Dengan memperhatikan sanad kedua kelompok riwayat-riwayat yang tergolong seabgai riwayat yang diterima oleh kalangan ulama. Bagaimana para ulama menggabung (jam’) dua riwayat akan disebutkan sebagaimana berikut ini:
1. Para pemilik harta pada periode-periode lalu, membagi harta mereka itu dalam bentuk bagian-bagian. Oleh itu, sebagian dari mereka membagi-bagi hartanya menjadi sepuluh bagian dan sebagian membagi-bagi hartanya menjadi tujuh bagian. Dengan demikian, wasiat seseorang atas hartanya itu ditunaikan sesuai dengan adat dan kebiasaannya masing-masing.
2. Pendapat yang lebih kuat adalah mengamalkan kelompok riwayat-riwayat yang pertama karena prinsipnya (ashl) adalah tetapnya kepemilikan ahli waris. Atau dengan kata lain prinsipnya (ashl) adalah tidak ada pembayaran lebih dari ahli waris. Dan kadar dan ukuran banyak itu juga bisa terjadi ketika mengamalkan riwayat-riwayat yang mengartikan bagian (juz) itu sebagai “sepertujuh.”
3. Kelompok riwayat-riwayat yang pertama itu kita anggap mengandung makna wajib dan kelompok riwayat-riwayat yang kedua kita anggap memiliki makna anjuran (mustahab). Artinya bagian (juz) itu adalah sepersepuluh dan ini kita anggap sebagai hal yang sifatnya wajib. Namun bagi ahli waris dianjurkan – dengan alasan banyaknya riwayat yang menyatakan demikian, menggunakan sepertujuh dari harta yang telah diwasiatkan.
Jika ada ketidakjelasan pada wasiat, dikarenakan globalnya (ijmâl) lafaz yang digunakan di dalamnya, seperti ada seseorang yang berwasiat “sebagian dari harta” dan mengatakan bahwa sebagian dari harta saya itu hendaknya digunakan untuk amal kebajikan (seperti membangun yayasan yatim piatu dan lain-lain) dan tidak ada indikasi atau pun qarinah yang menjadi penjelas atas maksud pewasiat, maka tuntutan kaidah menyatakan bahwa wasiat ini dianggap tidak ada dan pada dasarnya seolah-olah ia tidak berwasiat. Oleh itu, kita mesti merujuk kepada kaidah-kaidah umum dan aturan-atauran khusus dalam bab warisan (irts), karena ungkapan semacam ini menurut ‘urf (kebiasaan umum) dan menurut pakar bahasa sama sekali tidak memiliki makna yang dapat dihukumi secara lahir.
Namun dengan memperhatikan hal bahwa pada bab ini, dalil-dalil syar’i dan riwayat-riwayat standar, yang menafsirkan sebagian lafaz-lafaz mujmal (global) itu, maka mau-tak-mau wajib bagi kita merujuk ke dalil-dalil dan riwayat-riwayat standar ini.[1] Nah, apabila wasiat semacam ini dilaksanakan, pokok persoalannya adalah berapa banyak harta yang harus dikeluarkan dari pemberi wasiat kepada orang yang diwasiatkan. Terdapat dua kelompok riwayat-riwayat dalam menjawab persoalan ini.
Kelompok pertama: sesuai dengan sebagian riwayat, “bagian (juz)” itu ditafsirkan sebagai sepersepuluh artinya sepersepuluh dari harta yang ada harus diserahkan kepada yang menerima wasiat (muwshi lahu).
Saya bertanya tentang seseorang yang mewasiatkan “sebagian” dari hartanya kepada Imam Shadiq As. Kemudian beliau bersabda: Obyeknya itu adalah satu bagian dari sepuluh bagian. Kebanyakan ulama, dengan bersandar pada riwayat semacam ini, menganggap wajib mengeluarkan sepersepuluh pada wasiat “sebagian” (juz) harta.[2]
Kelompok Kedua: Kebalikan dari riwayat sebelumnya. Terdapat riwayat-riwayat yang menafsirkan “sebagian” (juz) pada wasiat itu sebanyak sepertujuh. Di antara hadis itu adalah:
Muhammad bin Ali bin Mahbub, dari Ahmad bin Muhammad bin Abi Nashr Bazanthi berkata: “Saya bertanya kepada Imam Kazhim As perihal seseorang yang mewasiatkan “sebagian (juz)” dari hartanya? Imam As bersabda: Juz itu artinya sepertujuh, karena Allah Swt berfirman,”Jahanam itu mempunyai tujuh pintu. Tiap-tiap pintu (telah ditetapkan bagian) untuk golongan yang tertentu dari mereka”[3] Oleh karena itu, penduduk neraka itu harus dibagi menjadi tujuh bagian sesuai dengan ungkapan ayat itu, bahwa setiap pintu itu disebut sebagai satu bagian.
Ada sekelompok, dengan bersandar pada riwayat-riwayat semacam ini, menganggap wajib untuk mengeluarkan sepertujuh pada wasiat “sebagian” (juz) harta.[4]
Nah, dengan memperhatikan sanad kedua kelompok riwayat-riwayat yang termasuk sebagai riwayat yang diterima oleh kalangan ulama, kelihatannya pada poin pertama, kedua kelompok riwayat ini nampak saling bertentangan (ta’arudh), namun para juris menggabungkan dua kelompok riwayat ini sebagaimana yang disebutkan sebagaimana berikut ini:
1. Para pemilik harta pada periode-periode lalu, membagi harta mereka itu dalam bentuk bagian-bagian. Oleh itu, sebagian dari mereka membagi-bagi hartanya menjadi sepuluh bagian dan sebagian membagi-bagi hartanya menjadi tujuh bagian. Dengan demikian, wasiat seseorang atas hartanya itu ditunaikan sesuai dengan adat dan kebiasaannya masing-masing. [5]
2. Pendapat yang lebih kuat adalah mengamalkan kelompok riwayat-riwayat yang pertama karena prinsipnya (ashl) adalah tetapnya kepemilikan ahli waris. Atau dengan kata lain prinsipnya (ashl) adalah tidak ada pembayaran lebih dari ahli waris. Dan kadar dan ukuran banyak itu juga bisa terjadi ketika mengamalkan riwayat-riwayat yang mengartikan bagian (juz) itu sebagai “sepertujuh.” [6]
3. Kelompok riwayat-riwayat yang pertama itu kita anggap mengandung makna wajib dan kelompok riwayat-riwayat yang kedua kita anggap memiliki makna anjuran (mustahab). Artinya bagian (juz) itu adalah sepersepuluh dan ini kita anggap sebagai hal yang sifatnya wajib. Namun bagi ahli waris dianjurkan – dengan alasan banyaknya riwayat yang menyatakan demikian, menggunakan sepertujuh dari harta yang telah diwasiatkan. [7]
Bagaimana pun harap diperhatikan bahwa “Jika pengeluaran itu yang telah ditentukan oleh mayit (orang yang meninggal), melebihi sepertiga dari hartanya, maka wasiat si mayit yang lebih dari sepertiga akan dianggap sah jika terdapat kerelaan dari ahli warisnya.”[8]
Jawaban Ayatullah Mahdi Hadavi Tehrani terhadap pertanyaan di atas adalah sebagai berikut:
Wasiat, hanya berlaku, tanpa izin ahli waris (sekalipun) pada sepertiga dari harta yang ditinggalkan dan untuk menentukan banyaknya harus mencukupkan diri dengan ukuran yang meyakinkan (qadr-e mutayaqqan), kendati mengikut prinsip ihtiyâth mustahab harta tersebut dalam ukuran maksimal yang memungkinkan dialokasikan untuk wasiat. [iQuest]
[1]. Sayid Hasan Musawi Bajnawardi, al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, jil. 6, hal 291, Nasyr Al Hadi, Qom-Iran, Cetakan Pertama, 1419 H.
[2]. Muhammad Taqi Syusytari, al-Naj’ah fi Syarh al-Lum’ah, jil. 8, hal. 230, Kitabpurusyi Shaduq, Teheran, Cetakan Pertama, 1406 H.
[3]. Qs. Al Hijr: 44. Abu Ja’far, Muhammad bin Hasan Thusi, Tahdzib al-Ahkâm, jil. 9, hal 209, Hadis 828, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Keempat, 1407 H.
[4]. Muhammad Taqi Syusytari, al-Naj’ah fi Syarh- al-Lum’ah, jil. 8, hal. 233, Kitabpurusyi Shaduq, Teheran, Cetakan Pertama, 1406 H.
[5]. Muhammad bin Ali bin Babawaih Qummi, Syaikh Shaduq, Penerjemah, Ali Akbar Gaffari, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 6, hal. 50, Shaduq, Teheran, Cetakan Pertama, 1409 H.
[6]. Miqdad bin Abdullah Hilli, Penerjemah, Abdurrahim Haqiqi Bakhsyasyi, Kanz al-‘Irfân fi Fiqh al-Qur’ân, jil. 2, hal 585, Qom, Cetakan Pertama;, Sayid Muhammad Husain Tarhini ‘Amili, al-Zubdat al-Fiqhiyah fii Syarhi al-Raudhah al-Bahiyah, jil. 6, hal 38, Dar al-Fiqh Liththaba’ah wa al-Nasyr, Qom, Cetakan Keempat, 1427 H.
[7]. Muhammad Taqi Syusytari, al-Naj’ah fi Syarh- al-Lum’ah, jil. 8, hal. 233, Kitabpurusyi Shaduq, Teheran, Cetakan Pertama, 1406 H.
[8]. Sayid Ruhullah Musawi Khomeini, Taudhihul Masâil (Imam Khomeini), hal 578, Masalah 2589, Cetakan Pertama, 1426 H.