Rakyat di dalam pemerintah Islam merupakan salah satu pilar penting pemerintah dan mempunyai peranan penting dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Memilih tatanan dan undang-undang pemerintahan Islam.
2. Memilih para pejabat tinggi, baik secara langsung maupun tidak.
3. Memberikan masukan dan pemikiran kepada hakim (penguasa) Islam.
4. Turut serta dalam menetapkan undang-undang melalui para wakil mereka yang duduk di Majlis Syura Islami (DPR).
5. Memantau dan mengawasi perbuatan, tingkah laku dan ucapan para pejabat.
Dalam pandangan Islam dan ayat-ayat al-Qur'an, rakyat merupakan salah satu pilar asasi dan mendasar bagi sebuah pemerintahan. Dalam al-Qur'an, Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul- rasul Kami dengan membawa bukti- bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Qs. Al-Hadid [57]:25) Karena itu, Islam, yang memiliki selaksa agenda dalam menerapkan keadilan di tengah masyarakat, memandang lebih baik jika hal itu dikelola oleh rakyat dan rakyat sendiri yang menegakkannya, bukan pemerintah atau penguasa.
Hubungan rakyat dan pemerintah dapat disimpulkan dalam beberapa poin berikut:
1. Memilih sistem pemerintahan Islam atas saran rakyat
Dalam pemerintahan Islam, rakyatlah dengan kesadaran dan cinta yang memilih sistem undang-undang Islam dan menghendaki undang-undang Ilahi diterapkan. Pada dasarnya, tanpa adanya pilihan dan dukungan rakyat, pemerintahan Islam tidak mungkin dapat diterapkan. Atas dasar inilah, Imam Ali As walaupun beliau telah diangkat dari sisi Allah Swt sebagai pemimpin (imam) yang memiliki wewenang untuk mengatur rakyat, namun sebelum rakyat membaiat beliau, secara praktis beliau tidak melakukan tugas kewajiban tersebut. Hal itu dikarenakan lahan penerapan wilâyah dan kepemimpinan beliau ketika itu belumlah siap.
Namun ketika lahan telah siap, beliau tidak tanggung-tanggung dalam menjalankan tugas kewajibannya. Dalam hal ini beliau bersabda: “Jika seandainya bukan dikarenakan banyaknya orang yang hadir untuk berbaiat dan menegakkan bukti akan adanya penolong atas diriku, dan jika saja Tuhan tidak mengambil sumpah janji dari para ulama untuk tidak diam dalam menghadapi keserakahan dan perut lapar para penguasa, kekangan unta kekhalifahan ini akan aku jatuhkan dan aku lepaskan di atas gunung-gunung dan akhir kekhalifahan ini akan aku puaskan dengan mangkok pertamanya, ketika itu akan kalian saksikan bahwa dunia kalian di sisiku lebih tidak bernilai dari air ingus seekor anak kambing.”[1]
Kalimat-kalimat yang disampaikan oleh Imam Ali As ini menjelaskan bahwa walaupun membentuk sebuah pemerintahan bertujuan untuk menerapkan keadilan dan mengambil hak orang-orang mustad'afin dari para penguasa zalim adalah sebagai sebuah tugas kewajiban yang telah diletakkan Allah Swt di atas pundak seorang imam, namun pelaksanaan tugas semacam ini tidak mungkin dapat dilakukan tanpa kehadiran, baiat dan dukungan rakyat. Selama rakyat tidak hadir di medan untuk membentuk sebuah pemerintahan Islam, seorang Imam Maksum dalam hal ini tidak memiliki tugas untuk menuntut dan memaksa rakyat agar taat dan mengikuti kehendaknya. Bahkan seorang imam hendaknya menyiapkan lahan supaya masyarakat siap dengan memberikan kesadaran kepada mereka.
Imam Khomeini Ra, mengenai peranan baiat rakyat, berkata: “Pengaturan urusan-urusan kaum muslimin dan pembentukan pemerintahan bergantung kepada pandangan-pandangan kaum muslimin yang mana hal tersebut juga tercantum dalam undang-undang dasar dan pada masa permulaan Islam diibaratkan sebagai baiat dengan “wali kaum muslimin” (pemimpin kaum muslimin).[2]
Seorang hakim dalam sistem pemerintahan Islam, adalah sebagai pelaksana hukum-hukum dan perintah-perintah Tuhan. Penerimaan baiat untuk tujuan semacam inilah yang memiliki arti.
2. Pemilihan aparatur negara oleh rakyat
Dalam pemerintahan Islam, penentuan badan pelaksana sistem (pemimpin tertinggi, presiden, para wakil rakyat dan lain-lain) dilakukan oleh rakyat, yang mana sebagian dari pemilihan-pemilihan ini secara langsung dan sebagian tidak secara langsung.
Rakyat secara langsung memilih presiden, para wakil dewan garda konstitusi (Syurâ-e Negahbân), para wakil dewan syura dan para wakil daerah. Dan mereka memiliki peran secara tidak langsung (dengan satu perantara) dalam memilih pemimpin tertinggi revolusi (Rahbar-e Inqilab) melalui perantara dewan pakar (Majlis-e Khubregan) yang terpilih.
Begitu pula, mereka memiliki peran secara tidak langsung (dengan satu perantara) dalam memilih para menteri dan badan pelaksana jajaran tinggi lainnya yang mana mereka dipilih melalui presiden dan disahkan oleh dewan majelis syura.
Pemilihan aparatur negara yang dipilih langsung oleh rakyat, merupakan salah satu dari keharusan-keharusan pemerintahan Islam. Tokoh besar revolusi Islam Imam Khomeini Ra dalam hal ini berkata: “Rakyatlah yang harus memilih orang-orang yang mahir dan dapat dipercaya. Dan pertanggung-jawaban segala urusan diserahkan kepada mereka.”[3] Di tempat lainnya, beliau juga berkata: “Seseorang yang hendak mengatur sebuah pemerintahan dan yang kita inginkan, dimana segala ketentuan kita serahkan kepadanya, adalah seseorang yang dipilih oleh rakyat dan melangkah dengan pilihan rakyat.”[4]
3. Musyawarah seorang hakim Islam dengan rakyat
Hal yang mesti dilakukan oleh seorang hakim (penguasa), adalah mengetahui pandangan-pandangan rakyat dengan bermusyawarah. Mengatur urusan masyarakat dengan bermusyarawah dengan mereka. Namun pada akhirnya, keputusan terakhir tetap dipegang oleh hakim; apakah ia akan menerapkan pandangannya sendiri, ataukah akan mengambil pandangan orang lain. Tentunya pada tempat dimana seorang hakim menangani masalah yang telah dijelaskan oleh Allah Swt dan para Imam Maksum As, seorang hakim harus menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang telah dijelaskan, walaupun hal tersebut bertentangan dengan pandangan rakyat. Dalam hal ini, rakyat tidak memiliki hak protes.
Imam Ali As berkaitan dengan hal ini bersabda: “Ketika kalian berkata dengan kalian aku bermusyawarah, aku bersumpah demi Allah aku tidak memiliki keinginan pada kekuasaan wilayah dan pemerintahan. Akan tetapi dengan tujuan itu kalian telah memanggilku dan kalian meletakkan tanggungjawab itu di atas pundakku. Dan aku khawatir jika menolak permohonan kalian, umat akan jatuh pada jurang perpecahan. Dengan demikian, ketika permasalahan ini telah diletakkan di pundakku, aku memandang kepada kitab Allah, perjalanan dan sunnah Rasulullah dan mengamalkan atas dasar petunjuk Al-Qur'an dan sunnah. Aku akan mengikuti keseluruhannya dan aku tidak membutuhkan pandangan kalian dan orang lain. Namun jika dalam kitab Allah dan sunnah Nabi suatu hukum tidak kutemukan dan dibutuhkan musyawarah, maka aku akan bermusyawarah dengan kalian.”[5]
Ketika Imam Ali As dengan kedudukan ilmunya yang tinggi berkali-kali bersabda: "Bertanyalah padaku tentang persoalan dan permasalahan kalian sebelum kalian kehilanganku (sebelum aku berpisah dari kalian untuk selamanya)", [6] Baginda Ali As meyakini bahwa dalam permasalahan-permasalahan tertentu harus bermusyawarah dengan rakyat. Tentunya para pemimpin selain maksum pun, dalam permasalahan-permasalahan yang aktual dan baru, membutuhkan dan berkewajiban untuk bermusyawarah dengan para pakar dan para ahli.
Keharusan bermusyawarah dengan para ahli dan mengikuti pandangan kebanyakan para penasihat, dijelaskan berdasarkan undang-undang dan ketentuan yang telah dibuat. Dan pelbagai keputusan makro dan fundamental yang dilakukan oleh lembaga eksekutif, yudikatif, bersandarkan pada pandangan Dewan Majlis Syura Islam (legislatif). Dan pada tataran praktis, pengambilan keputusan oleh Dewan Majlis Syura Islami berdasarkan suara terbanyak. Pada tataran Pemimpin (Supreme Leader), terdapat Dewan Penentu Kebijakan Negara (Majma' Taskhish wa Maslahat-e Nizhâm) dan tim penasihat handal dan ahli yang memberikan masukan kepada Pemimpin dalam mengambil keputusan-keputusan strategis dan makro.
Oleh karena itu, dalam pemerintahan Islam, rakyat -melalui perantara para wakil rakyat-mempunyai kemungkinan untuk ikut andil dan berpartisipasi dalam menetapkan undang-undang (dalam persoalan-persoalan yang berkaitan dengan undang-undang negara).
4. Ikut Andil dalam Menetapkan Undang-undang
Rakyat, dalam pemerintahan Islam -melalui pemilihan para wakil Dewan Perwakilan Syura Islam sebagai staf perundang-undangan negara- memiliki saham dalam meratifikasi aturan-aturan operasional dan undang-undang negara. Sebagaimana asas penentuan undang-undang dasar adalah fondasi utama pengaturan negara yang dengan cara pemungutan suara (referendum) dan pandangan rakyat, sampai pada tingkatan amal praktis.
5. Pengawasan Rakyat atas Penguasa
Rakyat secara langsung, mengawasi seluruh perbuatan, percakapan dan tingkah laku para penguasa. Sejak dahulu rakyat menggunakan media kontrol terhadap para penguasa dalam menjalankan peranannya dalam pemerintahan dan mencegah terjadinya penyelewengan-penyelewengan dengan mengkritik perbuatan dan agenda-agenda negara.
Dalam pemerintahan Islam, rakyat juga memiliki pengawasan terhadap baiknya penerapan hukum-hukum Ilahi dan menjaga adab-adab Islam seperti memelihara keadilan, menghilangkan kesenjangan dan diskriminasi, menjaga perasaan orang lain, berhubungan yang sistematis dan kekuatan yang layak untuk memimpin, menjaga diri dari perbuatan congkak dan bangga pada diri sendiri dengan berbesar diri, bertanggung jawab terhadap Tuhan dan masyarakat, melatih diri sebelum melatih orang lain, jujur, dan berperangai baik. Dalam satu redaksi "beramal atas perintah Al-Qur'an dan Sunnah." Pengawasan ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yang berbeda, di antara cara-cara tersebut adalah sebagai berikut:
a). Amar Makruf dan Nahi Mungkar
Ajaran-ajaran agama mendorong rakyat untuk menjalankan kewajiban yang besar ini terlebih lagi pada hal-hal yang berkaitan dengan para penguasa.
Imam Ali As bersabda: “Seluruh perbuatan baik dan jihad di jalan Allah dibandingkan dengan perbuatan memerintah pada sesuatu yang makruf dan melarang pada sesuatu yang mungkar, laksana setetes air di hadapan laut yang luas membentang dengan ombaknya. Dan sesungguhnya memerintah pada sesuatu yang makruf (amar makruf) dan melarang pada sesuatu yang mungkar (nahi mungkar) itu tidak mendekatkan pada ajal dan tidak mengurangi kadar rezkinya. Bahkan perbuatan yang lebih baik dari itu semua adalah, menyampaikan perkataan yang benar di hadapan seorang penguasa yang lalim.”[7]
Sebab keutamaan mengucapkan perkatan adil di hadapan para penguasa yang zalim adalah karena rakyat biasanya tunduk dan taat kepada para pemimpinnya dan perbuatan mereka itu memiliki keluasan yang dapat menyesatkan masyarakat. Oleh karena itu, memberikan peringatan dan petunjuk kepada mereka memiliki nilai yang sangat tinggi.
Imam Baqir As bersabda: “Seorang yang pergi menuju penguasa yang zalim dan ia memerintahkannya untuk bertakwa kepada Allah Swt, menasihatinya dan memberi peringatan agar takut akibat dari ketidak takwaannya, maka ia akan mendapatkan balasan pahala sebanyak jin dan manusia dan amalan-amalan mereka.”[8]
Dalam pandangan Islam, kewajiban amar makruf dan nahi mungkar memainkan peran sangat penting. Termasuk kepada para penguasa. Karena meninggalkan hal tersebut dapat menyebabkan siksaan Allah Swt. Imam Ali As besabda: “Allah Swt tidak akan menyiksa seluruh rakyat dikarenakan dosa-dosa yang terselubung pada orang-orang tertentu, namun jika orang-orang tertentu tadi secara terang-terangan melakukan dosa dan rakyat secara umum tidak memperotes mereka, kedua golongan (orang-orang tertentu dan masyarakat umum) tadi akan menerima siksa Allah Swt.”[9]
b). Nasihat para pemimpin
Imam Ali As dalam menjelaskan hak-hak timbal balik antara imamdan rakyat (umat), bersabda: “Ayyuhannas! Sebagaimana kalian memiliki hak atas saya, maka sayapun demikian pula, satu sama lainnya saling memiliki hak dan kewajiban... Adapun hak saya terhadap kalian adalah kalian senantiasa setia dengan baiat kalian kepadaku dan nasihatilah aku (demi kebaikan) secara terang-terangan atau secara tersembunyi...”.[10]
Yang dimaksud dengan nasihat di sini adalah demi kebaikan dalam hak kewajiban para Imam dan para pemimpin; yaitu rakyat harus mengawasi rahasia kebaikan terhadap urusan-urusan masyarakatnya dan metode yang digunakan para penguasa. Dan pada kedudukan ini rakyat sama sekali tidak merasa terdesak dan tidak mengabaikan bantuan, pertolongan dan kerjasama, patuh dan taat kepada mereka pada jalan yang benar.
Pengawasan rakyat terhadap para pengurus dalam undang-undang dasar negara Republik Islam Iran
A).Pengawasan Langsung
Pada undang-undang no 8, pasal pertama tercantum: “Dalam negara Republik Isalam Iran, mengajak kepada kebaikan, menjalankan perintah pada sesuatu yang ma’ruf dan melarang pada sesuatu yang mungkar adalah tugas seluruh masyarakat. Dan tugas tersebut sifatnya timbal-balik atas kewajiban rakyat kepada sesama rakyat, negara terhadap rakyatnya dan rakyat terhadap negaranya...”.[11]
B). Pengawasan tidak langsung
Seiring dengan berkembangnya masyarakat, beragamnya aktifitas dan tugas-tugas para aparatur negara, kemungkinan dan kemudahan pengawasan seluruh rakyat secara langsung kepada para pengurus negara dan para wakil, menjadi berkurang. Dan hal ini akan menyiapkan lahan kerja kepada rakyat dalam pengawasan mereka secara tidak langsung.
Rakyat memilih orang-orang sebagai wakil mereka untuk memegang jabatan pemerintah. Selain mengalihkan tanggung jawab kepada para wakil, mereka juga meletakkan pengawasan mereka di atas pundak para wakil. Dalam pada itu wewenang (pengawasan) ini tidak dicabut dari mereka.
Di dalam undang-undang dasar Republik Islam Iran telah dijelaskan bahwa dalam pokok-pokok memegang urusan-urusan negara yang beragam, dilakukan dengan pilihan para wakil rakyat. Di antaranya adalah:
1. Memilih para wakil Dewan Syura Islam (anggota legislatif), yang mana selain memikul tugas-tugas penting, asas penerapan undang-undang dan menginterpretasikan undang-undang, mereka juga melaksanakan peran pengawasan dengan cara-cara yang berbeda. Di antara cara-cara penting yang mereka lakukan adalah: meneliti dan memeriksa segala urusan negara, memperingati, menginterplasi, meminta keteraingan dari setiap menteri, presiden, tim kementerian dan mengelola keluhan-keluhan rakyat pada tingkatan kerja mesin-mesin yang beragam milik negara.[12]
2. Memilih presiden untuk menjadi ketua lembaga eksekutif dan menerapkan pelaksanaan undang-undang dasar dan mengawasi pada urusan-urusan pelaksanaan negara dan pekerjaan setiap salah satu dari para menteri.[13]
3. Memilih para wakil untuk duduk di Dewan Pakar Pemimpin (Khubregân-e Rahbari) dengan maksud menentukan pemimpin tertinggi yang memiliki keseluruhan syarat dan mengawasi pada aktifitas beliau dan meneliti ketetapan seluruh syarat istimewa pemimpin tertinggi masyarakat Islam.[14]
4. Memilih dewan-dewan Islam dalam tingkatan pedesaan, kecamatan, kabupaten dan propinsi dengan maksud melaksanakan tugas-tugas khusus mereka yang mana hal itu telah diperdiksikan dalam undang-undang. Dan juga pengawasan terhadap baiknya pelaksaaan undang-undang dan agenda-agenda yang berbeda-beda dalam batasan lembaga pemilihan-pemilihan mereka pada perkara-perkara yang mana aturan telah menyerahkan kepada mereka.[15]
C). Sarana-sarana lain pengawasan rakyat terhadap para pemimpin dan pengurus negara:
1- Partai-partai dan golongan-golongan politik dan budaya.[16]
2- Media-media cetak dan media-media visual seluruh masyarakat.[17]
3- Perkumpulan-perkumpulan dan demonstrasi-demonstrasi.[18]
6. Peran Masyarakat dalam Mendukung dan Bekerjasama dengan Negara
Pemerintah Islam sebagaimana dalam pembentukannya membutuhkan baiat setiap rakyat, dalam kesinambungan dan kelanjutannya pun butuh kepada dukungan dan kerjasama masyarakat. Dan kerjasama masyarakat dapat menjaga pemerintahan ini dari serangan para musuh baik yang datang dari dalam atupun dari luar. Imam Ali As dalam ucapan-ucapan beliau mengisyaratkan peran ini. Dalam sebuah surat beliau memerintahkan Malik Asytar agar dalam segala suasana dan dalam segala sesuatu menyandarkan pada kelompok dan golongan yang mau bersusah payah. Dan jangan menjadikan orang-orang kaya yang congkak sebagai sandarannya. Hendaknya selalu dalam berpikir senang dan rela dengan kelompok pertama dan tidak pada kelompok kedua.[19]
Imam Khomeini Ra juga berkaitan dengan hal ini berkata: “Rakyat harus mendukung dan berada di belakang negara. Sebuah negara yang tidak memiliki dukungan rakyat akan hancur”.[20] Pada tempat yang berbeda beliau berkata: “Akhirnya kita membutuhkan rakyat; yaitu Negara Republik Islam hingga akhirnya menginginkan rakyat. Sebenarnya rakyatlah yang menghantarkan negara republik ini pada kedudukan seperti ini. Dan rakyat pulalah yang harus menjalankan dan mengelola negara republik ini hingga akhirnya”.[21]
7. Negara Islam adalah abdi rakyat
Dalam pandangan Islam pemerintah dan negara Islam adalah sebagai sebuah sarana untuk menerapkan perintah-perintah Tuhan. Di antaranya adalah meletakkan aturan dan menciptakan keamanan di dalam dan di luar negara, menjamin kesejahteraan dan kebaikan umum, memberantas kezaliman dan ketidak adilan dan lain-lain.
Dalam pandangan Islam dan para Imam Maksum As, pemerintah Islam untuk seorang pemimpin Islam hanya akan memiliki nilai sebagai sarana untuk mendapatkan kembali hak-hak para mustadafin yang telah hilang dan mengabdi kepada kaum fakir dan orang-orang yang membutuhkan. Dengan satu kalimat "menyalurkan bantuan yang bertujuan guna mengembangkan dan mengangkat martabat hamba-hamba Allah yang lemah dari sisi materi dan non materi."
Imam Ali As dalam surat beliau kepada Malik Asytar bersabda: “Jadikanlah rasa kasih sayang kepada rakyat sebagai penutup hatimu dan cintai dan sayangilah semuanya. Janganlah sekali-kali, kamu menjadi seekor hewan pemburu yang merasa beruntung dengan memakan hewan buruhannya; karena rakyat terbagi menjadi dua golongan: satu golongan adalah saudara seagamamu dan golongan lainnya sama sepertimu dalam penciptaan.[22]
Imam Khomeini Ra juga dengan mengikuti pemimpin beliau mendeskripsikan Negara Islam sebagai berikut: “Negara dalam pemerintahan Islam harus menjadi abdi bagi rakyat, dan rakyat ketika melihat seorang pejabat perdana menteri melakukan kejahatan, hendaknya melaporkan hal tersebut pada pengadilan, dan dewan pengadilan membawanya pada sidang pengadilan. Dan jika kejahatannya terbukti dia akan mendapatkan balasan atas perbuatannya”.[23]
Ini semua adalah sebagian dari hak-hak dimana Islam telah menetapkannya untuk rakyat di hadapan negara dan negara di hadapan rakyat.[]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat:
1. Huqûqe Asâsi va Nahâdhaye Siyâsi, Abul Fadzl, Qadzi Syariat Panahi.
2. Huqûqe Insâni, Ali Khani.
3. Nezârat va Nahâdhaye Nizârati, Muhsin, Malik Afdzal Ardakani.
4. Huqûqe Asâsi Jumhurie Islâmi Irân, Sayyid Muhammad, Hasyimi.
5. Qânun Asâsi Jumhurie Islâmi Irân.
6. Jâigâhe Mardum dar Nizâme Islâmi az Didgâhe Imâm Khomein, Muassasah-ye Tanzime Atsar Imam Qs.
7. Majalah Hukumat-e Islâmi, Dabir khaneye majlise khubregan (Sekretariat Dewan Garda Konstitusi), tahun ke 2, no 4, hal 134 dan seterusnya.
[1]. Nahj al-Balâgah, Khutbah 3
[2]. Jâigâhe Mardum dar Nizâme Islâmi az Didgâhe Imâm Khomeini, hal 9, Muassasah-ye Tanzime Atsar Imam Qs.
[3]. Ibid, hal. 10.
[4]. Ibid, hal. 11.
[5]. Syekh Thusi, Amali, hal. 731, (CD Nur 2).
[6]. Nahjul Balagah, Khutbah 189-5.
[7]. Nahjul Balagah, Hikmah 374.
[8]. Wasailu Syiah, juz 12, bab 3, bab Amr bil ma’ruf wa nahyi anil mungkar, hadis 11.
9]. Ibid, hadis 1.
[10]. Nahj al-Balâgah, Khutbah 34.
[11]. Pasal Pertama, UU No. 8.
[12]. UU, No 62-76-88-79-90, Undang-undang Dasar Republik Islam Iran dan klausul 193 aturan dalam Dewan Syura Islam.
[13]. UU., No. 134.
[14]. UU., No. 107.
[15]. UU., 100.
[16]. UU., 126
[17]. UU., 124
[18]. UU., 127
[19]. Nahj al-Balâgah, surat ke 53
[20]. Jâigâhe Mardum dar Nizâme Islâmi az Didgâhe Imâm Khomeini, hal. 162.
[21]. Ibid, hal. 166.
[22]. Nahj al-Balâgah, surat ke 2-52.
[23]. Jâigâhe Mardum dar Nizâme Islâmi az Didgâhe Imâm Khomeini, hal. 50.