Kode Site
fa1315
Kode Pernyataan Privasi
72115
Tags
doa|salat|pahala|kesesuaian|tafadhal
Ringkasan Pertanyaan
Apakah kesesuaian antara amal perbuatan dan pahala yang dijanjikan Tuhan sudah tepat?
Pertanyaan
Dikatakan bahwa salat tertentu atau doa mustahab tertentu mempunyai pahala syahid, haji, membebaskan budak dan lain sebagainya. Apakah hal ini sesuai dengan keadilan Tuhan? Apakah kesesuaian antara amal perbuatan dan pahala yang dijanjikan Tuhan sudah tepat?
Jawaban Global
Janji akan pemberian pahala ini tidak akan merusak keadilan Ilahi dan tidak pula bertentangan antara amal perbuatan dengan ganjaran karena apabila keadilan diartikan sebagai meletakkan sesuatu pada tempatnya, yaitu amal dan ganjaran harus sesuai dan sebanding, maka pada hal-hal yang telah Anda sebutkan itu, adanya kesesuaian antara amal dan pahala sudah tepat karena:
Pertama, yang dimaksud dengan riwayat ini adalah perhatian terhadap nilai-nilai dan pentingnya ibadah, bukan mengurangi nilai-nilai dan pentingnya berperang dan ibadah haji, namun bisa dikatakan bahwa dalam riwayat ini dijelaskan tentang pentingnya jihad dan haji secara tidak langsung yang merupakan kriteria untuk menilai ibadah-ibadah yang lain sebagaimana ketika kita berkata tentang hal-hal yang berhubungan dengan dunia, dengan mengatakan benda tertentu mempunyai nilai seperti emas.
Kedua, maksud dari riwayat ini adalah ketika tidak ada taklif syar’i terhadap ibadah-ibadah seperti haji, jihad dan lain sebagainya.
Ketiga, dalam menentukan kesesuaian itu, tidak boleh hanya mengandalkan jumlah dan kesulitan materi sebagai ukuran dan takarannya, namun pengaruh niat, rendah hati, keyakinan, dan makrifat pelaku amal dalam timbangan pahala amal sangat sukar dari pada kesulitan materi amal itu sendiri. Oleh itu, apabila sebuah amal, memenuhi syarat-syarat ini, maka bisa sebanding dengan amalan-amalan seperti haji dan jihad.
Di samping itu, sebagian dari doa-doa dan ziarah-ziarah karena penuh dengan makrifat-makrifat tentang ajaran agama, akan mempunyai pengaruh khusus pada akidah seseorang sementara amalan ibadah lain tidak mempunyai pengaruh seperti itu, bahkan pengaruh sebagian doa-doa dan ziarah-ziarah itu boleh jadi lebih besar.
Harus pula diperhatikan bahwa pada masa ketika tidak ada perang dan jihad, demikian pula bukan waktu untuk pergi haji, biasanya akan terbuka bagi setan dan kekuatan batil untuk menggoda dan menggiring manusia ke arah syahwat. Dalam keadaan seperti ini, apabila seseorang tidak memenuhi keinginan syahwatnya, kemudian ia berdoa, salat, melembutkan hati dan jiwanya dengan makrifat dan keikhlasan yang tinggi, maka boleh jadi lebih tinggi keikhlasan dan tingkat kemakrifatannya dari pada orang yang menunaikan ibadah haji dan pergi ke medan peperangan.
Tapi apabila keadilan berarti zalim, penindasan dan tidak menginjak hak-hak orang lain, disini kebenaran berasal dari orang yang tidak menginjak hak-hak orang lain, karena Allah jika diumpamakan memberi pahala terhadap amalan lebih dari kesesuain antara pahala dan amal itu, maka tidak akan menyebabkan hilangnya hak seorang hamba karena pahala dan ganjaran itu adalah pemberiaan kemuliaan dari sisi Allah bukan kelayakan dari sisi hamba.
Pertama, yang dimaksud dengan riwayat ini adalah perhatian terhadap nilai-nilai dan pentingnya ibadah, bukan mengurangi nilai-nilai dan pentingnya berperang dan ibadah haji, namun bisa dikatakan bahwa dalam riwayat ini dijelaskan tentang pentingnya jihad dan haji secara tidak langsung yang merupakan kriteria untuk menilai ibadah-ibadah yang lain sebagaimana ketika kita berkata tentang hal-hal yang berhubungan dengan dunia, dengan mengatakan benda tertentu mempunyai nilai seperti emas.
Kedua, maksud dari riwayat ini adalah ketika tidak ada taklif syar’i terhadap ibadah-ibadah seperti haji, jihad dan lain sebagainya.
Ketiga, dalam menentukan kesesuaian itu, tidak boleh hanya mengandalkan jumlah dan kesulitan materi sebagai ukuran dan takarannya, namun pengaruh niat, rendah hati, keyakinan, dan makrifat pelaku amal dalam timbangan pahala amal sangat sukar dari pada kesulitan materi amal itu sendiri. Oleh itu, apabila sebuah amal, memenuhi syarat-syarat ini, maka bisa sebanding dengan amalan-amalan seperti haji dan jihad.
Di samping itu, sebagian dari doa-doa dan ziarah-ziarah karena penuh dengan makrifat-makrifat tentang ajaran agama, akan mempunyai pengaruh khusus pada akidah seseorang sementara amalan ibadah lain tidak mempunyai pengaruh seperti itu, bahkan pengaruh sebagian doa-doa dan ziarah-ziarah itu boleh jadi lebih besar.
Harus pula diperhatikan bahwa pada masa ketika tidak ada perang dan jihad, demikian pula bukan waktu untuk pergi haji, biasanya akan terbuka bagi setan dan kekuatan batil untuk menggoda dan menggiring manusia ke arah syahwat. Dalam keadaan seperti ini, apabila seseorang tidak memenuhi keinginan syahwatnya, kemudian ia berdoa, salat, melembutkan hati dan jiwanya dengan makrifat dan keikhlasan yang tinggi, maka boleh jadi lebih tinggi keikhlasan dan tingkat kemakrifatannya dari pada orang yang menunaikan ibadah haji dan pergi ke medan peperangan.
Tapi apabila keadilan berarti zalim, penindasan dan tidak menginjak hak-hak orang lain, disini kebenaran berasal dari orang yang tidak menginjak hak-hak orang lain, karena Allah jika diumpamakan memberi pahala terhadap amalan lebih dari kesesuain antara pahala dan amal itu, maka tidak akan menyebabkan hilangnya hak seorang hamba karena pahala dan ganjaran itu adalah pemberiaan kemuliaan dari sisi Allah bukan kelayakan dari sisi hamba.
Jawaban Detil
Dengan penjelasan beberapa poin kesesuaian antara pahala-pahala yang telah diisyaratkan di atas, maka akan jelaslah pahala yang terkait dengan amalan tersebut:
- Pahala-pahala Tuhan bagi manusia bukan merupakan istihqāq hamba-hamba-Nya (berhak untuk mendapatkannya) namun merupakan pemberian kemuliaan oleh Tuhan sesuai dengan perilaku hamba hamba-Nya selama di dunia dan kelayakan-kelayakan yang dicapainya.[1] Para hamba-Nya (apabila Tuhan tidak menjanjikan pahala kepada mereka) maka tidak berhak untuk menerima pahala dan ganjaran karena semua amal perbuatan yang dikerjakan di dunia dikarenakan semua kenikmatan yang berasal dari Tuhan. Tuhan berdasarkan rahmat dan hikmah Ilahi yang sempurna berjanji untuk memberika ganjaran kepada hambanya dan mengharuskan Ia sendiri untuk memberikan pahala itu. Timbangan pahala dari sebuah amal perbuatan didasarkan karena rahmat-Nya yang tidak bertepi dan hikmah kesempurnaan Ilahi bukan karena kesusahan atau kemudahan atau singkatnya atau lamanya sebuah perbuatan. Oleh itu, banyaknya atau kurangnya nikmat atau ganjaran yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya tidak akan menciderai hak-hak orang lain, bahkan akan memberikan pahala yang lebih kepada mereka.
- Membaca doa-doa, ziarah-ziarah dan salat-salat mustahab akan memiliki pahala banyak jika mengamalkan semua syarat-syarat yang ada dalam doa-doa, ziarah-ziarah dan salat-salat mustahab itu. Sebagian syarat-syarat itu adalah:
- Menjalankan semua kewajiban-kewajiban syar’i
Oleh itu apabila seseorang yang seharusnya menjalankan kewajiban dimana kewajibannya berjihad atau berhaji tapi ia tidak pergi berjihad atau tidak pergi haji, selain tidak mendapat pahala, boleh jadi akan diazab kelak.
- Memiliki makrifat, khusyu dan ikhlas
Sebagaimana yang telah diriwayatkan dalam hadis bahwa syarat diberikan pahala banyak ketika berziarah adalah harus mempunyai makrifat.[2]
Pada riwayat yang berasal dari Imam Shadiq As, “Masyarakat akan dikumpulkan kelak pada hari kiamat berdasarkan niat mereka.”[3] Dari sini, kita memahami bahwa syarat untuk mendapatkan pahala Tuhan bukan kesusahan amal perbuatan, tapi niat dan keyakinan hamba yang jauh lebih susah dari pada perbuatan fisik berat yang akan berpengaruh pada pahala dan ganjaran itu.
Jelaslah bahwa mencari dan menggapai makrifat, ikhlas, khusyu secara sempurna jika tidak lebih sulit dari pada jihad dan haji, maka hal itu tidak lebih mudah dari pada jihad dan haji. Oleh itu, banyak orang secara lahir bergabung dalam jihad dan haji, namun hanya sedikit orang-orang yang bisa mencapai puncak kemakrifatan dan keikhlasan. Dalam riwayat yang banyak dari para Imam Syiah telah dimotivasi untuk membaca ziarah para Imam, khususnya Imam Ridha As[4]. Dari riwayat ini kita bisa memahami bahwa para Imam meyakini adanya dua macam pahala, di mana pahalanya tergantung kepada bagaimana mengamalkan ziarah itu. Oleh itu, tidak ada pahala tetap bagi seseorang dan penjelasan pahala-pahala seperti ini menjelaskan tentang kapasitas mereka bukan menjelaskan pahala yang mempunyai syarat tertentu termasuk keadaan orang yang mengamalkan ibadah itu.
Pada riwayat yang berasal dari Imam Shadiq As, “Masyarakat akan dikumpulkan kelak pada hari kiamat berdasarkan niat mereka.”[3] Dari sini, kita memahami bahwa syarat untuk mendapatkan pahala Tuhan bukan kesusahan amal perbuatan, tapi niat dan keyakinan hamba yang jauh lebih susah dari pada perbuatan fisik berat yang akan berpengaruh pada pahala dan ganjaran itu.
Jelaslah bahwa mencari dan menggapai makrifat, ikhlas, khusyu secara sempurna jika tidak lebih sulit dari pada jihad dan haji, maka hal itu tidak lebih mudah dari pada jihad dan haji. Oleh itu, banyak orang secara lahir bergabung dalam jihad dan haji, namun hanya sedikit orang-orang yang bisa mencapai puncak kemakrifatan dan keikhlasan. Dalam riwayat yang banyak dari para Imam Syiah telah dimotivasi untuk membaca ziarah para Imam, khususnya Imam Ridha As[4]. Dari riwayat ini kita bisa memahami bahwa para Imam meyakini adanya dua macam pahala, di mana pahalanya tergantung kepada bagaimana mengamalkan ziarah itu. Oleh itu, tidak ada pahala tetap bagi seseorang dan penjelasan pahala-pahala seperti ini menjelaskan tentang kapasitas mereka bukan menjelaskan pahala yang mempunyai syarat tertentu termasuk keadaan orang yang mengamalkan ibadah itu.
- Sangat banyak dari doa-doa dan ziarah-ziarah yang mempunyai peranan penting dalam menjelaskan ushuludin dan luasnya makrifat agama. Para Imam menjelaskan makrifat-makrifat itu kepada masyarakat dalam bentuk doa, karena tidak mungkin mengajarkan makrifat-makrifat yang sangat mendalam dengan selain doa. Oleh itu, pentingnya menaruh perhatian terhadap doa-doa dan ziarah-ziarah sejatinya akan menghidupkan ruh dan kebiasaan berjihad, haji, beragama dan syariat, dan pada hakekatnya ajaran-ajaran inilah yang akan mendidik para haji dan mujahid itu.
- Harus diperhatikan bahwa pada masa ketika tidak ada perang dan jihad, demikian pula bukan waktu untuk pergi haji, biasanya akan terbuka bagi setan untuk menggoda manusia dan kekuatan batin lebih terbuka sehingga manusia akan tergiring ke arah syahwat, dalam keadaan seperti ini, apabila seseorang tidak memenuhi keinginan syahwatnya dan ia berdoa, salat, melembutkan hati dan jiwanya dengan mempunyai makrifat dan keikhlasan yang tinggi, maka boleh jadi ia memiliki tingkatan keikhlasan dan kemakrifatan lebih tinggi dari pada orang-orang yang menunaikan ibadah haji dan pergi ke medan peperangan. Oleh itu, Nabi Muhammad Saw kepada sekelompok dari penolongnya yang baru tiba dari medan peperangan bersabda, “Selamat datang wahai yang baru saja pulang dari jihad asghar dan akan menghadapi jihad akbar. Mereka bertanya, Apakah maksud Anda dari jihad besar? Beliau bersabda, “Jihad melawan diri sendiri (jihad al-nafs).”[5]
Boleh jadi salah satu dalil bahwa para Imam menjelaskan semua ganjaran bagi yang membaca doa-doa dan salat-salat tertentu adalah bahwa para Imam ingin dengan jalan ini ruh masyarakat akan terselamatkan dari kubangan hawa nafsu yang merupakan sumber keburukan dan kerendahan dunia dan akhirat sehingga bisa melesak terbang menuju langit maknawiyah dan bergelimang cahaya.
Di atas segalanya, maksud dari riwayat itu adalah memberi perhatian kepada nilai-nilai dan pentingnya dalam beribadah, bukan mengurangi dan menurunkan nilai penting perang dan haji, tapi bisa dikatakan bahwa riwayat ini secara tidak langsung menjelaskan pentingnya haji dan jihad yang merupakan kriteria dan ukuran untuk menimbang amal perbuatan manusia sebagaimana ketika kita berkata tentang hal-hal yang berhubungan dengan dunia, kita menyebutnya seperti emas. [iQuest]
Di atas segalanya, maksud dari riwayat itu adalah memberi perhatian kepada nilai-nilai dan pentingnya dalam beribadah, bukan mengurangi dan menurunkan nilai penting perang dan haji, tapi bisa dikatakan bahwa riwayat ini secara tidak langsung menjelaskan pentingnya haji dan jihad yang merupakan kriteria dan ukuran untuk menimbang amal perbuatan manusia sebagaimana ketika kita berkata tentang hal-hal yang berhubungan dengan dunia, kita menyebutnya seperti emas. [iQuest]