mujtahid berikutnya juga tidak memiliki fatwa atas masalah tersebut maka para mukallidnya dapat merujuk pada mujtahid yang berada setelah atau di bawah mujtahid derajat kedua. Apabila diperlukan proses ini terus berlanjut maka para mukallid dapat merujuk hingga mujtahid keempat dan seterusnya.
Derajat-derajat keilmuan para mujtahid ini (dari derajat yang tertinggi hingga derajat yang lebih rendah) disebut secara teknis dan terminologis dalam fikih sebagai a’lâm fal a’lâm.
Karena itu, a’lâm bermakna seorang mujtahid yang berada pada tingkatan atau derajat tertinggi keilmuan dan fal a’lâm bermakna seorang mujtahid yang berada pada tingkatan setelahnya atau di bawahnya. Dan demikian seterusnya.
Demikianlah jawaban singkat dan memadai terkait dengan masalah ini. Namun sehubungan dengan jawaban ilmiah dan lebih akurat yang disinggung oleh sebagian fukaha, akan kami kutip disini dengan menyebutkan satu contoh sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan a’lâm adalah seorang fakih yang lebih mengenal kaidah-kaidah dan referensi-referensi masalah dan lebih mengetahui riwayat-riwayat dan pendapat para ulama, serta lebih memahami riwayat-riwayat ketimbang para fakih lainnya. Pendeknya, ia adalah orang yang terbaik dalam melakukan inferensi hukum-hukum syariat.
Tempat rujukan untuk mengidentifikasi a’lâm adalah para pakar dan ahli istinbâth (mujtahid) dalam masalah ini. Dengan kata lain, bahwa rujukan atau penentu kriteria dalam masalah a’lâmiyah adalah para mujtahid yang terbaik dalam melakukan inferensi (istinbâth) hukum-hukum syariat. Jadi, yang dimaksud yang terbaik adalah yang terbaik dalam mengidentifikasi tugas-tugas dalam masalah syariat dan bukan kedekatan fatwa pada realitas dan kenyataan; karena hal ini tidak dijadikan sebagai kriteria untuk mengenal a’lâmiyah; lantaran kedekatan kepada realitas dan kenyataan, akan dapat diperoleh dengan melakukan kehati-hatian, sedangkan melakukan kehati-hatian di hadapan orang-orang berakal tidak menunjukkan kepakaran, keahlian dan kelebihpandaiannya.
Oleh karena itu, ijtihad tidak lain adalah keahlian dalam mengidentifikasi tugas dalam seluruh masalah, dan a’lâm adalah seseorang yang memiliki kemampuan inheren ini secara utuh dan sempurna.
Apa yang dapat disimpulkan dari ungkapan ini secara lahir adalah, bahwa orang yang terbaik dalam melakukan istinbâth, bergantung atas tiga kategori yang ada pada diri mujtahid:
1. Bahwa mujtahid (a’lâm) lebih mengetahui kaidah-kaidah dan referensi-referensi terhadap sebuah masalah daripada mujtahid lainnya.
2. Pengetahuannya terhadap riwayat-riwayat dan pandangan-pandangan ulama lebih unggul atas mujtahid lainnya.
3. Terbaik dalam memahami riwayat-riwayat.[1]