Sebagian memandang pembahasan qath’a sebagai pembahasan Teologi dan sebagian lainnya menganggapnya sebagai pembahasan ilmu Ushul.
Berdasarkan pandangan pertama bahwa qath’a adalah pembahasan teologi—tidak terdapat perbedaan diantara kedua ‘yakin’ ini, namun sesuai dengan pandangan kedua, terdapat tiga perbedaan inti diantara qath’a dan yakin.
Dalam menjawab pertanyaan kedua harus dikatakan bahwa hujjiyah qath’a bersifat esensial dan terdapat perbedaan di antara Imam Khomeini Ra dan ulama lainnya terkait dengan masalah ini.
A. Perbedaan antara Yakin Teologis dan Yakin Ushuli
Jawaban atas pertanyaan ini bergantung apakah kita memandang masalah qath’a itu sebagai masalah-masalah ilmu Ushul atau tidak. Mayoritas ulama Ushul, di antaranya adalah Akhund Khurasani dalam Kifâyat al-Ushûl,[1] meyakini bahwa pembahasan qath’a pada dasarnya merupakan pembahasan Teologi dan telah keluar dari domain pembahasan ilmu Ushul.
Sebagai bandingannya, sebagian lainnya, semisal Imam Khomeini dalam Anwâr al-Hidâyah[2] berpandangan bahwa qath’a merupakan masalah disiplin ilmu Ushul.
Karena itu, pandangan pertama yang beranggapan bahwa qath’a merupakan masalah teologis, tidak melihat perbedaan antara qath’a dan yakin. Namun sesuai dengan pandangan kedua, terdapat perbedaan-perbedaan subtil diantara kedua yakin ini. Adapun perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Yakin adalah ilmu Teologi (Kalam), dalam makna esoteriknya semakna dengan iman dan irfan, sebagai lawan dari kata kufur dan nifak. Sementara yakin dalam ilmu Ushul yang berada di bawah pembahasan qath’a adalah digunakan sebagai lawan kata dari syak (sangsi)[3] dan zhan (asumsi)[4] yang bermakna umum. Karena itu, yakin teologis dalam artian filosofis dan logisnya adalah lebih khusus daripada yakin ushuli.
Namun perbedaan yakin teologis dalam artian iman dan yakin ushuli merupakan sebuah perkara yang jelas dan terang; karena yakin ushuli adalah kondisi kejiwaan, mental dan formal yang terjadi pada diri setiap ilmuan—terlepas dari segala keyakinan agama atau non agama—secara formal—sebagai sebuah aksioma dan secara langsung tidak ada kaitannya dengan agama dan keberagamaan. Adapun yakin teologis dalam artian keimanan merupakan sebuah kategori agama, kalbu dan spiritual dan bahkan dalam artian filosofisnya dan logisnya, meski dari sisi mental dan psikologikal laksana yakin ushuli, berbeda dengan yakin ushuli yang secara langsung berhubungan dengan agama dan keberagamaan seseorang. Yakin teologis ini sangat berpengaruh secara signifikan dalam keyakinan-keyakinan beragama seseorang.
2. Yakin atau qath’a dalam ilmu Ushul, adalah sebuah keyakinan kelas sekunder dan atas dasar itu termasuk dari bagian pembahasan ilmu Ushul yang menjadi dasar inferensi hukum syariat dan pada kenyataannya berkenaan dengan masalah cabang agama (furu’uddin). Karena furu’uddin merupakan perkara-perkara yang jelas dan bersifat tetap. Para juris hanya dalam masalah partikular yang sangat sublim dan spesialis, melakukan praktik ijithad, berbeda pendapat, namun dalam yakin teologis berkenaan dengan ushuluddin (dasar-dasar agama) dan termasuk sebagai yakin kelas pertama.
3. Ada atau tiadanya yakin dalam Teologi—baik dalam artian keimanan atau dalam artian filosofisnya—bertalian dengan kebahagiaan atau penderitaan seseorang. Yakin dalam artian ini merupakan masalah penentu nasib manusia sedemikian sehingga juga berpengaruh dalam domain-domain yang berada di luar bidang spesialisasi agama, sedemikian sehingga terkait dalam sebagian masalah hidup dan mati serta tidak memiliki alternatif sebagai penggantinya. Sementara ada atau tiadanya yakin (qath’a) dalam ilmu Ushul tidak berujung pada kebahagiaan dan penderitaan seseorang. Di samping itu, apabila tidak tercapai qath’a, maka terdapat amârah (dalil-dalil lahir) yang menggantikannya dan menjalankan fungsi qath’a di dalamnya.
B. Pandangan Imam Khomeini dalam masalah Hujjiyah Qath’a
Qath’a secara leksikal bermakna penyingkapan sempurna dan sinonim dengan terma ilmu dan yakin. Secara teknikal juga mengandung makna leksikalnya. Mukallaf dan mujtahid berada pada tataran mengindentifikasi tugas, baik keduanya menggunakan qath’a dan yakin, atau asumsi dan anggapan, atau ragu dan sangsi. Mengikut qath’a dan beramal berdasarkan qath’a merupakan sesuatu yang harus dilakukan.
Keharusan mengikut apa yang diyakini (qath’a) manusia merupakan suatu hal yang rasional dan bukan berdasarkan syariat. Karena metode qath’a bersifat esensial dan takwini. Sebagai hasilnya, pensyariatan Syare’ akan bersifat tautologis. Sebagaimana sifat genap bagi angka empat. Dengan kata lain, thariqiyyat segala sesuatu harus berujung pada ilmu (yakin).
Sebagai hasilnya, thariqiyyat ilmu itu sendiri harus bersifat esensial; karena setiap ma bilghair (sesuatu yang non-esensial) harus berujung pada ma bidzzat (kepada sesuatu yang esensial). Kalau tidak demikian maka akan berujung pada tasalsul dan tasalsul adalah suatu hal yang absurd.
Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya menafikan thariqiyyat dan hujjiyah dari qath’a adalah absurd. Atas dasar ini, mayoritas ulama Ushul tidak memandang hujjiyah dan tiadanya hujjiyah qath’a sebagai masalah-masalah ilmu Ushul dan dalam pandanga mereka, hal ini lebih mirip dengan ilmu Teologi; karena ilmu Teologi (Kalam) merupakan sebuah ilmu yang membahas tentang Zat Tuhan, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah Swt. Demikian juga mengulas tentang kondisi-kondisi entitas kontingen semenjak mabda (permulaan) hingga ma’ad (akhir) berdasarkan aturan-aturan Islam. Dan mengingat dalam qath’a mengemuka pembahasan husn (baik) dan qubh (buruk) dan semisalnya, tentu saja berdasarkan definisi ini, qath’a berada dalam kategori ilmu Teologi.[5]
Dengan demikian, dalam pandangan Imam Khomeini Ra, pembahasan qath’a merupakan pembahasan ilmu Ushul; karena dalam pandangannya kriteria sesuatu disebut Ushul adalah dapat dijadikan sebagai dasar inferensi hukum syariat, meski tidak dapat dijadikan sebagai mayor silogisme inferensi (istinbath). Atas dasar itu, pembahasan qath’a merupakan pembahasan ilmu Ushul, sebagaimana pembahasan Ushul Amaliyah merupakan pembahasan ilmu Ushul, namun demikian tidak digunakan dalam proposisi mayor silogisme inferensi. Sementara ini sebagian ulama ilmu Ushul seperti Akhund Khurasani meyakini bahwa sesuatu disebut sebagai masalah Ushul ketika ia dapat dijadikan sebagai proposisi mayor dalam silogisme inferensi hukum syariat.[6]
Akhir kata, harus dikatakan bahwa terlepas dari apakah kita memandang pembahasan qath’a sebagai pembahasan Teologi atau Ushuli, bagaimanapun hujjiyah qath’a merupakan sebuah perkara esensial dan dalam masalah ini tidak terdapat perbedaan antara Imam Khomeini Ra dan ulama Ushul lainnya. [IQuest]
[1]. Akhund Khurasani, Kifâyat al-Ushûl, jil. 2, hal. 4, Markaz Mudiriyat Hauzah Ilmiyah Qum, Zemistan, 1388 S.
[2]. Imam Khomeini, Anwâr al-Hidâyah, jil.1 hal. 33. Site Markaz Itthila’at wa Madarik Islami.
[3]. Syak (sangsi) secara leksikal adalah lawan kata ilmu. Namun secara teknis bermakna sebanding dua sisi pemikiran, Isa Wilai, Farhanggi Tasyri’hi Ishthilahât Ushûl, hal. 201, Teheran, 1387 S.
[4]. Kondisi kejiwaan antara qatha’ dan syak disebut sebagai zhan (asumsi), Farhanggi Tasyri’hi Ishthilahât Ushûl, hal. 209.
[5]. Ibid, hal. 274.
[6]. Ibid, hal. 14