Orang-orang yang memiliki kecendrungan terhadap spiritualitas dan keimanan pada umumnya kecendrungan mereka adalah kecendrungan yang mengikut perasaan dan emosi jiwa. Artinya orang-orang ini menemukan kecendrungan terhadap maknawiyat dan spritualitas dengan mengikut pada ayah dan ibu, lingkungan atau di bawah pengaruh dorongan afeksi dan perasaannya, atau berdasarkan kejadian-kejadian seperti karamah para kekasih Tuhan (auliya) dan menyaksikan sebagian perayaan-perayaan keagamaan seperti shalat jamaah, haji, acara-acara duka, pesta dan acara peringatan hari lahirnya para orang suci, lalu kemudian mereka tertarik pada agama dan pelaksanaan acara-acara keagamaan
Apabila kecendrungan ini berlanjut dan dengan pengulangan, peringatan, dan pelatihan yang lebih banyak dari satu sisi disertai dengan perolehan maarif yang benar dan informasi yang lebih banyak dalam ranah pengetahuan agama serta manfaat-manfaat spritualisme di dunia dan akhirat dari sisi lain. Dan tidak tergoncang tatkala orang-orang mengalami goncangan, misalnya sampai kepada sebuah kedudukan, harta dan syahwat, dan mampu menguasai dirinya pada saat-saat seperti itu dan sekali-kali, seberapapun harganya, tidak akan meninggalkan segala kewajiban syariatnya dan segala kegiatan-kegiatan maknawinya, maka kecendrungan emosionalnya ini akan berubah menjadi kecendrungan hakiki yang menunjukkan kekokohan perkara-perkara maknawi dalam jiwa dan qalbunya. Kalau tidak demikian, sebagaimana yang didapati sebagai konsekuensi dari reaksi emosional, dalam menghadapi pelbagai konsekuensi emosional atau reaksi lainnya akan terlepas darinya dan tidak akan bertahan lama.
Falsafah umumnya pelbagai ujian Ilahi juga berlaku demikian hingga menjadi jelas bagi setiap orang bahwa apakah iman dan ekspresi keislamannya adalah emosional dan permukaan atau hakiki, ril dan berfondasi sehingga mampu ia jaga meski harus menderita menghadapi pelbagai siksaan dan ujian.
Manusia adalah makhluk bebas yang pekerjaannya dilakukan berdasarkan kehendak dan pilihan. Bentuk pemilihannya ini bergantung pada dua perkara batin dan intrinsik: yaitu kecendrungan dan pandangannya. Pelbagai kecendrungan dan pandangan ini juga memiliki dua jenis: Kecendrungan fitri, non-perolehan dan non-ikhtiari. Kedua, kecendrungan yang diperoleh dengan usaha dan sifatnya ikhtiari.
Bagian pertama adalah potensi yang terpendam pada setiap manusia dan memerlukan perhatian dan binaan sehingga ia lahir secara visual dan teraktualkan. Adapun bagian kedua, dihasilkan dengan pilihan manusia itu sendiri. Atau apa yang didapatkan manusia dari lingkungan atau melalui perantara tarbiyah dan warisan. Kecendrungan-kecendrungan fitri seperti kecendrungan manusia terhadap pencarian hakikat dan kuriositas terhadapnya, kecendrungan manusia terhadap segala perbuatan baik dan kebaikan. Kecendrungan manusia terhadap eksistensi unggul.
Pengenalan-pengenalan fitri yang mengemuka adalah biasanya dalam bentuk husn wa qubh aqli (kebaikan dan keburukan yang ditimbang dengan teraju akal). Misalnya mengenal bahwa berbuat adil itu merupakan kebaikan demikian juga bersikap jujur, setia terhadap janji. Mengenal keburukan bahwa kezaliman, perkataan dusta, dan menyalahi janji itu merupakan perbuatan buruk. Pelbagai kecendrungan dan pandangan fitri ini sesungguhnya merupakan penggerak sejati manusia untuk meraih pelbagai pandangan dan kecendrungan yang diperoleh melalui usaha dan kegiatan-kegiatan lainnya. Namun apabila seseorang keliru dalam mengidentifikasi hakikat dan realitas serta mengidentifikasi contoh-contoh kebaikan, keindahan dan kesempurnaan maka ia tidak akan sampai kepada kebahagiaan hakikinya. Namun apabila seseorang mampu berpikir dengan benar dan benar dalam memilih, maka motor-motor penggerak dan pelbagai aktifitas ini, pilihan-pilihan dan kencendrungan yang benar dapat menyediakan ruang bagi kebahagiaan dunia dan akhirat.
Adapun bentuk ketiga juga dapat digambarkan. Bentuk ketiga itu adalah bahwa keduanya senantiasa bersama dimana akal dan hati bersatu tidak berpisah. Kebersamaan ini menjadi sebab munculnya kecendrungan terhadap agama dan iman serta spiritualitas. Kecendrungan ini adalah kecendrungan irfani.[1] Kecendrungan irfani ini adalah kecendrungan hakiki terhadap maknawiyat dan spiritualitas dan secara teknis spiritualitas semacam ini disebut sebagai “spiritualisme hakiki.”
Dalam bentuk pertama yang menjadi penggerak adalah semata-mata ilmu, dengan tiadanya kemampuan menjelaskan secara rasional filosofis sebuah hukum dari hukum-hukum Ilahi – baik itu hukum takwini dan penciptaan atau hukum tasyri’i – dan juga tatkala hawa nafsu dan syahwat hewani mendominasi, maka ia akan mengucapkan selamat tinggal terhadap ilmu dan tidak akan setia terhadapnya. Dan apabila dalam kondisi terdesak, ia menyembunyikan ilmunya, bahkan menutup-nutupinya, seperti Fira’un yang dikisahkan dalam al-Qur’an, “Maka tatkala mukjizat-mukjizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata.” Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan itu.” (Qs. Al-Naml [27]:13-14)[2]
Kelompok kedua, laksana keburukan yang bertahan di atas air yang bergerak mengikut arus sosial, lingkungan dan kemana air mengalir ke situ ia bergerak. Dalam kondisi seperti ini, ia larut dalam segala perubahan yang terjadi padanya! Langkahnya labil dan tidak tetap serta suasana hatinya tidak dapat dijamin. Misalnya seperti seseorang yang mengikuti – apapun alasannya – majelis duka Imam Husain As dan dengan pergerakan segala afeksi dan emosinya – bukan atas dasar cinta terhadap wilayah – air matanya tumpah laksana hujan musim semi. Boleh jadi, apabila beberapa saat kemudian ia datang kepada sebuah majelis lainnya yang tidak mengindahkan tata aturan dan etika, ia akan tenggelam dengan pelbagai kelezatan yang haram dan larut ternoda pengaruh lingkungan dan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Dan kelompok yang mengejar pangkat dan kekuasaan, pemerintahan dan khilafah, mengekspresikan iman dan Islam atau untuk mendapatkan harta rampasan perang dan para tawanan (budak) ikut serta dalam perang, begitu mendapatkan apa yang diinginkannya, maka agama dan religiusitasnya akan ditanggalkan begitu saja.
Orang seperti ini akan dengan susah payah berderma di jalan Allah[3] dan untuk sampai kepada tujuannya, menjaga jabatannya, ia akan menggunakan segala cara illegal. Tidak mengenal batas demarkasi dan hantam kromo untuk mencapai tujuannya! Dengan demikian kesetiaan kelompok kedua ini terhadap agama dan spiritualitas mengikut kepada penyediaan harta dan benda duniawinya dari satu sisi. Pada
Dengan kata lain, terdapat tiga golongan masyarakat terkait sisi kecendrungannya terhadap akhirat, maknawiyat dan ibadah.
1. Golongan yang takut kepada azab neraka dan kerugian duniawi yang dijanjikan Tuhan kepada mereka dan disampaikan melalui para nabi-Nya. Mereka menyembah Tuhan dan taat kepadanya serta beriman kepada kemurkaan-Nya, serta hari Kiamat, kemaksuman nabi dan imamah, kepemimpinan para maksum, keimananan mereka yang bersandar pada makrifat dan ilmu atau beribadah dengan benar, bukan taklid buta yang dalam bahasa Imam Ali As, “ibadahnya kaum budak.” Yaitu beribadah dan taat karena ingin menghindar dari azab.
2. Golongan orang yang serakah kepada surga dan ingin mendapatkan janji-janji Tuhan di dunia dan akhirat, dengan memeperoleh kecendrungan maknawiyat dan agama serta sokongannya, memiliki iman kepada ghaib dan visi yang benar bukan taklid buta. Ibadah orang-orang yang termasuk golongan ini dilakukan karena ada kepentingan yang terpendam dari pelaksanaan ibadah tersebut. Dalam bahasa Imam Ali As ibadah semcam ini adalah ibadahnya kaum peniaga. Golongan orang yang berusaha dan bekerja untuk mendapatkan ganjaran dan pahala dari Tuhan.
3. Golongan ketiga adalah orang-orang yang beribadah atas dasar pendalaman, pemikiran, visi disertai dengan syukur kepada Sang Pemberi nikmat, upaya bertungkus lumus untuk mendapatkan Sang Kinasih sejati. Tunduk patuh terhadap pelbagai perintah dan titah Ilahi. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang disebut oleh Imam Ali sebagai “ahrar” orang-orang merdeka. Orang-orang yang menyenangi pelbagai nikmat duniawi dan ukhrawi, jauh dari ananiyah dan egoisme dan lebur dalam kecintaan kepada Tuhan. Atau meminjam bahasa Irfan “fana filLah.” Ia tidak memandang dirinya, tidak menggunakan logika untung dan rugi sehingga dengan itu ia melakukan penghambaan dan ketaatan. Dalam kamus orang-orang yang termasuk dalam golongan ini tidak taat tatkala ingin mendapatkan keuntungan atau membangkang tatkala menderita kerugian. Dalam kebudayaan Islam dan al-Qur’an ketiga golongan ini – dengan perbedaan tingkatan dan derajatnyag secara vertikal dan horizontal – memiliki spiritualisme hakiki, sepanjang mereka memiliki tanda-tanda di bawah ini dan telah melewati pelbagai ujian, namun jelas bahwa tiga golongan ini tidak sederajat dan golongan ketiga sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan dua golongan sebelumnya.[4]
Tanda-tanda yang disebutkan dalam al-Qur’an berkenaan dengan orang yang memiliki spiritualisme hakiki di antaranya:
1. Orang yang meninggalkan perbuatan dosa dan mengerjakan segala kewajiban secara berketerusan.[5]
2. Iman disertai dengan amal shaleh.[6]
3. Mengoreksi segala keyakinan dan tidak mengerjakan perbuatan tercela kepada Tuhan seperti bahwa Tuhan memiliki anak atau adanya kemungkinan perbuatan buruk dikerjakan Tuhan, atau bahwa para malaikat adalah putri-putri Tuhan, atau memandang bahwa para malaikat merupakan sekutu Tuhan.[7]
4. Mengingat Tuhan dan membaca al-Qur’an serta berpartisipasi dalam majelis-majelis maknawi baginya merupakan sebuah kelezatan dan menyaksikan dosa dan para pendosa menyebabkan derita dan kesedihannya.[8]
5. Tidak menyerah di hadapan segala kepelikan dan musibah duniawi sehingga menyeretnya kepada kekufuran, melainkan senantiasa berharap, tawakkal kepada Tuhan dan bersabar menghadapinya serta berusaha untuk mencari jalan keluar darinya dan dengan mengingat Tuhan hatinya menjadi tenang.[9]
6. Tiada satu pun yang berpengaruh secara mandiri selain Tuhan dan seluruh pelaku – baik pelaku natural atau manusia – merupakan para pelaksana perintah Tuhan dan seluruhnya bergantung dan bersandar kepada Tuhan.[10]
7. Dalam kondisi-kondisi tersedianya ruang maksiat dan dosa seperti: sampai kepada sebuah kedudukan atau harta dan tersedianya pelampiasan hawa nafsu, ia menahan nafsunya dan menjaga dirinya dengan jihad akbar, ia menyembelih nafsu ammarahnya serta menjinakkan segala kecendrungannya.[11]
8. Tidak bersedih hati karena mendermakan harta, anak dan jiwa di jalan Allah dan memandang bahwa dengan memperoleh harta duniawi dan segala isinya tidak menyebabkan orang keluar dari rel penghambaan.[12]
9. Tidak banyak mencari-cari dalih dan dengan kerelaan sempurna ia berserah diri terhadap hukum Allah, Rasul dan Wali-Nya As. Dan jiwanya tidak akan bersedih hati apabila tidak sejalan dengan selera dan tabiatnya.[13]
10. Menerima dan mengidentifkasi segala ilham Rahmani, perhatian dan inayah Ilahi dan sampai kepada kehidupan tayyibah.[14]
Mengidentifikasi spiritualisme emosional dan labil dari spiritualisme hakiki yang stabil dan terpelihara memerlukan kehendak dan tekad yang kuat serta sabar dan ketabahan ekstra. Khususnya pada tingkatan dimana seluruh faktor-faktor sosial dan global bergandengan tangan seiring sejalan ingin memisahkan manusia dari agama dan spiritualitas kemudian menjadikannya sebagai budak para penjajah.
Namun harus diperhatikan bahwa manusia adalah eksisten yang tidak hanya memiliki kemampuan bergerak melawan arus sungai namun ia juga mampu mengubah arah gerakan masyarakat atau dunia dan minimal kemampuan menjaga dirinya pada kondisi yang paling pelik sekali pun, semakin pekerjaan tambah pelik maka nilainya dan ganjaran yang diterimanya akan semakin besar.
Bagaimanapun, setiap manusia yang lebih mengetahui dirinya daripada orang lain. Dan lebih baik mengetahui kecendrungan dan pandangannya ketimbang orang lain, kendati boleh jadi dalam tingkatan kalkulasi, ia bertoleransi ia tidak memandang segala keburukannya atau mengkambing hitamkan orang lain atau boleh jadi apa yang nampak secara lahir berbanding terbalik pada jiwanya. Karena itu, ia harus prihatin terhadap dirinya dan berpikir untuk menyelamatkan dirinya dari pelbagai kebinasaan ini dan meraih kebahagiaan abadi, melalui jalan meraup maarif dengan benar dan mengerjakan amal shaleh, akhlak fadhilah dengan bertawassul dan bersandar kepada Ahlulbait As, dan menjaganya dengan kehendak yang kokoh dan melestarikannya hingga sampai pada puncak perjalanan yang dimaksud.[]
Daftar Pustaka:
1. Abdullah Jawadi Amuli, Hayât-e ‘Ârifâne Imâm ‘Ali As, hal. 15-33, cetakan pertama, 1380,
2. Abdullah Jawadi Amuli, Marâhil Akhlâq dar Qur’ân, hal. 227-249, Isra, cetakan ketiga, 1379,
3. Abdullah Jawadi Amuli, Ma’rifat Syinâsi dar Qur’ân, hal. 277-315, Isra, cetakan pertama, 1379,
4. Abdullah Jawadi Amuli, Shurat-e wa Sirat-e Insân dar Qur’ân, hal. 153-255, Isra, cetakan pertama, 1379,
5. Abdullah Jawadi Amuli, Fitrat dar Qur’ân, hal. 227-249, Isra, cetakan pertama, 1379,
6. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ma’ârif-e Qur’ân, jil. 1-3, hal. 421-442, Muassasah Dar Rah-e Haq, cetakan kedua, 1368,
7. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Akhlâq-e dar Qur’ân, jil. 1, hal. 110 & 174, Daneshgah-e Azad Islami, Muassese-ye Amuzesy wa Pazuhesy Imam Khomeini Qr, Teheran.
8. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Khudsyinâsi barâye Khudsâzi, Muassese-ye Amuzesy wa Pazuhesy Imam Khomeini Qr, cetakan pertama, 1377,
[1]. Catatan: Boleh jadi sebagian orang dengan klaim irfan dan tasawuf, tidak memiliki kecendrungan terhadap spiritualitas, dengan menampakkan secara lahir wilayah dan thariqat, sibuk dengan hiruk-pikuknya dunia!
[2]. “Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama dan syariat); maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Sesungguhnya Tuhan-mu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih padanya.” (Qs. Al-Jatsiyah [45]:17); “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian ia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu ia diikuti oleh setan (sampai tergoda), maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu. Tetapi dia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah. Perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya, anjing itu menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya, ia menjulurkan lidahnya (juga). (Ia sangat haus terhadap dunia sehingga tidak pernah terpuaskan). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.” (Qs. Al-A’raf [7]:175-176)
[3]. “Orang-orang Arab Badui itu lebih sangat kekafiran dan kemunafikan mereka, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada rasul-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Di antara orang-orang Arab Badui itu, ada orang yang memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) sebagai suatu kerugian dan dia menanti-nanti marabahaya menimpamu; merekalah yang akan ditimpa marabahaya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. Dan tidak juga mereka menafkahkan suatu nafkah yang kecil maupun yang besar, dan tidak melintasi suatu lembah (untuk menuju atau kembali dari medan jihad), melainkan ditulis bagi mereka, karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(Qs. Al-Taubah [9]:97,98, 119, 121);” Katakanlah, “Lari itu sekali-kali tidaklah berguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau keterbunuhan, dan jika (kamu terhindar dari kematian sekalipun), kamu tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.” . Mereka mengira (bahwa) golongan-golongan yang bersekutu itu belum pergi; dan jika golongan-golongan yang bersekutu itu datang kembali, niscaya mereka ingin berada di dusun-dusun bersama-sama orang Arab Badui, sambil menanya-nanyakan tentang berita-beritamu. Dan sekiranya mereka berada bersama kamu, mereka tidak akan berperang, melainkan hanya sebentar saja.” (Qs. Al-Ahzab [33]:16 & 20)
[4]. Abdullah Jawadi Amuli, Hayat-e Arifane Imam ‘Ali As, hal. 15 & 33; Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif-e Qur’an, jil. 3, hal. 421 & 442.
[5]. “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-An’am [6]:82)
[6]. “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, pada waktu ia memberi nasihat kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah), karena sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Qs. Luqman [31]:13)
[7]. “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, pada waktu ia memberi nasihat kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah), karena sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Qs. Luqman [31]:13)
[8]. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal.” (Qs. Al-Anfal [8]:2); “Allah telah menurunkan firman yang paling baik, (yaitu) sebuah kitab (Al-Qur’an) yang serupa (mutu dan kandungan ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang. Kulit orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka gemetar karenanya, kemudian menjadi tenang lahir dan batin mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, Dia memberi petunjuk dengannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya.” (Qs. Al-Zumar [39]:23); “Dan orang-orang yang mengerahkan seluruh daya mereka untuk melaksanakan ketaatan, sedang hati mereka takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (Qs. Al-Mukminun [23]:60)
[9].“Mereka adalah orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Qs. Al-Ra’ad [13]:28)
[10]. Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain). (Qs. Yusuf [12]:106)
[11]. “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Ibrahim [14]:27); “Sesungguhnya Kami pasti menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari para saksi (bangkit) berdiri (hari kiamat),” (Qs. Ghafir [40]:51); “Tatkala mereka berhadapan dengan Jâlût dan bala tentaranya, mereka pun (Thâlût dan bala tentaranya) berdoa, “Hai Tuhan kami, curahkanlah kesabaran atas kami, kukuhkanlah langkah-langkah kami, dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (Qs. Al-Baqarah [2]:250)
[12]. “(Kami jelaskan semua itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput darimu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang Dia berikan kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qs. Al-Hadid [57]:23)
[13]. “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu penentu dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. Al-Nisa [4]:65); “Dan tidaklah patut laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) perempuan yang mukmin memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab [33]:36)
[14]. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al-Ankabut [29]:69)