Tidak satu pun riwayat dalam literatur Islam, baik Syiah atau pun Sunni yang menyodorkan dalil kebolehan hubungan seksual seperti ini. Apa yang dijelaskan dalam pertanyaan di atas sama sekali tidak berkaitan dengan riwayat-riwayat yang disinggung.
Yang disinggung dalam riwayat adalah pembahasan tentang kehalalan menggauli para budak wanita. Apakah hal ini dibolehkan menurut al-Qur'an? Apakah dibolehkan seorang pria menggauli seorang wanita yang telah muhrim baginya tanpa melalui proses akad atau kepemilikan (milk)? Dalam fikih Syiah, supaya budak wanita itu dapat digauli berbeda dengan wanita merdeka yang hanya dapat disenggama melalui akad, terdapat beberapa cara yang akan disinggung nantinya.
Seluruh riwayat sehubungan dengan menghalalkan budak wanita dan sangat jelas bahwa tiada seorang pun pria yang dapat menyerahkan istrinya atau budak wanitanya yang telah dijadikan sebagai istri kepada orang lain, atau pada masa seseorang selain pemilik sesuai dengan izin pemilik dapat bersenggama dengan budak wanita tersebut, pemilik juga dapat menggauli budak wanita tersebut.
Pertanyaan ini dapat dikaji dalam dua sisi:
Pertama: Apa yang disebutkan dalam riwayat adalah pembahasan tentang kehalalan menggauli budak bahwa apakah hal demikian dibolehkan sesuai dengan ayat-ayat al-Qur'an? Apakah sah atau dibolehkan seorang pria menggauli seorang wanita yang telah muhrim baginya tanpa melalui proses akad atau kepemilikan (milk)?
Lebih jelasnya dalam masalah budak wanita, apakah seorang pria dapat menggauli budak wanitanya tanpa proses akad nikah dan hanya karena semata-mata ia seorang budak dan halal digauli oleh orang lain, kemudian membolehkan ia dapat digauli oleh orang lain?
Dengan memperhatikan sebuah ayat, al-Qur'an membatasi pernikahan pada dua cara saja. Dalam hal ini, al-Qur'an menyatakan, "Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela." (Qs. Al-Mukminun [23]:6)
Sesuai dengan ayat ini, terdapat dua cara untuk kehalalan menggauli wanita; pertama dengan proses akad nikah. Kedua "milk yamin" yaitu kebolehan menggauli budak wanita bagi pemiliknya.
Adapun dalam fikih Syiah, supaya budak wanita itu dapat digauli, berbeda dengan wanita merdeka yang hanya dapat disenggama melalui akad, terdapat beberapa cara yang disebutkan[1] sebagai berikut:
Pertama: Budak wanita tersebut dibeli oleh seorang pria, yang bersamaan dengan itu, budak tersebut menjadi kepunyaan pemilik dan menjadi bagian dari hartanya. Pemilik dapat menggauli dan bersenggama dengannya. Secara lahir ayat yang disebutkan menyokong dengan baik hal ini.
Kedua: Pria lain selain pemilik dapat mengikat tali pernikahan dengan budak wanita tersebut dengan izin dan restu dari pemilik.
Ketiga: Pemilik menghalalkan budak wanitanya kepada orang lain; artinya ia membolehkan seseorang untuk menggauli budak wanitanya, dan dalam hal ini orang yang telah dihalalkan baginya, dapat berhubungan badan dengan budak wanita tersebut.[2]
Cara kedua dan ketiga merupakan keniscayaan cara pertama; artinya bilamana budak wanita dimiliki oleh seorang pemilik, ia memiliki hak untuk dapat berhubungan badan dengannya dan menyerahkan hak ini kepada orang lain (apakah itu izin dalam pernikahan atau penghalalan) berada dalam skop kepemilikan yang ditegaskan dalam al-Qur'an.
Allamah Hilli dalam menjawab pertanyaan bahwa apakah hubungan badan dengan budak wanita dibolehkan bersamaan dengan penghalalan pemilik atau tidak?" Allamah Hilli berkata, "Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pertama, dibolehkan berhubungan badan dengan budak wanita dengan lafaz "boleh" dan "halal" yang dilakukan oleh pemilik untuk orang lain. Pendapat ini diterima oleh mayoritas ulama Syiah.[3]
Pendapat kedua: Disandarkan pada sebagian kecil ulama Syiah dan pada ulama Sunni bahwa adanya penghalalan dari pemilik tidak serta merta melahirkan kebolehan berhubungan badan dengan budak wanita.
Allamah Hilli menyodorkan beberapa dalil untuk menetapkan klaim ini. Ia berkata, "Dengan memperhatikan pada isyarat ayat, "milk yamin" dapat dikatakan bahwa sebagaimana "milk yamin" dapat direalisasikan pada a'yân (budak laki-laki [abd] dan budak perempuan [kaniz]) maka hal itu juga berlaku pada pemanfaat-pemanfaatan lainnya; artinya apabila menjadi pemilik, maka benda menjadi kepunyaan pemilik, manfaat-manfaat harta tersebut juga dipunyai oleh pemilik dan ia dapat menggunakan harta tersebut semaunya. Dalil ini bukan bersandar pada riwayat-riwayat Ahlulbait As yang memandang boleh menghalalkan budak wanita (kepada orang lain).
Karena itu, masalah ini bahwa apakah mungkin, dengan penghalalan dari pemilik, seorang budak wanita dapat berhubungan badan dengan seorang pria selain pemilik telah menjadi obyek perdebatan.
Kedua: Sisi kedua masalah ini kebanyakan bertautan dengan kesamaran (syubha) yang mengemuka dalam pertanyaan ini. Syubha tersebut adalah apakah pria Muslim dapat meminjamkan istrinya untuk digauli oleh saudaranya sesama Muslim? Tentu untuk menjawab pertanyaan ini kita harus menyebutkan sisi pertama masalah dan riwayat-riwayat yang bertalian dengannya.
Beberapa riwayat yang disebutkan dalam al-Istibshâr, karya Syaikh Thusi telah jelas.[4] Pertama adalah berhubungan dengan cara pernikahan para budak dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan istri merdeka. Kedua: Di antara hal yang pasti dalam Islam bahkan dalam bidang kemanusiaan wanita yang telah bersuami (terlepas apakah wanita merdeka atau budak wanita) tidak dapat berhubungan badan dengan orangl lain selama ia masih berstatus istri dan bersuamikan orang lain.
Karena itu, tidak satu pun riwayat dalam Islam, baik Syiah atau Sunni, yang dapat dijumpai yang dapat dijadikan sebagai dalil atas hubungan badan ini. Apa yang telah disinggung dalam beberapa riwayat tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan pertanyaan yang diajukan.
Kita tahu bahwa pada masa-masa awal kedatangan Islam terdapat budak-budak wanita yang dari sisi sosial dan finansial, tidak memiliki kemampuan untuk mengatur hidupnya dan boleh jadi sebagian di antara mereka bukanlah orang-orang Muslim, orang-orang ini berada dalam tanggungan orang-orang memikul tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus mereka. Orang-orang yang memikul tanggung jawab ini boleh jadi pria atau wanita. Apabila pengurusan mereka berada di bawah seorang pria, sesuai dengan hukum-hukum yang ada, ia dapat memilih seorang budak wanita untuk dijadikan sebagai istrinya atau hubungan badan dengan budak wanita ini diserahkan kepada orang lain yang dalam hal ini ia tidak memiliki hak untuk bersenggama dengan budak wanita tersebut.
Anggaplah, pemilik budak wanita ingin menyerahkan budaknya kepada orang lain supaya orang tersebtu dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan seksualnya melalui budak wanita tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa bentuk. Apakah pemilik budak menyerahkannya kepada pria tersebut yang dalam hal ini pria tersebut telah menjadi pemilik budak wanita itu dan dapat berhubungan badan dengannya. Ataukah ia tetap menjadikan budak wanita tersebut sebagai kepunyaannya namun menikahkannya dengna pria tersebut. Apabila proses akad telah berlangsung; ia memiliki hukum-hukum tersendiri dan akan menimbulkan keterbatasan-keterbatasan bagi budak wanita tersebut dalam melayani kebutuhan-kebutuhan tuannya. Bentuk lainnya, pemilik, tetap memiliki budak tersebut, antara pria dan budak tersebut tidak terjalin akad pernikahan, namun pemilik hanya membolehkan dan menghalalkan pria itu berhubungan badan dengan budaknya dan sangat jelas bahwa pemilik tidak (lagi) memiliki hak untuk berhubungan badan dengan budak wanita tersebut.
Riwayat-riwayat yang menyatakan, "Pemilik (tuan) dapat mengahalalkan budak wanitanya kepada saudaranya" seluruhnya dalam konteks ini bahwa pemilik, hubungan-hubungan badan dengan budak wanitanya, disebabkan oleh kemasalahatan tertentu misalnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan seksual dua belah pihak, menghalalkannya untuk saudara Muslimnya. Apakah dengan penghalalan pemilik, seseorang dapat bersenggama dengan budak tersebut atau hanya dapat dilakukan melalui proses akad nikah dengan budak tersebut? Riwayat-riwayat yang menyatakan, dalam masalah budak wanita, sebatas yang dihalalkan oleh pemilik, telah mencukupi.
Karena itu; seluruh riwayat dalam masalah ini terkait dengan penghalalan (tahlil) budak wanita dan sangat jelas bahwa tiada seorang pun pria yang dapat menyerahkan istrinya atau budaknya yang telah dijadikan sebagai istri kepada orang lain, atau pada masa seseorang selain pemilik sesuai dengan izin pemilik dapat bersenggama dengan budak wanita tersebut, pemilik juga dapat menggauli budak wanita tersebut.
Akhir kata kami ingatkan bahwa apa yang disebutkan sehubungan dengan penghalalan budak wanita oleh pemilik bagi saudaranya seiman dalam kitab-kitab hadis Syiah, tidak terbatas pada kitab-kitab ini saja dan kitab-kitab hadis Sunni juga meriwayatkan hal yang serupa. Sebagai contoh, Ibnu Abi Syaibah yang merupakan ustadz bagi Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah, kesemuanya menukil hadis darinya dan ulama besar Sunni lainnya menyebutkan riwayat-riwayat seperti ini dalam kitab al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah." Namun sebagiamana riwayat-riwayat yang berseberangan dengan makna ini disebutkan dalam kitab al-Istibshâr, Ibnu Abi Syaibah menyebutan riwayat-riwayat yang berseberangan dengan penghalalan namun ia juga menyinggung riwayat tentang kebolehan penghalalan. Di antaranya dijelaskan melalui jalur Atha dan dalam nukilan lain dari Syu'ba bahwa dengan adanya penghalalan budak wanita, maka ia boleh digauli.[5] [iQuest]
[1]. Hasan bin Yusuf Hilli, Tadzkirat al-Fuqâhah, Cetakan Klasik, hal. 643, Muassasah Alu al-Bait As, Qum, Tanpa Tahun.
[2]. Silahkan lihat, Muhammad bin Hasan Thusi, al-Mabsûth fi Fiqh al-Imâmiyah, jil. 4, hal. 246, al-Maktabat al-Murtadhawiyah, Teheran, 1387 H. Syaikh Thusi berkata, "
و أما تحلیل الإنسان جاریته لغیره من غیر عقد مدة فهو جائز عند أکثر أصحابنا. و من أجازه اختلفوا:فمنهم من قال هو عقد، و التحلیل عبارة عنه، و منهم من قال هو تملیک منفعة مع بقاء الأصل.
[3]. Hasan Yusuf Hilli, Ajwiba al-Masâil al-Mihnâiyyah, hal. 31, Cap Khayyam, Qum, 1401 H.
[4]. Muhammad bin Hasan Thusi, al-Istibshâr fimakhtalaf min al-Akhbâr, jil. 3, hal. 136, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1390 H.
[5]. Abu Bakar Abdillah bin Muhammad, Abi Syaibah Kufi, al-Mushannaf fi al-Ahâdits wa al-Atsar, Hadis 17298 dan 17299, Software Maktabat al-Syamilah.