Yang dimaksud dengan taklid adalah merujuknya seorang non-ahli, dalam sebuah masalah keahlian dan spesialisasi, kepada seorang ahli. Dalil terpenting atas keharusan bertaklid dalam masalah agama adalah poin rasional ini yang menandaskan bahwa seorang non-ahli harus merujuk kepada seorang ahli dalam masalah-masalah keahlian dan spesialisasi. Di samping itu, terdapat sebagian ayat dan riwayat juga menekankan perlunya taklid, misalnya ayat, “fas’alu ahl al-dzikr in kuntum la ta’lamun.” (Bertanyalah kepada orang yang mengetahui apabila engkau tidak mengetahui sesuatu).
Akan tetapi harap diperhatikan bahwa seluruh dalil-dalil literal taklid umumnya bersandar pada masalah yang diterima dan disepakati oleh orang-orang berakal. Karena itu, para marja taklid adalah para ahli dan ekspert dalam masalah fikih yang memiliki kemampuan untuk melakukan inferensi (istinbâth) hukum-hukum Ilahi dari sumber-sumber syariat dan konsekuensinya adalah bahwa orang lain harus merujuk kepada mereka dalam masalah-masalah agama (fikih).
Islam telah menetapkan pelbagai aturan untuk memenuhi kebutuhan manusia baik secara material dan spiritual, personal dan sosial, ekonomi dan politik yang terangkum dan tersusun dalam ragam aturan juristik dan membentuk sebuah disiplin ilmu yang disebut sebagai ilmu Fikih. Ilmu Fikih sejatinya sebuah metode orisinil penghambaan, cara valid dan manusiawi untuk merajut hubungan-hubungan sosial dan merupakan sistem-sistem hayati yang menyoroti seluruh dimensi kehidupan manusia. Meminjam tuturan Imam Khomeini Qs, “Fikih adalah teori faktual dan sempurna yang berguna untuk mengatur manusia dan masyarakat semenjak buaian hingga liang lahad.”[1]
Mengingat peran penting dan signifikan fikih dan hukum-hukum syariat, para pemimpin (imam) Islam menganjurkan kaum Muslimin untuk mempelajari ilmu Fikih dan mencela orang-orang yang mengabaikan tugas penting ini atau memandang enteng urusan mempelajari hukum-hukum syariat.
Imam Baqir As bersabda, “Apabila salah seorang Syiah yang tidak mau belajar ilmu Fikih dihadapkan kepadaku maka aku akan mendidiknya.”[2]
Dalam syariat Islam terdapat hal-hal yang diwajibkan (wajib) dan hal-hal yang diharamkan (haram). Allah Swt mensyariatkan keduanya bagi kebahagiaan manusia dunia dan akhirat. Apabila manusia tidak mematuhi dan menaatinya, tidak hanya ia tidak akan sampai pada kebahagiaan ideal dan juga tidak akan aman dari azab apabila ia membangkanginya. Untuk mengenal hukum-hukum syariat terdapat banyak disiplin ilmu yang harus dipelajari di antaranya, “tafsir ayat dan riwayat, ilmu hadis untuk mengenal hadis sahih dan tidak sahih, ilmu yang mengajarkan metode penyusunan dan pengumpulan riwayat-riwayat dan ayat-ayat dan puluhan masalah lainnya yang harus dipelajari dan memerlukan usaha serius dan waktu yang cukup lama.
Dalam kondisi seperti ini, mukallaf berhadapan dengan tiga jalan di hadapannya:
Pertama: Dengan cara mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama (ijtihad).
Kedua: Dengan cara mengkaji berbagai pandangan marja' taklid, kemudian mengamalkan pendapat yang menurut seluruh pandangan marja' bahwa amalnya (berihtiyath) itu benar.
Ketiga: Mengambil dan mengamalkan pandangan seseorang yang telah mempelajari ilmu-ilmu agama secara mendalam dan mengetahui hukum-hukum syar'i dengan baik (bertaklid kepada seorang marja' yang telah memenuhi syarat).
Tidak syak lagi, apabila pada jalan pertama ia telah menggondol derajat ijtihad dan menjadi seorang ahli dalam bidang hukum-hukum syariat maka ia tidak lagi memerlukan dua jalan lainnya. Akan tetapi untuk mencapai tingkatan ini, mau-tak-mau, ia harus melalui dua jalan tersebut.
Jalan kedua, memerlukan seperangkat informasi yang memadai tentang pendapat-pendapat yang ada dalam setiap masalah. Metode-metode ihtiyath dan pada kebanyakan urusan, dapat berpotensi mengganggu kehidupan normal seseorang mengingat kepelikan yang ditimbulkan dari bersikap hati-hati. Mau tidak mau pilihan “taklid” menjadi pilihan yang tidak dapat dielakkan bagi masyarakat secara umum karena kemudahan dan keringanannya. Tiga jalan ini tidak terkhusus dalam masalah hukum-hukum syariat saja melainkan pada setiap bidang spesialisasi juga demikian adanya. Sebagai contoh, anggaplah seorang insinyur ahli yang menderita sakit. Untuk mengobati penyakit yang dideritanya ia memiliki dua jalan, apakah ia belajar sendiri ilmu Kedokteran atau menelaah seluruh pendapat para dokter sedemikian ia beramal sehingga tidak menyisakan penyesalan nantinya atau ia merujuk kepada seorang dokter ahli.
Apabila ia memilih jalan pertama ia tidak akan segera terobati. Jalan kedua juga sangat pelik dan akan menghalangi pekerjaan yang menjadi keahliannya (engineering). Karena itu, tanpa ragu, ia harus meminta tolong kepada seorang dokter ahli dan beramal berdasarkan pendapat dokter tersebut.
Apabila insinyur ini beramal berdasarkan resep dokter ahli maka hal itu tidak hanya membuatnya menyesal di kemudian hari tetapi juga ia akan terhindar dari cemoohan teman-temannya bahkan pada kebanyakan urusan, penyakitnya juga akan terobati. Mukallaf demikian adanya. Mukallaf dalam beramal atas pendapat mujtahid ahli, ia tidak hanya terselematkan dari penyesalan akhirat dan azab Ilahi melainkan juga akan memperoleh kegunaan-kegunaan hukum-hukum syariat.[3]
Karena itu, yang dimaksud dengan taklid adalah merujuknya seorang non ahli, dalam urusan keahlian, kepada seorang yang ahli dalam bidang tersebut. Dan dalil terpenting atas keharusan bertaklid dalam masalah agama (fikih) adalah poin rasional ini bahwa seorang non-ahli harus merujuk kepada ahlinya dalam masalah-masalah keahlian. Tentu saja kita juga dapat menyodorkan dalil-dalil yang bersumber dari ayat-ayat al-Qur’an dan riwayat-riwayat. Misalnya al-Qur’an menandaskan, “Fas’alû Ahla al-Dzikr in kuntum la ta’lamun” (Bertanyalah kepada orang-orang yang tahu jika sekiranya kalian tidak mengetahui).[4]
Atau dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa “Adapun yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi maka merujuklah (kalian) kepada para perawi hadis kami karena mereka adalah hujjahku bagi kalian dan aku adalah hujjah Tuhan bagi mereka.”[5]
Muhaqqiq Karaki berkata, “Seluruh orang Syiah bersepakat bahwa juris adil, amanah, memenuhi segala syarat dalam mengeluarkan fatwa yang disebut sebagai mujtahid dalam hukum-hukum syariat yang mengemban tugas sebagai deputi, dari sisi para imam pada masa ghaibat, pada segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan perwakilan.”
Namun harap diperhatikan bahwa seluruh dalil-dalil literal taklid lebih menekankan pada masalah yang diterima oleh orang-orang berakal dan tidak menambahkan poin lainnya.
Oleh karena itu, para marja taklid adalah orang-orang ahli dan spesialis fikih yang memiliki kemampuan dalam melakukan inferensi (istinbâth) hukum-hukum Ilahi dari sumber-sumber syariat dan sudah merupakan keharusan bagi yang lain untuk merujuk kepada mereka dalam masalah-masalah agama (fikih). [IQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat beberapa indeks terkait:
- Marjaiyyah dan Taklid, Pertanyaan 276.
- Wilayah Fakih dan Marjaiyyah, Pertanyaan 272.
- Dalil-dalil Wilayah Fakih, Pertanyaan 235.