Wahdat al-wujud adalah gagasan yang paling fundamental dalam ranah irfan. Dalam pandangan dunia irfan seperti dalam mazhab Ibnu Arabi, wahdat al-wujud adalah doktrin yang paling mendasar. Doktrin ini mengatakan bahwa wujud hakiki, hakikat yang real adalah tunggal dan azali dan wujud itu adalah wujud Allah Swt. Sementara wujud-wujud lain tidak real. Wujud yang lain selain Tuhan adalah tajalli (manifestasi) Allah Swt dan semua keragaman dan pluralitas itu kembali pada wujud yang hakiki itu.
Wahdat al-wujud juga didukung oleh argumen-argumen filosofis yang sejatinya bermuara pada kasyf (penyingkapan) dan syuhud (penyaksian). Salah satu argumen yang digunakan untuk mendukung teori ini adalah teori ashalatul wujud (prinsipalitas wujud) dan teori isytirak maknawi wujud (ekuivokal). Menurut prinsip musytarak maknawi (ekuivokal), wujud itu adalah tunggal, sebab tidak mungkin lahir makna wujud yang berbeda-beda dari yang tunggal. Selain itu kaidah yang lain yang dipakai adalah adalah kaidah ‘Bashitul haqiqat kulla asya’ (the simplicity of everything).
Dari kalangan para teolog ada sebagian yang menolak dokrin wahdat al-wujud bahkan sebagian menganggapnya berimplikasi pada penyekutuan Tuhan. Salah satu alasan mereka, karena wujud tuhan berbeda dengan wujud-wujud non-tuhan dan kesucian wujud Tuhan tidak bisa dinodai oleh wujud-wujud materi yang lain.
Keberatan kaum teolog juga didukung oleh argumen-argumen yang tidak sedikit, di lain pihak sebagian kelompok yang mengaku sufi juga tidak bisa bisa menjawab kritikan kaum teolog dengan fasih (artikulatif).
Mulla Shadra arsitek aliran filsafat Hikmat Muta’aliyah (Filsafat Hikmah) telah berhasil melahirkan konsep-konsep yang dapat merumuskan konsep wahdat al-wujud secara rasional dan menguraikan kerumitan-kerumitan bagi yang tidak bisa memahami dengan jelas. Lewat karya magnum opus, al-Asfar al-“Arba’ah, ia menjelaskan perihal ketunggalan mutlak Ahadiyah (unconditionally absolute); yang hakikat dan esensinya di luar pemahaman manusia (beyond all comprehensions and contemplations), dan juga wujud munbasith (extended being).
Dalam penjelasan Shadra, bahwa kata wahdat (tunggal) yang kerap digunakan para urafa adalah ketunggalan pada level ahadiyah dan bukan pada level wujud munbasith. Kesalahpahaman kaum teolog juga karena kasalahan konseptual ini dan sinkretisasi antara kedua istilah ini.
Doktrin wahdat al-wujud adalah doktrin yang fundamental dalam dunia tasawuf atau irfan (Islamic Mysticism), yang juga menjadi isu yang besar di kalangan para mistikus Islam dan mistikus non-Islam. Dan doktrin ini semakin menemukan bentuknya secara sistematis dalam irfan Ibnu Arabi.
Seperti yang telah dijelaskan dalam paragraf-paragraf sebelumnya bahwa yang real hanyalah Allah; Yang azali dan abadi; wujud yang tunggal hanyalah milik Allah. Alam adalah wujud yang tidak mandiri.
Wujud hakiki, meskipun tunggal tapi memiliki beragam manifestasi. Jadi tidak ada dualitas wujud yaitu antara wujud Khaliq (pencipta) dan wujud makhluk (yang dicipta), tapi keduanya adalah satu wujud. Dengan kata lain wujud yang Hak itu kadang-kadang termanifestasi dalam wujud makhluk dengan menurunkan level dirinya dalam level wujud makhluk.
Ibnu Arabi menuturkan: Apa yang kita katakan tentang-Nya pada hakikatnya adalah berbicara tentang sifat dan tentang diri-Nya, sebab eksistensi kita adalah eksistensi diri-Nya. Kita sangat memerlukan diri-Nya agar bisa eksis dan Ia juga memerlukan diri kita untuk melakukan tajali-Nya.[1]
Dalam pandangan Ibnu Arabi, Allah dan makhluk adalah satu dan satu sama lain saling membutuhkan, jadi makhluk adalah dirimu dan sifat al-Hak, hanya saja wujud hubungan keberadaan terhadap Allah adalah hubungan real (hakiki) dan yang lain hanyalah hubungan metaforis (majazi).
Dalam kitab Futuhat al-Makkiyah, di bab hayrah insan (ketakjuban seorang manusia), Ibnu Arabi mengatakan demikian, bahwa perbedaan antara hayrah seorang ahlullah (orang-orang Allah) dan ahlinazar (pemilik akal) adalah demikan:
Ahlnazar (pemilik akal) mengatakan: Dalam segala sesuatu ada tanda yang menunjukan bahwa Dia adalah satu, namun bagi yang memahami hakikat tajali akan mengatakan bahwa, di dalam segala sesuatu ada ayat yang menunjukkan bahwa segala sesuatu itu adalah Dirinya sendiri (aynuhu). Tidak ada yang wujud, selain Allah, Allah adalah dirinya sendiri. Tidak dikenal seseorang atau yang hakikat lain selain diri-Nya, itulah seperti yang diucapkan oleh Bayazid : Aku adalah Allah atau subhanî[2]
Pernyataan Ibnu Arabi yang kontrovesial dan memicu kritikan yang keras dari kaum teolog adalah bait-bait di bawah ini yang ditulis dalam Futuhat:
Maha suci yang menampakan segala sesuatu yang juga diri-Nya
Aku tidak melihat selain diri-Nya dan telingaku tidak mendengar selain kata-kata-Nya, wujud segala sesuatu dalam diri-Nya (immanen) dan setiap orang masih tenggelam dalam mimpinya.[3]
Wahdat al-wujud dalam Pemikiran Ibnu Arabi adalah bahwa wujud di alam musyahada (alam dunia) adalah tajali diri-Nya. Aku merindukan semua alam sebab semuanya dari diri-Nya atau semua alam adalah diri-Nya.
Syaikh Mahmud Syabistari seorang arif di abad ke-6 mengatakan demikian: “Al-Haq yang mulia tidak memiliki dualitas. Di dalam wujud, tidak ada kami dan aku. Di sana kami dan engkau adalah satu. Dalam wahdat tidak ada tamyiz (distingsi); tidak ada perbedaan (differentiation); (yang ada adalah) kemanunggalan antara Wajah al-Baqi (yang Abadi) dan ghaeru halik (tidak binasa); kemanunggalan sair (lintasan), salik (pejalan) dan suluk (perjalanan). [4]
Imam Ghazali mengatakan bahwa para urafa melesakkan dirinya terbang dari batasan-batasan metaforis ke puncak hakikat dan menyempurnakan dirinya dalam mikraj dengan melihat hakikat diri-Nya. Di istana eksistensi tidak ada yang real selain Tuhan. Segala sesuatu binasa (fana) di dalam diri-Nya, tidak hanya dalam satu fase zaman bahkan di awal (azali) di tahap akhir (abadi). Segala sesuatu memiliki dua wajah, satu wajah mengarah pada dirinya dan satu wajah lagi menuju tuhannya. Wajah yang pertama di lihat dari perspektif yang real adalah ketiadaan (‘adam) dan yang lain adalah keberadaan (wujud).
Pada akhirnya, tidak ada yang wujud selain tuhan. Kullu Syaii halikun illa wajhahu; Segala sesuatu fana di dalam diri-Nya yang azali dan abadi.
Lantaran itu, para urafa tidak lagi menanti-nanti jawaban atas pertanyaan-pertanyaan liman al-mulk yawma lilahil wahidil qahhar (Siapakah yang memiliki kerajaan hari ini? Untuk Allah yang Maha Esa dan Mahakuasa) Semuanya adalah milik Allah yang Mahatunggal dan Yang Mahaberkuasa. Lisan mereka senantiasa basah dengan ucapan-ucapan seperti itu hingga hari kiamat.
Mereka tidak menafsirkan Allah Akbar dengan Allah Yang Mahabesar dari yang lain, sebab tidak ada tempat bagi yang lain. Non tuhan sampai kapanpun tidak akan meraih martabat dan sederetan dengan al-Hak (the Truth).[5]
Untuk diingat bahwa terma ashalatu wujud (kehakikan wujud) tidak tercatat di dalam tulisan-tulisan Ibnu Arabi. Istilah-istilah ashalatul wujud di zamannya masih belum populer. Istilah itu dipopulerkan para pensyarah karya-karya Ibnu Arabi (baca: Mulla Shadra).
Argument-argumen Wahdatul Wujud
Arif dan filosof sekaliber Mulla Shadra dan yang lainnya menyampaikan argumen-argumen filsafat untuk membela wahdat al-wujud lewat kaidah ashalatul wujud dan musytarak maknawi (ekuivokal).
Dalam teori isytirak maknawi yang wujud itu adalah hakikat yang tunggal, esa, sebab tidak mungkin kata tunggal diabstraksikan (intiza’) dari hakikat yang berbeda-beda satu sama lain (jadi harus satu hakikat).
Kaidah ‘basithul hakikat kulla asyya’ (the simplicity of everything) simplisitas atau ketidaktersusunan hakikat segala sesuatu.
Dzat yang basith (simple, tunggal) jika tidak meliputi segala sesuatu akan tersusun dari beberapa elemen (tarkibi) baik ia bersifat material atau non-material; jadi wujud mutlak adalah kesempurnaan (kamal) segala sesuatu dengan modus inbisâth (mengalir dalam yang lain).[6]
Argumen-argumen yang anti terhadap Doktrin Wahdatul Wujud
Sebagian fukaha dan teolog baik dari mazhab Syiah atau Sunni atau Kristen mengkritik doktrin tersebut , bahkan sebagian mengkafirkan para pendukung doktrin ini. Karena bertentangan dengan keyakinan mainstream umat Islam. Seperti dengan kalimat la ilaha illah, yaitu syiar islam yang pertama.
Syiar para pembela wahdatul wujud adalah : La wujud illa Allah, yaitu bahwa segala yang ada baik itu berhala atau sembahan lain juga adalah Tuhan. Sementara kalimat la ila illah mengatakan bahwa selain tuhan seperti berhala dsb tidak boleh disembah. Sembahan-sembahan lain tidak layak dijadikan tuhan.
Mereka juga menyerang doktrin para urafa yaitu ‘Maha suci Allah yang bertajali dalam segala sesuatu dan itu juga adalah hakikat diri-Nya.’ Karena dengan pernyataan tersebut menurut mereka berarti menyamakan Tuhan dengan benda-benda yang kotor dan najis, dan kata-kata ini jelas bentuk lain dari kekafiran.
Tentu saja para urafa juga dalam hal ini memiliki kekurangan yaitu tidak fasih dalam mengartikulasikan doktrin-doktrin utama mereka atau mungkin saja para pengkritiknya tidak bisa memahami dengan tepat terhadap maksud mereka. Dari sinilah timbul polemik yang melahirkan trend permusuhan terhadap para urafa termasuk Ibnu Arabi .
Teori wahdat al-wujud adalah teori yang komplek, tidak sederhana dan tidak mudah dicerna secara sambil lalu dan tidak setiap orang memiliki kemampuan untuk bisa menjelaskan hal ini secara benderang.
Namun, di tangan Mulla Shadra doktrin ini bisa diuraikan dengan begitu ilmiah. Ia memiliki kemampuan luar biasa dalam menguraian secara rasional sekaligus memetakan kesalahfahaman atas doktrin tersebut.
Ia menjelaskan tentang konsep saryan (flux, mengalir terus-menerus) wujud dalam wujud yang muta’ayyin (entified) dan wujud spesifik sebagai berikut:
“Ketahuilah bahwa segala sesuatu dalam dalam realitasnya terdiri dari beberapa tingkatan.
Tingkatan pertama, yaitu wujud yang mutlak , tidak terikat, tidak terkondisikan, dan tidak memiliki batasan-batasan dengan batasan apapun (infinite); Yang disebut sebagai huwiyah gaybah atau gaib mutlak; Dzat Ahadiyah, pada tingkatan ini tidak ada nama dan tidak ada sifat. Dan tidak ada akses makrifat ke atas-Nya.
Tingkatan kedua, yaitu wujud yang memiliki relasi dengan yang lain yang diistilahkan dengan wujud muqayyad; yang memiliki hukum-hukum, tipologi, yaitu wujud-wujud intelek, nufus (souls), aflak (celelstial body), unsur-unsur dan tarkib-tarkib, seperti insan, hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan dan entitas-entitas lainnya.
Tingkatan ketiga, yaitu wujud munbasith yang memiliki kemutlakan tapi tidak seperti keumuman kulli (universal), namun dalam format lain, karena wujudnya adalah tahasul (proses/peraihan) dan potensi, maka ia termasuk kulli thabi’i (universal natural) atau kuli ‘aqli (universal rasional). Statusnya masih mubham (samar). Untuk memperoleh status wujudnya ia memerlukan elemen yang lain.
Unitas wujud munbasith tidak dalam bentuk bilangan sebab wujud munbasith adalah hakikat yang satu; yang (ekstended/mumtad/mengalir) pada entitas-entitas kontingen, Hakikat ini adalah asal dunia, falak kehidupan, Arsy ar-Rahman, al-Haq makhluk bihi atau hakikat al-haqâiq dalam lisan para sufi.[7]
Dengan analisa di atas, jadi yang dimaksud dengan al-Haq; wajibul wujud (Wujud Wajib) dalam bahasa para urafa yaitu wujud di tingkatan pertama; yaitu hakikat bi syarti la syai’ (hakikat yang tidak disyaratkan dengan apapun/Hakikat mutlak) sebab kalau bukan pada tingkatan pertama bisa melahirkan tuduhan-tuduhan yang kontroversial dan memang sesat bagi mazhab mana saja yang memiliki prinsip demikian dan dianggap sedang mempromosikan keyakinan panteisme (hulul).[8]
Mulla Shadra di dalam bab Wahmun wa Tanbih, mengatakan ada sebagian orang yang mengaku-aku sebagai sufi, namun mereka tidak mengikuti manhaz para arifin dan mereka juga tidak mencapai maqam para urafa. Lantaran tidak memiliki kapasitas untuk mencerap bahasa para urafa selain itu pikiran mereka sering dikuasai oleh waham.
Mereka menuding bahwa Dzat ahadiyah yang dalam tafsir para urafa dilekatkan pada Dzat maqam Ahadiyah, gaybul guyub, gaybul huwiyat sebagai yang kosong dari manifestasi dan tidak memiliki realitas aktual (bil fi’l). Tapi hanya terealisasir dalam sebuah form (shurah) dan quwwa ruhaniyah wa hissi (kualitas ruhaniyah dan fisik). Dan Allah adalah adalah Zahid Majmu’ (substansi yang terdiri dari beberapa elemen) dan itu adalah representasi dari insan kabir (kosmos) dan kitab mubin yang kemudian terwadahi dalam citra insan shagir (manusia).
Tudingan ini merupakan klaim-klaim kekufuran dan zindiq. Seseorang yang memiliki kecerdasan sedikit saja tidak akan mengungkapan perkataan kata seperti ini. Dan penisbatan pemahaman seperti terhadap para sufi agung dalah sebuah pelecehan intelektual , sebab hati dan pikiran mereka bersih dari keyakinan-keyakinan seperti itu.
Sangatlah mungkin kalau aktor di balik yang melontarkan tuduhan-tuduhan seperti itu adalah orang-orang jahil dalam menisbatkan wujud mutlak. Sebab wujud kadang-kadang mengacu pada wujud mutlak, wujud syamil atau terhadap konsep-konsep umum yang abstrak.
Salah satu kitab yang ditulis untuk menyerang kaum urafa adalah kitab ‘Masra tasawwuf yang ditulis Burhanudduin Baqai (888-809). Kitab itu mengandug sejumlah kesalahan interpretasi atas ucapan kaum sufi :
Syaikh Zaynuddin Abdurrahim bin Al-Husain Iraki yang disebut oleh baqai sebagi syaikh syuyukh (gurunya para guru); Imam Qurwah; Syaikh Islam, penjaga zamanya menyampaikan komentarnya tentang Ibnu Arabi ;
“Ini adalah keyakinan yang menentang Allah dan rasul-Nya dan semua (keyakinan) mayoritas kaum Muslimin; Mereka adalah yang hanya menjustifikan keyakinan kaum sufi dan lebih percaya mereka adalah yang paling memiliki makrifat tentang Tuhan. Mereka mendefiniskan bahwa sufi adalah orang yang meliha tuhan di mana saja dan bahwa semuanya adalah Tuhan itu sendiri. Tidak diragukan lagi ini adalah sebuah bentuk kemusyrikan dan lebih buruk dari penyimpangan kaum Nasrani dan Yahudi, sebabnya orang Yahudi dan Nasrani hanya mempersekutukan tuhan dengan hamba-hamba yang paling dekat dengan Allah, sementara Ibnu Arabi mempersekutukan Tuhan dengan kambing, dengan berhala dan bahkan dari kata-kata mereka dapat ditafsirkan bahwa tuhan adalah anjing dan babi dan bahkan juga barang-barang yang kotor. Salah seorang ahli ilmu dan ahli tsiqat menukil kepada saya ia perna melihat komunitas seperti ini di sekitar perbatasan Iskandariyah. Mereka berkata kepadanya bahwa tuhan adalah segala sesuatu. Ketika itu seekor keledai melewati tempat tersebut saya bertanya apakah keledai juga tuhan? Meraka mengiyakan dan lalu kata saya bagaimana dengan kotoran apakah itu juga tuhan dan ternyata mereka mengiyakan juga.”
Di belahan dunia Barat juga banyak tuduhan-tuduhan yang negatif terhadap kaum mistikus akibat kesalahan mereka dalam menyelami konsep wahdatul wujud
Doktor Barens seorang pendeta dari Birmingham mengatakan, “Menurut saya semua konsep tentang wahdat al-wujud harus ditolak. Sebab jika manusia adalah Tuhan manusia, maka semua kotoran dan najis yang ada di tubuhnya juga adalah Tuhan.[9] Stace salah seorang teolog kristen mengatakan bahwa ada tiga hal yang mendorong orang-orang beragama tidak menyukai konsep wahdat al-wujud yaitu, Pertama, Monoteism, sementara wahdat al-wujud dalam pandangan para ilmuwan Barat percaya dengan satu yang tidak distingtif (gairu mutasyakhish). Kedua, yaitu kritikan atas doktrin ini sebab memandang selain tuhan juga memiliki sifat-sifat ketuhanan dan konsekuensinya maka syarr (keburukan) juga adalah tuhan dalam pandangan mereka. Ketiga, dalam setiap jantung agama terselip perasaaan akan keagungan (Majesty of) Tuhan dan perasaan ini akan lenyap dalam pandangan wahdat al-wujud seperti yang dikatakan oleh Rudolf Otto tentang rahasia dari keagungan yang mencengkram. Status manusia sesungguhnya tidak memilik apa-apa. Di sisi Tuhan manusia identik dengan ketiadaan. Dengan semua kelemahan manusia seperti itu alangkah tidak pantasnya mengklaim menyatu dengan Tuhannya (wahdatul wujud). Klaim-klaim kesatuan tuhan dengan makluk-Nya adalah kekafiran sebab mengasumsikan tidak ada jarak lagi antara Tuhan, manusia dan semesta. [10]
Dengan demikian, maka tidaklah menakjubkan kalau komunitas masyarakat teolog dan juga para fukaha (juris) Islam dan juga dari kalangan agama lain dengan keras menentang teori wahdat al-wujud. Dengan jelas bahwa lantaran konsep itu tidak mudah dicerna selain itu juga pemaparan yang keliru dari para psudo sufism (sufi gadungan) yang semakin mengaburkan konsep yang sebenarnya.
Namun,alangkah baiknya bagi mereka yang memang tidak memiliki pengetahuan yang luas tentang konsep tersebut, menahan diri untuk tidak mengeluarkan komentar-komentar di depan publik dan mereka yang tidak bisa menangkap ucapan-ucapan para urafa sebaiknya juga tidak begitu mudah menyematkan label-label kafir kepada mereka. Alangkah jujurnya jika menyatakan bahwa mereka memilih diam karena belum bisa memahami dengan jelas kata-kata kaum sufi.[]
[1] Ibnu Arabi, Fushus al-Hikam, hal. 164.
[2] Ibid, juz 1:272
[3] Ibid, juz 2:459
[4] Syaikh Mahmud Syabastari, Gulistan Râz.
[5] Muhammad Gazali, Misykat al-Anwâr :150-152
[6] Mulla Shadra, Al-Asfar al-Arba’ah, juz 2: 327.
[7] Shadru Muta’alihin, al-Asfar al-Arba’ah, jil. 2 hal 327-330.
[8] Bertand Rusell, Ilmu wa Mazhab hal 127
[9]. Bertand Russel, Ilmu wa Mazhab hal 127 nukilan dari kitab Falsafah wa irfan
[10]. ‘Irfan wa Falsafe, hal. 256, nukilan dari Sayid Yahya Yatsribi, Falsafeh-ye Irfan, hal. 173.