Para marja memandang izin ayah atau kakek dari pihak ayah diperlukan untuk dapat melangsungkan pernikahan temporer dengan putri perawan.[1] Apabila seorang putri telah mencapai usia baligh dan rasyidah, yaitu ia mengetahui dengan baik kemaslahatannya dan ia ingin bersuami, apabila ia masih perawan, maka ia harus meminta izin dari ayah atau kakek dari pihak ayah. Dan apabila ayah dan kakek dari pihak ayah tidak ada sedemikian sehingga dari keduanya tidak dapat diperoleh izin dan sang putri juga sangat butuh untuk menikah maka ia tidak perlu lagi meminta izin dari ayah dan kakek dari pihak ayah. Demikian juga apabila sang putri tidak lagi perawan dan keperawanannya hilang lantaran pernikahan (sebelumnya) maka ia tidak lagi memerlukan izin dari ayah atau kakeknya (dari pihak ayah). Namun apabila keperawanannya hilang karena wathi bi syubha (digauli karena syubha) atau karena zina maka, mengikut prinsip ihtiyâth mustahab, ia tetap harus memperoleh izin (dari ayah atau kakek dari pihak ayah).[2]
Jawaban Ayatullah Mahdi Hadawi Tehrani (Semoga Allah Swt Melanggengkan Keberkahannya) terkait dengan pertanyaan di atas adalah sebagai berikut:
Dalam pernikahan (temporer atau permanen) dengan putri perawan, rasyidah dan telah mencapai usia baligh, izin ayah bukanlah syarat, meski memperoleh izin (dari ayah atau kakek dari pihak ayah) itu sejalan dengan prinsip ihtiyath (kehati-hatian). [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat beberapa indeks terkait berikut:
- Indeks: Izin Ayath dalam Pernikahan dengan Putri Perawan, Pertanyaan 4958 (Site: 5248).
- Indeks: Falsafah Perlunya Izin Ayah bagi Sang Putri dalam Pernikahan Temporer dan Permanen, Pertanyaan 2074 (Site: 2125).
- Indeks: Apa saja syarat-syarat izin dalam Pernikahan Temporer dengan Putri Perawan?, Pertanyaan 1239 (Site: 1226).
- Indeks: Izin Ayah dalam Pernikahan, Pertanyaan 6310 (Site: 6473).
[1]. Taudhih al-Masâil, (al-Muhassyâ lil Imâm al-Khomeini), jil. 2, hal-hal. 458-459. Diadaptasi dari Pertanyaan 2190 (Site: 2315).
[2]. Taudhih al-Masâil, (al-Muhassyâ lil Imâm al-Khomeini), jil. 2, hal-hal. 458-459. Diadaptasi dari Pertanyaan 3923 (Site 4209).