Dalam pandangan Syiah apabila seseorang melakukan mukjizat di dunia ini, maka di Indonesia juga kita melakukan sebuah sair dan suluk Syiah. Apakah sebagai warga negara Indonesia yang hidup di tengah masyarakat yang serba permissif (yaitu tempat dimana kemungkaran dilakukan dan setiap yang makruf ditinggalkan sedemikian sehingga sekujur tubuh kami, batin dan raga kami, dipenuhi dengan kemungkaran) kami tetap dapat sampai pada tingkatan-tingkatan irfani? Apabila hal itu dapat dilakukan, darimana kami harus memulai? Apakah kita dapat melintasi tingkatan-tiingkatan ini tanpa mursyid dan guru sempurna? Dan seterusnya? ...
Dalam dunia Syiah terdapat banyak arif yang memperoleh makrifat mereka dari sumber murninya yaitu dari para Imam Maksum As bahkan secara umum batin mazhab Syiah tidak lain adalah manifestasi irfan dan tauhid dalam wujud para Imam Maksum As.
Pada masa sekarang ini juga bukan hanya suluk irfani dan tahdzib al-nafs (pengelokan jiwa) yang mungkin dapat dilakukan bahkan suatu hal yang urgen dan mesti dijalankan. Karena buah ketakwaan hati di dunia yang dicekoki dengan kecanggihan teknologi hanya dapat diraup dengan pelbagai pencerapan, makrifat spirtiual dan irfani yang dapat dijumpai pada mazhab Syiah yang merupakan titik asal dan tertinggi irfan seperti ini.
Irfan dan Syiah
Terdapat selaksa dalil dan dari ragam dimensi yang dapat ditunjukkan terkait dengan hubungan erat antara irfan hakiki dan mazhab Syiah. Bahkan kebanyakan para arif mengklaim kesatuan (wahdat) antara keduanya di antaranya adalah Sayid Haidar Amuli yang termasuk arif yang menonjol dalam dunia irfan Islam yang menulis sebagai berikut, “Titik mula Syiah dan irfan merupakan perkara tunggal (wâhid) dan secara hakiki berujung pada ketunggalan (wahdat). Lantaran sumber rujukan (marja) dan tempat sandaran seluruh ilmu Syiah berujung pada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As dan setelahnya pada anak-anak dan keturunannya; demikian juga terkait dengan irfan hakiki (al-shufiyah al-haqqah) karena pengetahuan-pengetahuan dan sambungan-sambungan (kepada Allah Swt) tidak bersumber selain dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As dan keturunannya yang suci. Dan kita saksikan bahwa titik mula irfan dan pelbagai silsilah irfan, sampai pada Kumail bin Ziyad yang merupakan murid khusus Baginda Ali As atau berujung pada Hasan Basri yang juga merupakan murid terbesar dan anak didik utama Baginda Ali atau berujung pada Imam Ja’far Shadiq As yang merupakan salah seorang putra Baginda Ali As dan pemilik nash imamah dari sisi Allah Swt... Para Imam Syiah, juga merupakan para pemimpin syariat juga adalah pemimpin tarekat dan juga adalah para kutub (aqthab) dan tiang-tiang (asâthin) hakikat.”[1] Mereka adalah polar-polar dan pilar-pilar hakikat.
Mengkaji kesatuan hakiki antara irfan dan Syiah menuntut ruang dan waktu lain untuk dibicarakan secara rinci dan luas yang dapat dikaji baik dari sisi historisnya atau pun kandungannya. Namun yang pasti sentral utama irfan baik dari sisi pembahasan teoritis atau praktis adalah insan kamil yang merupakan manifestasi (tajallli) dan jelmaan (mazhar) hidup kebenaran (hak) di antara manusia. Dan tanpa ragu, para Imam Maksum As merupakan obyek hakiki makam ini dan pada masa ghaibat dan periode akhir zaman adalah Imam Zaman (Imam Mahdi, Imam Keduabelas) yang merupakan kutub seluruh arif dimana Nabi Khidir dan Isa Masih dan sebagainya (yang merupakan para arif yang masih hidup) adalah para menteri dan orang-orang terdekatnya.
Karena itu, tidak hanya pada dunia Syiah terdapat para arif yang banyak yang menerima pengetahuan-pengetahuan mereka dari sumber murni para Imam Maksum bahkan seara umum batin imâmah dan wilâyah dalam mazhab Syiah tidak lain adalah jelmaan irfan dan tauhid dalam wujud imam yang umum disebut sebagai wilâyah takwini dan makam-makam batin. Imam dalam definisi irfan bermakna kalbu alam eksistensi dan kutub alam semesta yang merupakan jelmaan keseluruhan sifat-sifat dan nama-nama Tuhan.
Silsilah Tasawuf
Masalah penerimaan sambungan dan geneologi dengan silsilah tarekat dalam irfan, diadopsi dari hubungan murid dan guru (murad), antara arif kamil dan salik thariq (pejalan). Umpamanya, hubungan antara Syams Tabrizi dan Rumi dapat dijadikan contoh dalam hal ini. Namun setiap murid yang memiliki hubungan dengan arif wâshil (yang telah sampai) tidak meniscayakan bahwa ia telah sampai pada makam irfan sempurna.
Dari satu sisi, kita ketahui bahwa kebanyakan arif meraup sumber irfan melalui jalan batin (yang dalam pandangan Syiah pasti melalui jalur batin imâmah) karena itu kebanyakan arif meski memiliki izin untuk membimbing namun dalam menerima hakikat irfan, mereka tidak menyandarkan dirinya kepada seseorang atau silsilah khusus orang-orang kiwari di antaranya Ibnu Arabi yang memperkenalkan Nabi Khidir sebagai gurunya.
Dengan demikian, setelah meninggalnya hampir kebanyakan arif, tarekat dan model suluk-nya di antara para pengikut dan orang-orang yang disandarkan kepadanya sepanjang sejarah berlanjut pada kehidupannya dan terkadang mengalami perubahan dan penyimpangan. Sedemikian sehingga semata-mata menyandarkan pada satu silsilah irfan (tasawuf) atau memilik hubungan ras dan selainnya tidak dapat mengungkap satu madrasah irfan yang orisinil.
Namun apa yang pasti, para arif kamil dan insan Ilahi senantiasa hadir di tengah manusia, apa pun pakaian dan kedudukannya, dan akan “menangkap” para pencari hakiki sair suluk. Lantaran tidak ada yang patut dipelitkan dari sisi Allah Swt dan setiap mukmin sejati yang perlu dan layak “ditangkap” akan ditemani oleh seorang arif sejati, dari sisi Allah Swt, dalam lintasan sair suluk-nya (perjalanan menuju Tuhan).
Karena itu, pada dasarnya, kita tidak dapat membatas irfan pada silsilah (an sich) dalam artian sejarahnya bahkan pada sebagian perkara teramat sulit bagi kita dalam menelusuri irfan di antara silsilah yang ada khususnya pada masa sekarang ini. Dan setiap penyandaran terhadap geneologi dan silsilah juga tidak bermakna menjadi pewaris sejati mazhab Ilahi irfan yang merupakan batin mazhab dan syariat para nabi Ilahi.
Sesuai dengan pandangan para arif, kriteria mengidentifikasi antara arif sejati dan arif gadungan adalah efek luar biasa kecintaan Ilahi dalam dirinya yang efek dan pengaruh ini juga dipindahkan kepada wujud salik sejati dimana salik merasakannya hingga beberapa lama dalam dirinya. Sebaliknya, para arif gadungan yang hanya dengan berkata-kata, mengecoh, bermain sulap, meniru tuturan-tuturan para arif besar, telah memanaskan pasarnya dan mencari para murid yang kesasar. Hal ini juga telah melahirkan pandangan negatif sebagian orang terhadap asas dan dasar irfan.
Irfan Islam pada Dunia Kiwari
Irfan Islam di masa yang dipenuhi sesak dengan teknologi moderen dan dimana-mana kejahatan dan kerusakan merajalela, sangat dapat memainkan peran penting untuk menyelamatkan manusia. Tidak hanya realisasi irfan seperti ini mungkin dapat dilakukan bahkan termasuk hal yang sangat urgen dan mesti dimiliki mengingat ketakwaan pada akhirnya hanya dapat diperoleh melalui pelbagai pencerapan maknawi dan hal-hal lahir semata-mata tidak mampu mencukupi kebutuhan intrinsik manusia.
Bahkan, dari satu sudut pandang, memahami pelbagai kebuntuan yang dihadapi dunia moderen dan tiadanya alternatif atas segala jenis penyaluran kebebasan hawa nafsu yang setiap hari semakin bertambah banyak pada setiap orang di masa kini dan kecanduan, bunuh diri dimana-mana, hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan manusia secara terpaksa dan terdesak memasuki dunia irfan, dan memiliki banyak kesiapan untuk kembali secara sempurna kepada segala yang serba spiritual.
Spiritualitas yang secara tunai dan hadir melalui jalan ilmu syuhudi dan hudhuri pada jiwa dan hati manusia akan menyampaikan manusia kepada jenjang kekayaan jiwa dan munculnya perasaan tidak membutuhkan secara sempurna kepada dunia dan segala permainan di dalamnya.
Jalan Praktis Irfan
Pertama-tama kami harus mengingatkan bahwa irfan adalah sebuah perkara yang tidak terpisah dari agama dan mazhab bahkan merupakan sebuah hakikat dan batin agama. Karena itu, agenda praktis irfan infrastrukturnya tidak lain kecuali syariat. Hanya saja syariat dengan cahaya makrifat irfan akan memperoleh dimensi-dimensi lebih dalam dan seorang salik akan terbimbing menuju tujuan yang lebih menjulang dan tinggi. Sebagaimana redaksi syariat sendiri bermakna jalan. Sementara makrifatuLlah dan irfan adalah tujuan dari jalan ini. Syariat Islam bukan semata-mata adab dan kebiasaan agama yang menyebar di tengah masyarakat, melainkan aturan praktis yang diperlukan untuk menjaga dan memelihara subtansi intrinsik manusia dan menyampaikannya kepada kesempurnaan pengenalan diri (ma’rifat nafs) dan pengenalan Tuhan (ma’rifatuLlah).
Apabila tingkatan-tingkatan syariat dan ketakwaan dijalankan yang seluruhnya pada hakikatnya adalah adab untuk memanusia, maka kalbu akan memperoleh kondisi-kondisi yang diperlukan untuk menemukan jalan-jalan spiritual dan batin yang disebut sebagai tarekat. Dan puncak perjalanan ini tidak lain kecuali sampai kepada hakikat.
Menjejakkan kaki di jalan suluk kepada Tuhan (suluk ilaLlah) dan ber-mujâhadah di jalan ini pertama-tama adalah taubat dan memutuskan secara pasti untuk meninggalkan dosa-dosa hingga pada titik tertentu terpenuhi syarat-syarat untuk menerima petunjuk-petunjuk Ilahi. Petunjuk-petunjuk ini akan muncul melalui ragam jalan bagi salik. Memperoleh taufik untuk memanfaatkan manusia-manusia unggul dalam kehidupan manusia sebagai hujjatuLlah termasuk salah satu petunjuk khusus terpenting Ilahi. Dan bahkan pada tingkatan-tingkatan lebih tinggi dari sair suluk, memanfaatkan seorang guru sempurna adalah sesuatu yang niscaya dibutuhkan. Manusia yang paling bahagia adalah mereka yang menjalin hubungan dengan manusia-manusia sempurna seperti ini.
Apabila seorang salik di jalan irfan memiliki tekad dan kehendak sempurna maka di ujung dunia mana pun ia berada maka petunjuk khusus Tuhan akan senantiasa menemukannya. Dengan menelaah biografi para salik besar menunjukkan kepada kita bagaimana orang-orang ini dalam kehidupannya, dengan bantuan Ilahi dan melalui ragam cara yang bahkan tidak terlintas dalam benak mereka, bertemu dengan para arif besar. Karena itu, kekuasaan Tuhan untuk memberikan petunjuk tidak terbatas pada zaman mana pun dan sama sekali tidak memiliki batasan. Demikian juga, mizan keprihatinan yang dimiliki para insan Ilahi dalam rangka memberikan petunjuk kepada manusia bahkan lebih besar dari apa yang mereka tuntut. Karena itu, ketulusan dan keikhlasan dalam menuntut tanpa ragu akan diterima dari sisi Allah Swt. Apa yang pada masa kita jarang dijumpai kehendak sempurna untuk meninggalkan secara sempurna segala keterkaitan dan keterikatan dunia kalau tidak petunjuk khusus Ilahi senantiasa menantikan para hamba.
Patut untuk disebutkan bahwa terdapat para arif besar di dunia Syiah yang senantiasa mengemuka dan pada abad-abad belakangan banyak di antara mereka yang “menangkap” para salik dan banyak menggembleng para murid dan salik. Di antara mereka yang dapat disebut namanya di sini adalah Ayatullah Mirza Ali Aqha Qadhi, Mulla Husain Quli Hamadani, Ayatullah Anshari Hamadani, dan banyak lagi yang lainnya yang menghabiskan usia mereka menggembleng para salik dan masih banyak dari murid ternama atau tanpa nama mereka yang memberikan kehangatan pada majelis-majelis para salik (pejalan).
Akhir kata, untuk menelaah dalam bab tarekat praktis sair dan suluk irfani, kami anjurkan kepada Anda untuk menelaah kitab “Maqâlat” karya Ayatullah Muhammad Syujai yang telah disusun dalam tiga jilid[2] dan tingkatan-tingkatan amalan praktis suluk dijelaskan dengan rinci sebagaimana berikut ini:
1. Yaqzha atau tersedot magnet Rububiyah
2. Taubat atau Kembali kepada Maksud
3. Pensucian Batin atau Taubat dari Sifat-sifat dan Akhlak tercela
4. Thalab (Menuntut) dan Mujâhadah (Berjuang)
5. Tingkatan Pertama Murâqabah (Pengawasan)
6. Tingkatan Kedua Murâqabah
Untuk telaah lebih jauh kami persilahkan Anda untuk merujuk pada indeks berikut ini:
7709 (Site: 7855), 9043 (Site: 9018)