Padang masyhar atau kiamat dari sisi substansi keberadaannya berbeda dengan padang bumi sebagaimana derajat eksistensial kiamat berbeda dengan alam tabiat dan dunia. Adanya bagian-bagian yang berubah yang terdapat pada benda duniawi berbeda dengan tingkatan wujud-wujud kiamat. Atas dasar itu, orang-orang yang meyakini ma’âd jasmani menyatakan bahwa badan elemental manusia yang hidup di alam natural yaitu dunia terangkap dari komponen-komponen, partikel-partikel yang saling bertentangan, campuran-campuran kasar dan padat (akhlath katsifah), pada saat kiamat akan berubah menjadi badan yang bercahaya dan hidup secara esensial (hayy bi al-dzat) yang dihukumi kekal, hampa kerusakan dan tidak akan tertimpa penyakit dan semisalnya di padang masyhar. Artinya manusia yang berangkap dari rangkapan ashliyah (bagian orisinal manusia seperti ruh, akal, jiwa) dan fadhliyah (bagian addisional manusia seperti rambut, kulit, tulang dan lain sebagianya) yang akan dihimpunkan pada hari masyhar adalah bagian-bagian ashliyah (orisinal) saja.
Dengan ungkapan ini menjadi jelas bahwa tempat manusia dihimpunkan kelak akan sesuai dengan kondisi yang terdapat pada padang masyhar. Artinya bumi seperti entitas-entitas lainnya lintasan kesempurnaannya bermula semenjak hari pertama penciptaannya hingga hari kiamat yang mencakup seluruh bagian yang saling bertentangan dan akan muncul dalam bentuk padang suci dan tidak berkomponen kasar dan padat. Pada hari masyhar seluruh manusia akan dikumpulkan. Sesuai dengan beberapa riwayat, pada gelanggang kiamat tidak terdapat bangunan yang menutupi manusia. Tidak ada tempat ketinggian yang dengannya manusia dapat melihat dari ketinggian. Padang mashyar adalah sebuah padang laksana perak putih yang tidak ada darah yang ditumpahkan padanya dan tidak terdapat dosa yang dikerjakan.
Padang masyhar berbeda dengan padang dunia sesuai dengan ayat al-Qur’an yang menyatakan, “Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di Padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (Qs. Ibrahim [14]:48). Allamah Thabathabai dalam menafsirkan ayat, “Pada hari itu bumi menceritakan seluruh beritanya.” (Qs. Al-Zalzalah [99]:4) menyatakan bahwa bumi karena wahyu dan titah dari sisi Tuhan mengabarkan berita peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya sehingga menjadi jelas bahwa bumi juga memiliki intelegensi bagi dirinya dan bumi memahami setiap peristiwa yang terjadi di dalamnya. Bumi dapat mengidentifikasi baik dan buruknya peristiwa tersebut. Bumi dapat mentolerir perbuatan hingga suatu waktu ia akan memberikan kesaksian, waktu tatkala ia diberikan izin yaitu pada hari kiamat, bumi memberikan kesaksian. Bumi memberikan berita-berita pelbagai peristiwa yang terjadi.
Dengan mencermati ayat, “Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (Qs. Al-Isra [17]:44) Demikian juga pada ayat, “Kulit mereka menjawab, “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata.” (Qs. Al-Sajdah [32]:21) dapat disimpulkan bahwa kehidupan dan intelegensia terdapat pada seluruh makhluk hidup dan entitas. Meski kita tidak mengetahui ihwal model dan pola kehidupan mereka.[1]
Dari satu sisi, seluruh entitas di alam ini senantiasa bergerak dan melintasi gerakan dan lintasan kesempurnaannya hingga suatu hari sampai pada kesempurnaan mutlak. Melintasi lintasan kesempurnaan, dari alam potensial ke alam aktual berlaku bagi seluruh entitas di alam semesta termasuk langit dan bumi. Hal ini dengan masalah di atas menunjukkan realitas bahwa bumi juga memiliki lintasan kesempurnaan.
Apa yang telah ditetapkan pada ma’ad jasmani, manusia akan dihimpunkan pada hari kiamat dengan jasmani yang ada namun mengingat badan elemental manusia di alam natural yaitu dunia yang terangkan terangkap dari komponen-komponen, partikel-partikel yang saling bertentangan, campuran-campuran kasar dan padat (akhlâth katsifah). Rangkapan ini pada hari kiamat akan dikumpulkan dengan badan yang penuh cahaya, hidup secara esensial, kekal, hampa kerusakan dan terjangkiti penyakit dan semisalnya. Artinya bahwa badan duniawi manusia terangkap dari bagian-bagian ashliyah (bagian orisinal manusia seperti ruh, akal, jiwa) dan fadhliyah (bagian addisional manusia seperti rambut, kulit, tulang dan lain sebagianya). Dan yang akan dihimpunkan pada hari masyhar kelak adalah bagian-bagian ashliyah-nya saja.[2]
Dengan uraian ini menjadi jelas bahwa padang (masyhar) yang menjadi tempat manusia dikumpulkan akan sesuai dengan kondisi alam tersebut. Artinya bumi seperti entitas-entitas lainnya memulai lintasan kesempurnannya semenjak hari pertama penciptaan[3] hingga suatu hari seluruh komponennya yang saling bertentangan dan akan muncul dalam bentuk sebuah bumi yang suci dan hampa segala komponen-komponen keras dan padat. Demikian juga akan memberikan kesaksian atas amal dan perbuatan manusia sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat al-Qur’an.
Dunia lain yang disebut sebagai kiamat pada lintasan tingkatan eksistensi merupakan derajat eksistensial yang tertinggi dimana eksisten bagian-bagian fadhliyah dan komponen kasar dan padat tidak lagi ditemukan pada dunia tersebut. Pada akhirnya alam kiamat akan menjadi kesempurnaan eksistensial alam natural dan segala sistem yang berlaku di dalamnya. Dengan kata lain, wujud substansial masing-masing entitas berbeda dengan yang lain yang dari sudut pandang alam natural dan dunia laksana masa perkembangan dan alam akhirat adalah masa memetik buah yang segar yang merupakan sebuah entitas lainnya yang memiliki kehidupan, pencerapan dan intelegensia.[4]
Rasulullah Saw bersabda, “Manusia akan dikumpulkan pada hari kiamat di atas sebuah padang putih dan bersih seperti sebuah lempengan (roti) bersih yang tidak berlaku bagi siapa saja tanda-tanda apapun.”[5] Artinya tidak akan ada bangunan yang menaungi manusia. Tidak akan ada tempat ketinggian sehingga mata dapat memandang kemana-mana. Anda tidak boleh menyangka bahwa bumi atau padang tersebut ibarat padang dunia melainkan hanya sama dengan namanya. Ibnu Abbas berkata, “Di sana pepohonan, gunung-gunung, lembah-lembah dan segala apa yang ada di dalamnya akan binasa dan akan bertebaran laksana kulit Ukkazh.[6] Sebuah padang seperti perak putih yang tidak tampak darah padanya dan tidak terdapat dosa padanya. Kemudian pada akhirnya, langit-langit dan matahari, bumi dan bintang-bintangnya akan binasa.[7] [IQuest]
[1]. Allamah Thabathabai, Tafsir al-Mizân, jil. 20, hal. 342, Daftar Intisyarat-e Islami Jamiah Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, Qum, 1417 H.
[2]. Silahkan lihat Jawaban 14414 (Site: 14773) Maad Jasmani dan Tidak Kembalinya Bagian-bagian Tamabahan.
[3]. Muhammad Syujai, Ma’âd ya Bâzgasyte be Sui Khudâ, hal. 72, Syerkat-e Sahami Intizhar, Paiz 1362 S.
[4]. Sayid Muhammad Husaini Hamadani, Dirâkhsyân Partu az Ushûl Kâfi, jil. 4, hal. 7, Cap Khane Ilmiyah Qum, 1363 S.
[5]. Shahih Muslim, jil. 8, hal. 127. Bukhâri, jil. 8, hal. 135, sesuai nukilan dari Mulla Muhsin Faidh Kasyani, al-Mahajjat al-Baidhâ fi Tahdzib al-Ihyâ, Korektor dan Annotator Ali Akbar Ghaffari, jil. 8, hal. 322, Muassasah Intisyarat-e Islami Jamiah Mudarrisin, Cetakan Keempat, 1417 H.
[6]. Ukkazh adalah nama sebuah pasar di Mekkah tempat berkumpulnya orang-orang Arab setiap tahunnya. Mereka bermukim di tempat itu selama sebulan dan melakukan transaksi jual-beli barang, membaca syair dan saling berbanggaan satu sama lain. Kulit Ukkazh adalah disandarkan pada nama tempat tersebut.
[7]. Mulla Muhsin Faidh Kasyani, al-Mahajjat al-Baidhâ fi Tahdzib al-Ihyâ, Korektor dan Annotator Ali Akbar Ghaffari, jil. 8, hal. 322, Muassasah Intisyarat-e Islami Jamiah Mudarrisin, Cetakan Keempat, 1417 H.