Kode Site
fa16500
Kode Pernyataan Privasi
42785
Ringkasan Pertanyaan
Baru-baru ini istri saya telah hamil tanpa dikehendaki, dan masalah psikologis yang tengah dideritanya telah mendorong kami untuk menggugurkan kandungannya. Apa hukum dari tindakan ini?
Pertanyaan
Saya memiliki dua orang anak. Mengenai anak terakhir saya, kendati kami telah melakukan KB, namun saat tiba masa haid istri, kami mengetahui bahwa ia telah hamil tanpa kami kehendaki, dan karena alasan-alasan psikologis yang dialami oleh istri dan dia juga mengkonsumsi obat anti depresi, maka ketakutan terhadap masalah psikologis inilah yang telah memaksa kami untuk menggugurkan kandungan yang belum berumur satu bulan ini. Pertanyaan saya, apa hukum dari tindakan ini?
Jawaban Global
Dengan asumsi pertanyaan di atas, tidak terdapat kebolehan syari untuk menggugurkan kandungan dan menggugurkannya berarti berbuat maksiat dan mewajibkan diyat.
Jawaban Detil
Dengan memperhatikan bahwa dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat antara para marja’ agung taklid, maka perhatian Anda akan kami arahkan ke sebuah pertanyaan serupa yang telah ditanyakan kepada Ayatullah Shafi Gulpaigani.
Dengan asumsi pertanyaan di atas, tetap tidak ada kebolehan secara syari untuk menggugurkan kandungan, menggugurkannya berarti bermaksiat dan juga mewajibkan pembayaran diyah. Allah Swt dalam salah satu ayat berfirman, Mungkin anak yang akan digugurkan inilah yang bisa mekeluasan rezki, menghilangkan masalah kehidupan, memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat bagi ayah dan ibunya. Masalah rezeki berada di tangan Allah Swt.[1]
Sekarang untuk informasi mengenai diyah menggugurkan janin, perhatikan baik-baik masalah berikut ini:
Secara lahiriah, sejak janin berada di dalam rahim, dalam 40 hari pertama, masih berupa nuthfah. Dan diyat menggugurkan janin pada usia ini adalah 20 mitsqal syari emas dalam bentuk logam, dimana setiap mitsqalnya adalah 17 koin. Setelah itu, ‘alaqah yaitu darah yang menggumpal, dan diyahnya adalah 40 mitsqal, setelahnya, 40 hari maghadhah, yaitu sepotong daging, yang diyahnya 60 mitsqal (yang secara majemuk berusia 4 bulan), dan setelah itu berupa tulang yang diyahnya adalah 80 mitsqal. Dan begitu ruh telah tertiup ke dalamnya, apabila ia adalah laki-laki, maka diyahnya adalah 1000 mitsqal dan jika perempuan, 500 mitsqal syari emas logam.
Untuk keseluruhan ini, jika setiap satu mitsqal emas digantikan dengan sepuluh dirham perak, telah dianggap mencukupi, dan jika perempuan hamil melakukan hal ini dengan sengaja, maka diyah dengan rincian di atas harus dibayarkan kepada pewaris janin, dan dia sendiri tidak bisa mewarisinya. Benar, jika pewaris janin memaafkannya, diyah akan gugur, akan tetapi pada janin yang telah terdapat ruh di dalamnya, maka wajib baginya untuk membayar kafarah pembunuhan.[2]
Dengan ini semua, Anda bisa bermusyawarah kepada dokter ahli, mengenai seberapa bahaya yang mengancam kondisi ibu, karena dengan adanya bahaya jiwa atau bahaya penting yang mengancam keselamatan ibu, para fukaha memberikan kebolehan untuk menggugurkan kandungan, seperti:
Ayatullah Agung Tabrizi Rah: Jika ibu memiliki kekhawatiran bahwa kehamilannya akan mengkhawatirkan jiwanya (kendati ia memperoleh informasi ini dari dokter ahli), maka sang ibu itu sendiri bisa menggugurkannya dengan meminum obat atau sepertinya, wallahu al-’Âlim.[3]
Ayatullah Makarim Syirazi: Ketika yakin terdapat kekhawatiran adanya bahaya atau kerugian yang penting bagi keselamatan ibu, maka dibolehkan melakukan aborsi pada tahap awal (sebelum empat bulan).[4] [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh, rujuklah Islam dan Masalah Aborsi, Pertanyaan 4514 (Site 4961)
Dengan asumsi pertanyaan di atas, tetap tidak ada kebolehan secara syari untuk menggugurkan kandungan, menggugurkannya berarti bermaksiat dan juga mewajibkan pembayaran diyah. Allah Swt dalam salah satu ayat berfirman, Mungkin anak yang akan digugurkan inilah yang bisa mekeluasan rezki, menghilangkan masalah kehidupan, memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat bagi ayah dan ibunya. Masalah rezeki berada di tangan Allah Swt.[1]
Sekarang untuk informasi mengenai diyah menggugurkan janin, perhatikan baik-baik masalah berikut ini:
Secara lahiriah, sejak janin berada di dalam rahim, dalam 40 hari pertama, masih berupa nuthfah. Dan diyat menggugurkan janin pada usia ini adalah 20 mitsqal syari emas dalam bentuk logam, dimana setiap mitsqalnya adalah 17 koin. Setelah itu, ‘alaqah yaitu darah yang menggumpal, dan diyahnya adalah 40 mitsqal, setelahnya, 40 hari maghadhah, yaitu sepotong daging, yang diyahnya 60 mitsqal (yang secara majemuk berusia 4 bulan), dan setelah itu berupa tulang yang diyahnya adalah 80 mitsqal. Dan begitu ruh telah tertiup ke dalamnya, apabila ia adalah laki-laki, maka diyahnya adalah 1000 mitsqal dan jika perempuan, 500 mitsqal syari emas logam.
Untuk keseluruhan ini, jika setiap satu mitsqal emas digantikan dengan sepuluh dirham perak, telah dianggap mencukupi, dan jika perempuan hamil melakukan hal ini dengan sengaja, maka diyah dengan rincian di atas harus dibayarkan kepada pewaris janin, dan dia sendiri tidak bisa mewarisinya. Benar, jika pewaris janin memaafkannya, diyah akan gugur, akan tetapi pada janin yang telah terdapat ruh di dalamnya, maka wajib baginya untuk membayar kafarah pembunuhan.[2]
Dengan ini semua, Anda bisa bermusyawarah kepada dokter ahli, mengenai seberapa bahaya yang mengancam kondisi ibu, karena dengan adanya bahaya jiwa atau bahaya penting yang mengancam keselamatan ibu, para fukaha memberikan kebolehan untuk menggugurkan kandungan, seperti:
Ayatullah Agung Tabrizi Rah: Jika ibu memiliki kekhawatiran bahwa kehamilannya akan mengkhawatirkan jiwanya (kendati ia memperoleh informasi ini dari dokter ahli), maka sang ibu itu sendiri bisa menggugurkannya dengan meminum obat atau sepertinya, wallahu al-’Âlim.[3]
Ayatullah Makarim Syirazi: Ketika yakin terdapat kekhawatiran adanya bahaya atau kerugian yang penting bagi keselamatan ibu, maka dibolehkan melakukan aborsi pada tahap awal (sebelum empat bulan).[4] [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh, rujuklah Islam dan Masalah Aborsi, Pertanyaan 4514 (Site 4961)
[1]. Luthfullah Shafi Gulpaigani, Jâmi’ Al-Ahkâm, jil. 2, hal. 55, Intisyârât Hadhrat Ma’sumah Salamullâh ‘Alaihâ, Qom, Iran, keempat, 1417 HQ.
[2]. Muhammad Fadhil Muwahhidi Langkarani,, Jâmi’ al-Masâil, hal. 515, Intisyârât Amir Qalam, Qom-Iran, Keduabelas.
[3]. Jawad Tabrizi,, Risalah Ahkâme Bânawân, hal. 239, Wom – Iran, Awal.
[4]. Nashir Makarim Syirazi, Risalah Taudhîh al-Masâil, hal. 486, Intisyârât Madrasah Imam Ali bin Abi Thalib Alaihi Salam, Qom, Kelima puluh dua, 1429 HQ.