Ringkasan Pertanyaan
Setelah bercerai antara laki-laki dan perempuan, jika perempuan meninggalkan hutang, apakah pembayaran utang menjadi tanggung jawab laki-laki?
Pertanyaan
Ketika terindikasi permasalahan-permasalahan dalam keluarga yang berujung pada perceraian serta perpisahan, dan mantan istri meninggalkan banyak hutang, apakah pembayaran hutang tersebut menjadi tanggung jawab mantan suami?
Jawaban Global
Bergantung ketika melakukan transaksi. Apabila istri melakukannya sendiri dan tanpa izin dari suami, maka hutang-hutang tersebut menjadi tanggung jawab istri sendiri, bukan mantan suami.
Lampiran:
Jawaban para marja besar terkait dengan persoalan ini:[1]
Ayatullah Agung Ali Khamenei (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Terdapat beberapa persoalan yang berbeda-beda terkait dengan transaksi (hutang-piutang) istri lakukan sendiri tanpa izin dari suami, maka hutang tersebut menjadi tanggung jawab dirinya,dan tidak satupun menjadi tanggung jawab suami.
Ayatullah Agung Makarim Syirazi (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Jika hal itu merupakan nafkah, dan suami telah meridhai akan hal tersebut, maka hutang menjadi tanggung jawab suami. Akan tetapi jika tanpa keridhaan suami serta di luar dan tidak termasuk nafkah maka penyelesaiannya adalah tanggung jawabnya (istri) sendiri. Akan tetapi jika terkait dengan masalah-masalah yaitu istri dan suami bersama-sama menggunakannya, maka hutang tersebut akan dibagi dua antara suami dan istri.
Ayatullah Agung Ali Siistani (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Tidak.
Ayatullah Agung Nuri Hamadani (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Penyelesaian hutang tersebut, bukan tanggung jawab suami.
Ayatullah Agung Shafi Gulpaigani (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Jika laki-laki telah memberikan nafkah kepada istri sesuai dalam batas keperluannya, maka hutang-hutang pribadi istri tidak ada hubungannya dengan laki-laki.
Ayatullah Hadawi Tehrani:
Jika istri mempunyai kegiatan-kegiatan ekonomi sendiri (berkarir dan bekerja), dan dikarenakan hal tersebut terjadilah hutang, maka hutang tersebut bukan tanggung jawab laki-laki, istri sendirilah yang harus membayar hutang tersebut. [iQuest]
Lampiran:
Jawaban para marja besar terkait dengan persoalan ini:[1]
Ayatullah Agung Ali Khamenei (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Terdapat beberapa persoalan yang berbeda-beda terkait dengan transaksi (hutang-piutang) istri lakukan sendiri tanpa izin dari suami, maka hutang tersebut menjadi tanggung jawab dirinya,dan tidak satupun menjadi tanggung jawab suami.
Ayatullah Agung Makarim Syirazi (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Jika hal itu merupakan nafkah, dan suami telah meridhai akan hal tersebut, maka hutang menjadi tanggung jawab suami. Akan tetapi jika tanpa keridhaan suami serta di luar dan tidak termasuk nafkah maka penyelesaiannya adalah tanggung jawabnya (istri) sendiri. Akan tetapi jika terkait dengan masalah-masalah yaitu istri dan suami bersama-sama menggunakannya, maka hutang tersebut akan dibagi dua antara suami dan istri.
Ayatullah Agung Ali Siistani (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Tidak.
Ayatullah Agung Nuri Hamadani (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Penyelesaian hutang tersebut, bukan tanggung jawab suami.
Ayatullah Agung Shafi Gulpaigani (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Jika laki-laki telah memberikan nafkah kepada istri sesuai dalam batas keperluannya, maka hutang-hutang pribadi istri tidak ada hubungannya dengan laki-laki.
Ayatullah Hadawi Tehrani:
Jika istri mempunyai kegiatan-kegiatan ekonomi sendiri (berkarir dan bekerja), dan dikarenakan hal tersebut terjadilah hutang, maka hutang tersebut bukan tanggung jawab laki-laki, istri sendirilah yang harus membayar hutang tersebut. [iQuest]
[1]. Pertanyaan fikih ini diajukan oleh pihak Islam Quest ke beberapa kantor Marja Agung Taklid: seperti Ayatullah Agung Khamenei, Ayatullah Agung Sistani, Ayatullah Agung Makarim Syirazi, Ayatullah Agung Nuri Hamedani, Ayatullah Agung Shofi Gulpaigani.