Yang dapat disimpulkan dari ajaran-ajaran agama bahwa pakaian wanita harus menjadi penutup badannya demikian juga tidak menarik perhatian tatkala berjumpa dengan non-mahram. Dan jelas bahwa warna hitam dibanding dengan warna-warna lainnya lebih layak lantaran lebih tebal dan lebih baik bagi kaum wanita.
Atas dasar itu, sebagian juris (fakih) dan marja taklid seperti Ayatullah Agung Khamenei dan Ayatullah Agung Tabrizi Ra juga menegaskan bahwa cadur hitam tidak makruh dan sebagian lainnya seperti Ayatullah Agung Fadhil Langkarani Ra menandaskan bahwa bukan hanya cadur hitam itu tidak makruh bahkan cadur hitam merupakan sebaik-baik model hijab.
Bagaimanapun, makruhnya mengenakan pakaian hitam itu terkhusus untuk kaum pria. Namun menggunakan pakaian hitam pada acara-acara duka bukan hanya tidak makruh bahkan mendapatkan pahala karena merupakan ekspresi simpati kepada Ahlulbait Rasulullah Saw.
Dinukil dari putra Imam Sajjad As bahwa tatkala datukku Imam Husain telah syahid, para wanita Bani Hasyim mengenakan pakaian hitam sebagai ungkapan duka atas syahidnya Imam Husain dan tidak mengganti pakaian mereka pada cuaca panas atau dingin.
Patut untuk disebutkan bahwa sebagian juris menekankan untuk mengenakan pakaian hitam bahwa pada hari-hari duka Imam Husin As dan mengambil berkah dengan perantara pakaian hitam tersebut. Mereka tetap menjaga tradisi tersebut dan mewasiatkan bahwa setelah wafatnya dikuburkan dengan pakaian hitam tersebut untuk mengambil berkah darinya.
Karena itu, mengenakan pakaian hitam pada hari-hari duka para Imam Maksum As khususnya pada dua bulan Muharram dan Shafar yang bukan hanya tidak makruh tetapi merupakan sebuah keutamaan besar dan meraup pahala karena merupakan bentuk ekspresi simpati kepada mereka dan menghidupkan urusan-urusan (tradisi) mereka.
Kemakruhan mengenakan pakaian hitam dapat disimpulkan dari sebagian riwayat meski secara global dan parsial.[1] Akan tetapi kemakruhan yang disebutkan tidak menandaskan secara seratus per seratus semua jenis pakaian (hitam) bagi semua orang, baik wanita dan pria, di setiap masa dan waktu. Artinya terdapat hal-hal tertentu yang menyebabkan kemakruhannya terpinggirkan (mustatsnâ) sebagaimana yang tertuang sebagai contoh berikut ini:
A. Tiadanya kemakruhan atas sebagian pakaian-pakaian hitam tertentu: Dinukil dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah Saw tidak menyukai (makruh) mengenakan pakaian hitam kecuali pada tiga hal: Khaff (sejenis sepatu kulit yang tipis), ammâmah (sejenis sorban warna hitam) dan kisa (kain).[2] Kain Kisa dengan indikasi hadis Kisa yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw adalah pakaian panjang dan menutupi seluruh badan yang juga mencakup aba dan cadur hitam wanita. Karena itu, tiga pakaian hitam ini tidak termasuk (terkecualikan) dari yang dimakruhkan sebagaimana riwayat di atas. Hadhrat Ayatullah Bahjat dalam kitab Jâmi’ al-Masâil berkata, “Ketahuilah dalam kitab-kitab ulama disebutkan beberapa hal ihwal kemakruhan pakaian yang dikenakan dalam shalat, di antaranya, “pakaian hitam selain ammamah, khaff dan kisa.”[3]
B. Tiadanya kemakruhan pakaian hitam bagi kaum wanita: Tidak diragukan lagi bahwa dalam Islam terdapat ragam jenis pakaian pria dan wanita, dari sisi jenis, ukuran dan bahkan warna misalnya pakaian dari bahan emas dan sutra dibolehkan bagi wanita dan terlarang bagi kaum pria. Ukuran wajib pakaian yang harus dikenakan untuk menutup badan oleh wanita sesuai dengan pandangan masyhur fukaha (juris) adalah seluruh badan kecuali wajah dan dua telapak tangan. Namun ukuran pakaian yang harus menutup badan kaum pria kurang dari kaum wanita. Dari sisi warna, pakaian yang digunakan untuk ihram adalah warna putih dalam ritual haji dan mustahab (dianjurkan) hukumnya bagi kaum pria. Akan tetapi mubah (dibolehkan) bagi kaum wanita untuk mengenakan pakaian biasa meski bukan warna putih. Dalam kitab-kitab fikih juga disebutkan bahwa tiada satu pun fukaha terkemuka Syiah yang memfatwakan kemakruhan pakaian dan busana hitam bagi kaum wanita bahkan sebaliknya, mengenakan pakaian dan busana hitam tidak makruh bagi kaum wanita bahkan bukan hanya tidak makruh mereka memfatwakan lebih tinggi dari sekedar tidak makruh. Fakih (juris) kawakan Syiah, pengarang kitab Jawâhir, dalam kitab fikihnya yang terkenal, menyebutkan bahwa sesuai dengan penegasan banyak kitab ulama Imamiyah bahwa kemakruhan mengenakan pakaian hitam terkhusus bagi kaum pria saja lantaran Syari’ Muqaddas menjadikan pakaian lebih tebal dan lebih banyak bagi kaum wanita ketika berhadapan dengan kaum pria non-mahram dan warna hitam dibanding dengan warna-warna lainnya lebih layak lantaran lebih tebal dan lebih baik bagi kaum wanita.[4] Sebagian fakih dan marja taklid pada masa kiwari seperti Ayatullah Agung Khamenei dan Ayatullah Agung Tabrizi Ra juga menyatakan bahwa cadur hitam tidak makruh dan sebagian lainnya seperti Ayatullah Fadhil Langkarani Ra menyebutkan lebih tinggi dari tidak makruh dan menandaskan bahwa cadur hitam merupakan sebaik-baik model hijab.[5]
Di samping dalil-dalil di atas, dewasa ini, dalam ranah psikologi warna-warni hal ini merupakan sebuah kenyataan faktual bahwa warna hitam adalah warna diam dan pasif yang tidak akan menstimulir dan menyita perhatian orang lain. Tipologi ini di samping tidak memiliki efek-efek negatif[6] juga sejalan dengan hikmah hijab dan pakaian wanita di hadapan non-mahram yaitu tidak untuk menyita perhatian dan menciptakan ketenangan batin pada masyarakat.
C. Tidak makruhnya pakaian hitam pada acara-acara duka: Mengenakan warna (pakaian) hitam pada acara-acara duka tidak makruh, bahkan dinukil dari putra Imam Sajjad As bahwa tatkala datukku Imam Husain telah syahid, para wanita Bani Hasyim mengenakan pakaian hitam sebagai ungkapan duka atas syahidnya Imam Husain dan tidak mengganti pakaian mereka pada cuaca panas atau dingin.[7] Bahkan pada acara-acara duka selain para Imam Maksum As juga kebiasaan praktis orang-orang beragama dan bahkan non-agamis sekali pun mengenakan pakaian hitam. Di samping itu, mengenakan pakaian hitam memiliki tipologi positif lainnya yang disebut sebagai upaya menghidupkan tradisi Ahlulbait yang dicintai dan diidamkan oleh para maksum yang bersabda, “RahimalLâh man ahyâ amrana.” (Semoga Allah merahmati mereka yang menghidupkan urusan-urusan [tradisi] kami).[8]
Tidak diragukan lagi, tatkala tua dan muda, orang besar dan anak kecil, pada hari-hari ini mereka mengenakan pakaian hitam tujuan mereka adalah untuk mengingatkan duka dan petaka memilukan yang menimpa Imam Husain As dan demikianlah alasannya mengapa disebutkan bahwa kelestarian Islam disebabkan dua bulan Muharram dan Shafar.
Dari sudut pandang sejarah, sebagaiman para sejarawan menulis, pasca tragedi Asyura, kaum wanita Ahlulbait Rasulullah Saw adalah orang-orang yang pertama mengenakan pakaian hitam untuk masa setahun dan sedemikian mereka tenggelam dalam duka sehingga Imam Sajjad sendiri yang harus menyiapkan makanan bagi mereka. Sepanjang perjalanan sejarah juga, mengenakan pakaian hitam pada acara-acara duka Ahlulbait As telah menjadi sebuah tradisi berharga di antara para Syiah dan para pecinta Ahlulbait.
Sebagian juris ternama pada hari-hari duka Imam Husain As mereka mengenakan pakaian hitam dan mencari berkah dengan mengenakan pakaian tersebut. Mereka dengan serius senantiasa menjaga dan memperhatikan masalah ini bahkan mewasiatkan supaya sanak keluarganya menguburkannya berserta pakaian hitam yang digunakan selama hari-hari duka Imam Husain As tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengambil berkah dari pakaian hitam itu.
Karena itu, mengenakan pakaian hitam pada hari-hari duka para Imam Maksum As khususnya pada dua bulan Muharram dan Shafar bukan hanya tidak makruh melainkan mengandung keutamaan yang sangat besar apabila dikenakan untuk mengekspresikan simpati kepada Ahlulbait Rasulullah Saw dan untuk menghidupkan tradisi mereka. Dengan paparan di atas menjadi jelas bahwa ungkapan ihwal makruhnya pakaian hitam dalam Islam merupakan ungkapan global, tidak akurat, menyesatkan (fallacy) dan tidak ilmiah. [IQuest]
[1]. Untuk mengetahui riwayat-riwayat semacam ini kami persilahkan Anda untuk merujuk pada kitab-kitab seperti Furû’ al-Kâfi, jil. 2, hal. 397. Furû’ al-Kâfi jil. 6, hal. 449. Wasâil al-Syiah, jil. 3, bab 19.
[2]. Kulaini, Furû’ al-Kâfi, jil. 6, hal. 449.
[3]. Jâmi’ al-Masâil (lil Bahjat), jil. 1, hal. 314.
[4]. Muhammad Hasan Najafi, Jawâhir al-Kalâm fi Syarh Syarâ’i al-Islâm, jil. 8, hal. 235.
[5]. Wizhe Nâme Farhanggi-ye Islâm, Bahar 1379, hal. 7.
[6]. Sebagian orang tanpa sebarang dalil dan referensi dengan motivasi membudayakan anti-hijab mengklaim bahwa hijab dan cadur hitam menyebabkan pelbagai penyakit mental dan jasmani seperti stress, depresi, lemahnya tulang. Untuk mengetahui lebih jauh dari klaim dusta orang-orang ini kami persilahkan Anda untuk merujuk pada bagian kedua artikel “Naqd-e Adille Mukhâlifin Châdur Misyki,” Koran Jumhuriye Islami, 4 Bahman 1379.
[7]. Al-Bahrani, Al-Hadâiq al-Nâzhirah fii Ahkâm al-‘Itrah al-Thâhirah, jil. 7, hal. 118.
[8]. Wasâil al-Syiah, jil. 12, hal. 20.