Dalam pandangan Islam pernikahan dan membentuk ikatan rumah tangga memiliki signifikansi yang tinggi. Pernikahan merupakan sebuah perbuatan mulia dan dianjurkan bagi setiap orang untuk melangsungkannya. Namun apabila ia tahu bahwa sekiranya tidak menikah akan menjatuhkannya dalam kubangan doa maka dari itu menikah menjadi wajib baginya.
Sehubungan dengan pertanyaan yang Anda kemukakan kiranya ada baiknya Anda memperhatikan beberapa poin berikut ini:
- Menurut syariat suci pernikahan-pernikahan haram hanya dapat ditemukan pada obyek-obyek berikut ini:
Pertama: Menikah dengan mahram.
Kedua: Menikah dengan wanita yang memiliki suami.
Ketiga: Menikah dengan saudara istri (selama masih terikat pernikahan dengannya).
Keempat: Menikah dengan wanita yang masih dalam masa iddah.
Kelima: Menikah dengan wanita yang telah disodomi saudaranya.
Keenam: Menikah dengan orang kafir non-kitab (selain Ahlulkitab)
Ketujuh: Menikah dalam masa ihram.
Kedelapan: Menikah permanen dengan wanita kelima.
Dalam hal ini apabila tidak ada kekuatiran bakalan terlemahkan keyakinannya dan tidak akan tersesat maka tidak ada masalah seorang Syiah menikah dengan seorang Sunni, khususnya apabila terdapat kemungkinan baginya akan mendapatkan petunjuk menerima mazhab Ahlulbait (Syiah).
- Syiah meyakini bahwa untuk mengkaji kepribadian setiap orang maka seluruh perbuatannya harus dipelajari. Menyertai dan menemani Rasulullah Saw dan keluarganya meski merupakan sebuah kehormatan namun hal ini tidak berarti bahwa kita harus memandang orang-orang yang menyertai itu sebgai orang suci atau mengabaikan kesalahan mereka. Dalam sejarah disebutkan bahwa setelah wafat Rasulullah Saw tercipta pelbagai kondisi sehingga Ali yaitu orang yang diperkenalkan oleh Rasulullah Saw sebagai khalifah dan penggantinya disingkirkan dan beliau memilih tinggal di rumah semasa pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Usman. Namun Imam Ali, meski tidak ridha dengan apa yang dikerjakan oleh khilafah, demi kepentingan dan kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin, tidak pernah menolak ketika dimintai pendapat dan bimbingan oleh para khalifah.
- Mengingat bahwa setelah tauhid adalah berbuat baik kepada orang tua memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam karena itu apabila Anda ingin menarik perhatian ibu Anda untuk menikah dengan pilihan Anda maka hal itu lebih baik bagi Anda dan apabila beliau tidak ridha sementara Anda memiliki alasan syar’i dan Anda takut terjerembab dalam kubangan dosa, maka tidak ada masalah bagi Anda menikah dengan orang yang menjadi pilihan Anda tapi dengan syarat Anda tetap menjaga ketentuan-ketentuannya dan dilaksanakan dalam kerangka syariat suci Islam.
Menikah dan merajut ikatan rumah tangga memiliki signifikansi khusus dalam pandangan Islam. Karena dari satu sisi, menurut Islam, pernikahan merupakan perantara dan wasilah untuk kesucian dan menjinakkan pelbagai gejolak seksual, ketenangan dan gerakan menuju kesempurnaan agama.
Dari sisi lain, Islam mencela selibasi (meninggalkan dunia dan kelezatannya) dan memandangnya sebagai penghalang bagi manusia menuju kesempurnaan dan kebahagiaan. Dalam pandangan Islam pernikahan merupakan sebuah perbuatan mulia dan dianjurkan bagi setiap orang untuk melangsungkannya. Namun apabila ia tahu bahwa sekiranya tidak menikah akan menjatuhkannya dalam kubangan doa maka dari itu menikah menjadi wajib baginya.[1]
Sehubungan dengan pertanyaan yang Anda kemukakan kiranya ada baiknya Anda memperhatikan beberapa poin berikut ini:
- Menurut syariat suci pernikahan-pernikahan haram hanya dapat ditemukan pada obyek-obyek berikut ini:
Pertama: Menikah dengan mahram.
Kedua: Menikah dengan wanita yang memiliki suami.
Ketiga: Menikah dengan saudara istri (selama masih terikat pernikahan dengannya).
Keempat: Menikah dengan wanita yang masih dalam masa iddah.
Kelima: Menikah dengan wanita yang telah disodomi saudaranya.
Keenam: Menikah dengan orang kafir non-kitab (selain Ahlulkitab)
Ketujuh: Menikah dalam masa ihram.
Kedelapan: Menikah permanen dengan wanita kelima
Karena itu, dalam hal ini, apabila tidak ada kekuatiran bakalan terlemahkan keyakinannya dan tidak akan tersesat maka tidak ada masalah seorang Syiah menikah dengan seorang Sunni, khususnya apabila terdapat kemungkinan baginya akan mendapatkan petunjuk menerima mazhab Ahlulbait (Syiah).
Istiftâ’ât (pertanyaan meminta fatwa dari Marja Taklid) berikut ini boleh jadi dapat menjelaskan persoalan yang Anda hadapi:
Pertanyaan: Bagaimana hukumnya pernikahan antara Muslim dan non-Muslim? Demikian juga pernikahan antara Syiah dan Sunni?
Jawaban:
Ayatullah Agung Fadhil Langkarani Ra:
Tidak dibenarkan wanita Muslimah menikah dengan pria non-Muslim dan makruh hukumnya pernikahan wanita Syiah dengan pria Sunni. Namun tidak ada halangan seorang Muslim menikah dengan wanita non-Muslim apabila tersebut merupakan pernikahan temporal. Demikian juga pernikahan pria Syiah dan wanita Sunni.
Ayatullah Agung Bahjat Ra:
Tidak ada masalah pernikahan temporal apabila salah satunya adalah Ahlulkitab. Dan sesuai dengan asumsi kedua tidak boleh putri atau wanita Syiah dinikahkan dengan mereka (Sunni) mengikut prinsip ihtiyâth taklifi.
Ayatullah Agung Siistani (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Tidak dibenarkan menikah dengan Ahlulkitab mengikut prinsip ihtiyâth wâjib dan dibolehkan menikah dengan Ahlusunnah apabila tidak terdapat kerisauan akan menyimpang (dari mazhab yang benar).
Ayatullah Agung Makarim Syirazi (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):
Tidak dibenarkan seorang Muslim menikah dengan wanita non-Muslim. Sehubungan dengan pertanyaan kedua, tidak ada masalah pernikahan bagi pria Syiah dengan wanita Sunni. Namun bermasalah pernikahan wanita Syiah dan pria Sunni mengingat adanya kemungkinan penyimpangan mazhab.
Catatan:
Tidak dibenarkan melangsungkan pernikahan dengan sebagian sekte seperti Ghulat, Nashibi dan Khawarji yang memandang diri mereka sebagai Muslim, namun pada hakikatnya dihukumi kafir.[2]
- Adapun sehubungan dengan sebagian pertanyaan Anda seperti yang Anda kutip dari ucapan ibu Anda sekaitan dengan perilaku para khalifah dan Sunni kiranya perlu disebutkan bahwa Syiah meyakini bahwa untuk mengkaji kepribadian setiap orang maka seluruh perbuatannya harus dipelajari. Segala gelar dan apa pun kedudukannya tidak boleh menjadi penghalang dilakukannya penelitian tentangnya. Menyertai dan menemani Rasulullah Saw dan keluarganya meski merupakan sebuah kehormatan namun hal ini tidak berarti memandang mereka (sahabat) suci atau mengabaikan kesalahan mereka.[3] Sebagaimana al-Qur’an melontarkan kecaman terhadap kaum Muhajirin dan Anshar akibat kesalahan-kesalahan yang mencolok yang mereka lakukan.
Setelah wafat Rasulullah Saw tercipta pelbagai kondisi sehingga Ali yaitu orang yang diperkenalkan oleh Rasulullah Saw sebagai khalifah dan penggantinya disingkirkan dan beliau memilih tinggal di rumah semasa pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Usman. Imam Ali, meski tidak ridha dengan apa yang dikerjakan oleh khilafah, namun demi kepentingan dan kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin, tidak pernah menolak ketika dimintai pendapat dan bimbingan oleh para khalifah. Tentu saja hal ini tidak bermakna adanya keridhaan dari Imam Ali terhadap kinerja dan tindak-tanduk pemerintahan para khalifah. Misalnya, pada sebagian peperangan, sebagai contoh pada perang melawan Iran dan Roma, Amirul Mukminin Ali As dimintai musyawarah oleh khalifah dan beliau mengemukakan beberapa usulan supaya kaum Muslimin mencapai kemenangan meski beliau tidak turut serta dalam peperangan. Hanya saja sekiranya Nabi Saw masih hidup atau Imam Ali menduduki kursi khilafah pasca wafatnya Rasulullah Saw, tentu saja pelbagai penaklukan (futuhat) tidak akan berlaku seperti itu. Artinya pelbagai penaklukan yang dilakukan pada masa para khalifah sepenuhnya tidak mendapat dukungan dari Amirul Mukminin Ali As.[4]
- Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa setelah melarang manusia untuk berbuat syirik, Allah Swt memerintahkan manusia untuk berbuat baik (ihsan) kepada ayah dan ibunya. Mendiang Allamah Thabathabai Ra berkata, salah satu kewajiban terbesar manusia setelah tauhid adalah berbuat baik kepada orang tua.[5] Dalam masalah berbuat baik dan menghormati tidak terdapat perbedaan apakah orang tuanya kafir atau Mukmin; karena al-Qur’an menyatakan dengan mutlak (tanpa syarat), “wa bil wâlidaini ihsana.” (dan berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu, al-An’am [6]:151)[6]
Kesimpulannya sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa tidak ada masalah terkait dengan inti pernikahan dengan menjalankan ketentuan-ketentuannya. Dan menjadi prioritas pertama apabila mampu, dengan segala hormat, Anda harus mendapatkan keridhaan ibu Anda. Apabila ibu Anda tidak ridha dan Anda tidak masalah dengan itu, Anda dapat memilih pilihan yang cocok dengan pilihan ibu Anda dan hal ini lebih baik bagi Anda (tentu saja keridhaan dan doa ibu sangat berpengaruh dalam kesuksesan dan kemajuan bagi Anda).
Pada akhirnya, apabila gadis yang Anda telah pilih Anda pandang merupakan pilihan terbaik dan paling cocok untuk dinikahi dan Anda dalam berada dalam kondisi dilematis bahwa sekiranya Anda tidak menikah (dengannya) kuatir bakalan terjerumus dalam kubangan dosa maka Anda dapat menikah dengan gadis pilihan Anda dalam kerangka instruksi-instruksi syariat suci Islam. [iQuest]
[1]. Taudhih al-Masail (al-Muhassya lil Imam al-Khomeini), jil. 2, hal. 449, Ahkam Nikah ya Izdiwaj wa Zanasyui dan demikian juga Masalah 2443. Diadaptasi dari Pertanyaan 1123, Indeks: Pernikahan dan Pendidikan, (Site: 164)
[2]. Diadaptasi dari Risâlah Dânesyjui, hal-hal 212 dan 228.
[3]. Diadaptasi dari Pertanyaan 1289, Syiah dan Khilafah Pasca Rasulullah Saw.
[4] . Diadaptasi dari Pertanyaan 512 (Imam Ali As dan Pengerahan Pasukan Para Khalifah ke Beberapa Negara)
[5]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, terjemahan Persia al-Mizân, jil. 13, ayat 14 dan 23 surah al-Isra (17).
[6]. Demikian juga Imam Baqir As bersabda, “Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, (terlepas) apakah ia orang jahat atau baik.” Bihâr al-Anwâr, jil. 71, hal. 56, Muassasah al-Wafa, Beirut. Diadaptasi dari Pertanyaan 522 (Site: 584) Perintah-perintah Orang Tua dan Taklif Anak-anak)