Dalam klasifikasi ilmu, dari sudut pandang kedudukan dan tingkatan, tingkatan pertama adalah ilmu-ilmu Ilahi. Ilmu-ilmu Ilahi adalah ilmu-ilmu yang marak dipelajari di seminari-seminari dan hauzah-hauzah ilmiah. Kemudian setelah itu, giliran ilmu-ilmu lainnya.
Menurut hemat kami, pekerjaan-pekerjaan kaum ruhaniawan, dosen-dosen, guru-guru dan cendekiawan ilmu-ilmu humaniora tentu lebih tinggi kontribusinya (keilmuan) dari kontribusi yang hanya berdimensi material (meski pekerjaan mereka juga tetap mengandung nilai); karena kebutuhan-kebutuhan mental, psikologikal dan spiritual manusia lebih prioritas daripada kebutuhan-kebutuhan material.
Pekerjaan kaum ruhaniawan adalah mengerangka dan membangun dimensi mental dan spiritual manusia dan masyarakat. Apabila sebuah komunitas mengalami kemajuan yang sangat pesat dari sudut pandang material, namun pada sisi moral dan spiritual berada pada derajat sedimenter dan rendah, tentu sangat tidak berharga. Dan boleh jadi produk-produk material yang mereka ciptakan alih-alih mendatangkan manfaat malah menimbulkan bencana bagi masyarakat. Karena itu, jenis perkerjaan para alim dan cendekiawan tentu berbeda satu sama lain. Dan kita harus secara proporsional menilai mereka berdasarkan jenis pekerjaannya masing-masing.
Kebutuhan-kebutuhan manusia terdiri dari dua jenis, kebutuhan material dan kebutuhan spiritual. Setiap orang atau kelompok dengan memperhatikan kemampuan, minat dan bakatnnya, masing-masing memilih dua bidang kebutuhan ini. Dengan melakukan penelitian dan usaha dalam bidang tersebut mereka memberikan kontribusi kepada masyarakat.
Sebagaimana yang Anda ketahui bahwa dalam klasifikasi ilmu, dari sudut pandang kedudukan dan tingkatan, tingkatan pertama adalah ilmu-ilmu Ilahi. Ilmu-ilmu Ilahi adalah ilmu-ilmu yang marak dipelajari di seminari-seminari dan hauzah-hauzah ilmiah. Kemudian setelah itu, giliran ilmu-ilmu lainnya.
Menurut hemat kami, pekerjaan-pekerjaan kaum ruhaniawan, dosen-dosen, guru-guru dan cendekiawan ilmu-ilmu humaniora tentu lebih tinggi kontribusinya (keilmuan) dari kontribusi yang hanya berdimensi material (meski pekerjaan mereka juga tetap mengandung nilai); karena kebutuhan-kebutuhan mental, psikologikal dan spiritual manusia lebih prioritas daripada kebutuhan-kebutuhan material.
Apabila sebuah komunitas mengalami kemajuan yang sangat pesat dari sudut pandang material, namun pada sisi moral dan spiritual berada pada derajat sedimenter dan rendah, tentu tidak akan ada nilai dan harganya. Dan boleh jadi produk-produk material yang mereka ciptakan alih-alih mendatangkan manfaat malah menimbulkan bencana bagi masyarakat. Karena itu, jenis perkerjaan para alim dan cendekiawan tentu berbeda satu sama lain. . Dan kita harus secara proporsional menilai mereka berdasarkan jenis pekerjaannya masing-masing.
Sebagaimana yang Anda ketahui bahwa para nabi datang untuk mengobati pelbagai penyakit mental, moral dan spiritual masyarakat, “Nabi Saw adalah tabib yang berkelana yang telah menyiapkan obat-obatannya dan memanaskan peralatannya. Beliau menggunakannya bilamana timbul keperluan untuk menyembuhkan hati yang buta, telinga yang tuli, dan lidah yang kelu. Beliau menyelamatkan manusia dari kematian spiritual.”[1]
Al-Qur’an dalam hal ini menyatakan, “Wa man ahyâha fakannama ahyânnâsa jami’ân.” “Barang siapa yang memelihara kehidupan seseorang maka seolah-olah ia telah menghidupkan seluruh manusia.” (Qs. Al-Maidah [5]:32)
Yang dimaksud dengan “menghidupkan” (ahyâ) pada ayat ini bukanlah, “menghidupkan satu manusia hidup atau menghidupkan seorang manusia yang telah mati, melainkan yang dimaksud adalah menghidupkan dalam kebiasaan orang-orang berakal. Tatkala dokter mengobati sebuah penyakit atau menyelamatkan seseorang supaya tidak tenggelam atau melepaskan seorang tawanan dari tangan musuh, orang-orang berakal berkata bahwa ia telah menghidupkan seseorang (atau berkata memberikan hak hidup kepadanya).
Allah Swt juga dalam firman-Nya menggunakan ungkapan-ungkapan misalnya membimbing kepada kebenaran sebagai “ahyâ” (menghidupkan) dan menyatakan,”Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia.” (Qs. Al-An’am [6]:122)[2]
Apabila demikian adanya sebagaimanya yang telah mengemuka dalam pertanyaan maka dapat diambil kesimpulan bahwa ayah dan ibu yang mendidik dan membesarkan anak-anaknya dengan baik, para guru dan dosen juga yang sibuk dengan ilmu-ilmu humaniora tentu mereka tidak melakukan pekerjaan baik dan memberikan kontribusi berharga kepada masyarakat. Orang-orang yang melakukan kebaikan dan memberikan kontribusi berharga hanyalah orang-orang yang mempersembahkan sesuatu dari sisi material saja dan mengabaikan sisi-sisi lainnya. Tentu saja penilaian seperti ini tidak dapat dibenarkan.
Karena itu, pekerjaan kaum ruhaniawan harus ditinjau dan dianalisa dari sisi risalah dan tugas kaum ruhaniawan, tidak seperti penilaian sebagian orang, karena kalau demikian adanya, harus dikatakan (naudzubillah) bahwa para nabi Ilahi, para imam, para guru, arif besar juga tidak melakukan pekerjaan positif dan tidak memberikan kontribusi berharga kepada masyarakat; karena mereka hanya membenahi sisi moral dan spiritual masyarakat. [iQuest]
[1]. Nahj al-Balâghah, hal. 156, Fitnah Bani Umayyah.
[2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, terjemahan Persia oleh Sayid Musawi Hamadani, jil. 5, hal. 317, Intisyarat Islami, Qum.