Mungkin tidak terdapat ayat-ayat mulia ataupun riwayat-riwayat yang bisa menjadi bukti tegas atas kenonmaterian malaikat, akan tetapi dari topik-topik bahasan yang berkaitan dengan para malaikat dan sifat-sifat serta perbuatan-perbuatan mereka, kenonmaterian mereka dapat diasumsikan, karena karakteristik-karakteristik dan sifat-sifat yang terdapat pada ayat-ayat dan riwayat-riwayat serta ucapan-ucapan para Imam As tentang para malaikat lebih sesuai dengan kenonmaterian mereka, bahkan sebagian dari sifat-sifat tersebut mustahil berada dalam jism atau materi. Sebagian dari fakta-fakta tersebut adalah:
1. Dalam wacana Kenabian, terdapat pembahasan tentang masalah berikut, apakah kedudukan dan maqam Anbiya lebih tinggi dari maqam malaikat ataukah sebaliknya? Mereka yang sepakat dengan kelebihan maqam para Nabi menyandarkan dalilnya pada argumen bahwa para nabi selain dari dimensi ruh dan akal memiliki potensi syahwat dan amarah, dan mereka mampu mengalahkannya dengan bantuan akal dan iman, akan tetapi pada diri para malaikat tidak terdapat potensi yang bertentangan dengan akal dan tidak ada sesuatu yang mengganggu aktivitas ibadahnya, dengan demikian jelaslah eksistensi yang tidak memiliki potensi syahwat dan amarah haruslah nonmateri, karena eksistensi yang hidup dan memiliki akal dan kebebasan, jika merupakan eksistensi material, maka ia harus pula memiliki potensi syahwat dan amarah;
2. Penciptaan malaikat terjadi tanpa adanya perubahan dan mereka merupakan eksisten-eksisten yang tetap, padahal salah satu dari keistimewaan materi adalah terdapatnya perubahan;
3.
4. Kedudukan dan maqam untuk para malaikat adalah jelas dan tertentu, dan tidak ada tahapan kesempurnaan bagi mereka, yaitu seluruh kesempurnaan mereka telah mereka ambil dari Tuhan sejak awal, sementara itu eksisten material seperti manusia senantiasa berada dalam keadaan untuk sampai pada kesempurnaan dan tidak ada akhir bagi mereka. Kesempurnaan mereka pada awalnya hanya merupakan potensi yang baru akan mengaktual dengan berperang melawan hawa nafsu. Akan tetapi kesempurnaan para malaikat sejak awal telah merupakan sesuatu yang aktual, dan ini merupakan salah satu karakteristik dari nonmateri;
5.
6. Eksisten yang materi akan memenuhi ruang, sementara malaikat tidak memanfaatkan ruang, melainkan dalam sebuah tempat yang terbatas bisa terdapat malaikat dalam jumlah yang tak terbilang;
7. Tuhan Yang Maha Tinggi mengutus para nabi untuk menyempurnakan manusia bukan untuk menyempurnakan malaikat, jadi jelaslah bahwa para malaikat berbeda dengan manusia tidak akan memperoleh kesempurnaan yang baru, melainkan seluruh kesempurnaan yang layak telah mereka peroleh sejak awal. Jadi pada diri mereka tidak ada gerak dari potensi ke aktual dan sesuai dengan kaidah filosofi berarti para malaikat harus merupakan eksistensi yang mujarrad, karena ketiadaan perubahan tidak sesuai dengan kematerian;
8. Hal yang bisa disimpulkan dari riwayat-riwayat adalah bahwa para malaikat pun memiliki kewajiban sebagaimana manusia, akan tetapi hanya manusialah yang akan diancam dengan azab dan siksa ketika tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Dan dari sini bisa disimpulkan bahwa manusia memiliki dimensi syahwat dan amarah, yang berarti memiliki potensi-potensi dan media untuk menentang perintah-perintah Ilahi, dan hal ini berlawanan dengan kondisi yang dimiliki oleh para malaikat. Oleh karena itu mereka ini pasti merupakan dua eksisten yang berbeda, dan karena manusia secara aktual adalah eksisten yang bersifat materi, berarti zat dan perbuatan para malaikat adalah bersifat nonmateri.
Sebagian dari para ulama dan ilmuwan Muslim sepakat bahwa malaikat merupakan materi-materi yang lembut dan bercahaya, dan mampu menjelmakan dirinya dalam bentuk yang bermacam-macam, dan para nabi serta para wali memiliki kemampuan untuk melihat para malaikat ini.
Mereka juga sepakat bahwa teori kenonmaterian malaikat bertentangan dengan lahiriah ayat-ayat dan hadis-hadis mutawatir, sebagaimana hal ini diungkapkan oleh Muhaqqiq Dawani dalam Syarh Aqâid dan Syarh Maqâsid yang sepakat bahwa malaikat dalam ilmu dan kodrat merupakan sebuah eksistensi yang sempurna, siang-malam berada dalam keadaan ibadah tanpa merasa lelah atau berkeinginan untuk menentang perintah-perintah Ilahi.
Akan tetapi, dalam pandangan para filosof, malaikat merupakan akal nonmateri yang tidak memiliki keterkaitan sedikitpun dengan materi.[1] Fakhrurazi dalam tafsirnya mengatakan, "Terdapat perbedaan pendapat dalam kuiditas (mâhiyah) dan hakikat malaikat, dimana pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut: malaikat sebuah eksisten yang yang berwujud secara esensial dan terbagi dalam dua kelompok, yaitu bermateri atau tidak bermateri. Akan tetapi, dalam kebermaterian malaikat pun terdapat dua teori:
1. Malaikat merupakan materi halus dan mampu berubah dalam berbagai bentuk, tempat tinggl mereka di langit, dan teori ini merupakan teori mayoritas kaum Muslim;
2. Teori para penyembah patung mengatakan bahwa malaikat tidak lain adalah bintang-bintang yang terbagi dalam dua bentuk. Bintang-bintang khusy yaman dan sa'id yang merupakan malaikat pembawa rahmat dan bintang-bintang nahas yaitu para malaikat pembawa siksa;
3. Teori mayoritas kaum Majusi dan Tsanawiyyah (Dualisme) yang mengatakan bahwa alam terbentuk dari dua bagian prinsip yaitu cahaya dan kegelapan. Esensi cahaya yaitu para malaikat merupakan eksisten-eksisten yang berjiwa mulia dan penyampai keberuntungan bagi para penghuni alam, sementara esensi dari kegelapan adalah para setan.
Akan tetapi, mereka yang mengatakan bahwa malaikat bukanlah eksistensi yang bermateri dan terlepas dari materi, pun memiliki dua teori:
1. Teori yang dimiliki oleh kelompok Nasrani yang sepakat bahwa malaikat pada hakikatnya merupakan jiwa yang berakal dan secara substansi terlepas dari materi;
2. Teori para filosof yang menyatakan bahwa esensi malaikat adalah berwujud secara substansial dan bersifat nonmateri dimana dari sisi kuiditasnya (mâhiyah) berbeda dengan akal manusia dan dari sisi kodrat dan ilmu lebih sempurna dari jiwa-jiwa manusia, hubungan antara malaikat dan manusia sebagaimana hubungan antara matahari dengan cahaya-cahaya yang terpancar darinya (seperti sumber cahaya dengan cahayanya). Mereka yang sepakat dengan teori ini terbagi lagi dalam dua kelompok:
A. Malaikat yang hubungan mereka terhadap benda-benda langit seperti hubungan antara jiwa manusia dengan badan, merupakan para malaikat pengatur benda-benda langit.
B. Kelompok kedua yang memiliki kedudukan dan maqam lebih tinggi, tenggelam dalam mensucikan dan beribadah. Kelompok malaikat ini dinamakan dengan malaikat muqarrab (yang didekatkan).[2]
C. Sebagian dari filosof memiliki teori lain untuk para malaikat, dan mereka adalah kelompok yang menganggap malaikat sebagai pengatur alam rendah.[3]
Dari kumpulan argumen dan teori-teori semacam ini bisa disimpulkan bahwa malaikat terdiri dari dua kelompok:
1. Kelompok pertama adalah malaikat muqarrabin yang senantiasa berada dalam keadaan beribadah, tanpa merasa lelah dan tanpa memiliki keinginan untuk melakukan perbuatan maksiat , yang istilahnya dikatakan sebagai 'karrubin', kelompok ini memiliki akal yang nonmateri (tajarrud) atau berada pada derajat nonmateri sempurna.
2. Kelompok kedua adalah para malaikat yang bertanggung jawab dalam mengatur persoalan-persoalan alam, seperti menyampaikan wahyu, mematikan manusia, memberikan nikmat, memberikan siksa dan semisalnya, kelompok dari malaikat ini memiliki substansi nonmateri, dikatakan sebagai tajarrud mitsali, memiliki kemampuan untuk berubah dalam berbagai bentuk. Mereka pun memiliki kemampuan, kesempurnaan dan ilmu, dan apa yang diperintahkan dari Tuhan akan dilaksanakannya tanpa mengurangi atau melebihkan.
Para Nabi dan para penerusnya mampu menyaksikan malaikat dari kelompok ini dan bisa melakukan percakapan dengan mereka. Seperti cerita Nabi Ibrahim yang membawakan makanan dan bercakap dengan mereka karena menyangka mereka ini adalah manusia, atau percakapan Nabi Luth As dengan mereka, penurunan adzab kepada kaum Luth serta menjelmanya malaikat Jibrail As dalam bentuk Dahiyeh Kalbi.
Untuk menjelaskan perbedaan kenonmaterian mitsali (kenonmaterian kurang sempurna, yakni memiliki bentuk tanpa beban) atau kenonmaterian akli (kenonmaterian sempurna, tanpa bentuk dan beban), perlu kiranya untuk mengemukakan poin bahwa para filosof mengklasifikasikan alam dalam tiga kelompok dan tiga tingkat, yaitu:
1. Alam dunia yang bersifat materi dan juga memiliki efek-efek materi yang merupakan tempat terjadinya benturan dan kontradiksi;
2. Alam mitsal yang memiliki efek materi dalam bentuk dan warna, akan tetapi tidak memiliki beban dam berat. Seperti bentuk atau orang yang kita lihat dalam mimpi;
3. Alam akal yang di dalamnya tidak hanya tidak terdapat materi dan volume, melainkan tidak pula terdapat efek-efek materi;[4]
Akan tetapi, untuk kenonmaterian malaikat telah terdapat argumen-argumen, yang diantaranya adalah:
a. Dalam kitab-kitab kalam pada pembahasan kenabian telah diungkapkan tentang pembahasan apakah maqam dan kedudukan para Anbiya lebih mulia dari malaikat ataukah maqam malaikat yang lebih tinggi dari para Nabi? Mereka yang sepakat dengan ketinggian maqam para Nabi menyandarkan pada dalil bahwa selain para Nabi memiliki dimensi ruh dan akal, mereka juga memiliki potensi syahwat dan amarah dan dengan bantuan akal dan iman mereka akan mampu mengalahkan syahwat dan amarah tersebut, akan tetapi dalam diri malaikat tidak terdapat potensi syahwat dan amarah dan mereka tidak memiliki pengganggu yang akan mengusik aktivitas ibadahnya, dan hal ini menjelaskan bahwa eksistensi yang tidak memiliki potensi syahwat dan amarah haruslah eksistensi yang nonmateri, karena eksistensi yang hidup dan memiliki akal dan kebebasan, jika ia adalah materi, pasti ia harus pula memiliki potensi syahwat dan amarah;[5]
b. Malaikat diciptakan tanpa mengalami perubahan dan pergantian, dan mereka merupakan eksistensi yang tetap dan konstan, sebagaimana hal ini disiyarahkan dalam sebagian riwayat. Eksistensi yang demikian ini adalah eksistensi yang mujarrad dan nonmateri, karena salah satu dari karakteristik dan keistimewaan dari eksisten materi adalah mengalami perubahan;
c. Dari ayat-ayat dan riwayat bisa disimpulkan bahwa malaikat senantiasa berada dalam keadaan beribadah dan melaksanakan perintah-perintah Ilahi tanpa merasakan kelelahan, sedangkan eksisten yang materi akan mengalami keletihan ketika melakukan pekerjaan dan aktivitas;
d. Terdapat maqam dankedudukan yang tertentu untuk para malaikat dan tidak terdapat jenjang kesempurnaan dalam diri mereka, yaitu seluruh kesempunaan mereka telah mereka peroleh sejak awal dari Tuhan, padahal eksisten materi seperti manusia senantiasa berada dalam langkahnya untuk mencapai kesempurnaan dan tidak ada batas untuk kesempurnaan tersebut,[6] kesempurnaan manusia pada awalnya hanya merupakan potensi yang kemudian akan mengaktual dengan perjuangannya melawan hawa nafsu, akan tetapi kesempurnaan para malaikat, keseluruhannya adalah aktual dan ada sejak awal, dan hal ini merupakan karakteristik dari tajarrud dan kenonmaterian;
e. Malaikat tidak bisa diisyarahkan secara inderawi, yaitu malaikat tidak bisa diisyarahkan secara langsung dengan indra lahiriah, sebagaimana yang berkaitan dengan benda dan materi, maupun dengan isyarah secara tidak langsung, seperti yang terjadi pada hal-hal yang dikaitkan dengan materi seperti fakultas melihat atau mendengar. Oleh karena itu, isyarah indera merupakan karakteristik materi, jadi setiap eksistensi yang tidak bisa diisyarahkan secara inderawi, bukanlah eksisten material;
f. Eksistensi yang materi, akan memenuhi ruang dan tidak ada eksistensi lain yang terletak secara bersamaan di tempat tersebut, sementara malaikat tidak memenuhi ruang dan dalam sebuah tempat yang terbatas bisa terdapat malaikat dalam jumlah yang tak terbatas;
g. Tuhan mengutus para nabi untuk menyempurnakan manusia, bukan malaikat, jadi jelaslah bahwa malaikat, bertolak belakang dengan manusia, tidak memperoleh kesempurnaan yang baru, melainkan seluruh kesempurnaannya yang layak telah mereka miliki sejak awal. Jadi pada diri mereka tidak ada gerak dari potensi ke aktual dan sesuai dengan kaidah filsafat bisa kita simpulkan bahwa malaikat haruslah mujarrad dan nonmateri, karena ketiadaan perubahan tidak sesuai dengan kaidah materi.
Makna dari Keberadaan Sayap pada malaikat
Pada surah mulia al-Fathir ayat pertama[7], dikatakan bahwa para malaikat memiliki sayap. Akan tetapi berdasarkan fakta dan konteks-konteks yang telah disebutkan sebelumnya dan juga pada kasus-kasus lainnya, yang dimaksud dengan sayap di sini bukanlah sayap materi dan sayap lahiriah, dan ayat ini bisa dita'wilkan, sebagaimana hal senada terdapat juga pada ayat-ayat al-Quran seperti "Maka datanglah Tuhanmu", dimana karena kemujarradan Tuhan, maka yang dimaksud di sini bukanlah kedatangan-Nya, melainkan maksudnya adalah "Datanglah perintah Tuhanmu."
Atau pada ayat ke 5 surah Thaha yang berfirman,"Tuhan Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arasy." , yang dimaksud dengan bersemayam di sini bukanlah bersemayam dalam makna lahiriah,melainkan 'kekuasaan', sedangkan yang dimaksud dengan 'arsy adalah alam keberadaan,[8] yaitu bahwa Tuhan Yang Maha Tinggi menguasai seluruh keberadaan dan seluruh alam.
Selain itu naiknya para malaikat ke hadapan Tuhan[9] bisa dijadikan dalil atas kenonmaterian malaikat, karena jika mereka materi, maka tempat menghadapnya pun harus dalam bentuk materi. Oleh karena itu kepemilikan sayap pada para malaikat mengisyarahkan pada tahapan kedekatan dan kodrat mereka.[]
Literatur-literatur untuk untuk telaah lebih jauh:
1. Ibnu Sina, Isyârât, Namath Syisyum, Fashl 10-140.
2. Misbah Yazdi, Ma'ârif Qurân, hal. 283 dan 319.
3. Falsafi, Muhammad Taqi, Ma'âd az Nazhare Ruh wa Jism, hal. 75 dan 112.
4. Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 59.
5. Nahjul Balâghah, khutbah ke 91.
6. Ja'fari, Muhammad Taqi, Tafsir Nahjul Balâghah, jil. 2, hal. 16.
7. Sahrrudi, Hikmah al-Asyraf, Al-Qismutsani, maqaleye awwal, fashl 4.
8. Misbah Yazdi, Âmuzesy Falsafeh, jil.2, hal. 134, pelajaran 41.
[1] . Majlisi, Muhammad Baqir, Bihâr al-Anwâr, jil. 59, hal. 202 dan seterusnya.
[2] . Ibid, hal. 202-204.
[3] . Ibid, hal. 206.
[4] . Allamah Thabathabai, Muhammad Husain, Nihayah al-Hikmah, marhaleye dawozdahum, hal. 313 dan seterusnya.
[5] . Allamah Hilly, Syarh Tajrid, Th Beirut, Maqsad Sewwum, Mas-aleye cohorum, hal. 387.
[6] . "Tiada seorang pun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu." (Qs. Ash-Shaffat: 164)
[7] . "Segala puji bagi Allah pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai para utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang memiliki) dua, tiga, dan empat (sayap)."
[8] . Untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap tentang makna dari 'arsy dan kursy, rujuklah indeks: 'arsy dan kursy dalam Quran, pertanyaan ke 254.
[9] . "Malaikat-malaikat dan ruh (malaikat muqarrab di sisi Allah) naik (menghadap) kepada Tuhan …" (Qs. Al-Ma'arij: 4)