Berdasarkan telaah jurisprudensil (fikih) dan historis, “diat” merupakan sebuah masalah ekonomis yang disyariatkan dengan maksud untuk menebus kerugian yang diderita oleh korban. Dari sisi lain, masyarakat ideal yang ingin diwujudkan Islam meletakkan inti kegiatan-kegiatan perekonomian di pundak pria. Artinya dengan satu pandangan universal terhadap tugas-tugas perekonomian pria, kita jumpai bahwa pria memikul tugas-tugas yang tidak dipikul wanita. Sementara tugas paling penting seorang wanita – yang bukan hanya menjadi tugasnya – adalah memenej dan mengelola institusi utama sebuah masyarakat, yaitu keluarga. Tugas paling penting seorang pria – yang bukan hanya menjadi tugasnya – menyediakan dan menata urusan perekonomian dan biaya hidup (living cost) keluarga.
Memperhatikan dan meneliti bidang ini dengan mudah akan menjawab kuriositas kita bahwa Islam harus memperkuat urusan yang memiliki efek-efek perekonomian bagi pria. Dan dari bidang tersebut adalah pembahasan diat. Agama Islam adalah agama yang memperhatikan peran produktif pria dalam urusan perekonomian keluarga dan juga terhadap poin bahwa diat bertautan dengan badan manusia. Apabila badan dalam masalah perekonomian semakin kuat maka diatnya akan semakin besar. Dan karena kaum pria dalam masalah perekonomian, lebih banyak memberikan kontribusi daripada kaum wanita maka seyogyanya diat kaum pria lebih besar. Dan hal ini tidak bermakna bahwa dalam Islam kedudukan dan kemuliaan pria lebih besar daripada wanita. Lantaran apabila diat meniscayakan bernilainya manusia maka diat seorang ilmuan dan cendikiawan atau pemimpin agama atau politik tidak boleh sama dengan diat seorang awam atau pekerja biasa.
Poin lainnya, peran keamanan dan sekuritas yang disediakan oleh seorang pria dalam keluarga. Sangat jelas bahwa pada umumnya prialah yang menyediakan keamanan keluarga dan menjaga batasan eksklusif keluarga dari pelanggaran. Karena itu adalah wajar apabila kita menilai bahwa kerugian yang diderita keluarga apabila tiada pria di dalamnya lebih banyak daripada kerugian yang diderita dari ketiadaan wanita.
Poin yang lebih penting yang membuat kita harus memperhatikan topik ini bahwa hukum-hukum dan aturan-aturan yang senantiasa ditunjukkan oleh sebuah agama atau ajaran adalah berdasarkan pada pelbagai fondasi dan pandangan-pandangan yang menjadi obyek perhatian sebuah maktab dan dengan memperhatikan sekumpulan pandangan yang ditunjukkan secara khusus pada obyek yang dimaksud.
Terkait masalah diat, Islam juga dengan memperhatikan sekumpulan tugas dan kekuasaan pria dan wanita dan dengan menyimak semangat universal aturan-aturan yang berkuasa pada sistem keluarga, Islam menetapkan hukum sedemikian dan hal ini tidak dapat dipandang sebagai isykalan atau kritakan terhadapnya.
Seluruh hukum Islam berpijak di atas paradigma masalih (kemaslahatan) dan mafasid (kemudaratan) khusus. Pada setiap hukum terdapat hikmah dan dalam setiap penetapan hukum tertimbun kemaslahatan. Apabila dalam Islam terdapat larangan terhadap sesuatu hal itu dikarenakan tersimpan kemudaratan di dalamnya. Dan apabila Islam memerintahkan kepada sesuatu maka hal itu disebabkan terpendam kemaslahatan pada perbuatan tersebut.
Kendati untuk memahami seluruh hikmah, kemaslahatan dan kemudaratan yang terdapat pada hukum-hukum mustahil bagi kita, namun dengan bersandar pada akal sehat dan realitas-realitas luaran demikian juga pelbagai penjelasan para maksum As maka boleh jadi sebagian dari hal itu dapat kita pahami. Terkait dengan masalah diat wanita dan seperduanya diat ini ketika dibandingkan dengan diat pria tentu saja memiliki banyak hikmah dimana sebagian dari hikmah tersebut akan kita sebutkan di sini:
Pertama, Apabila Islam hanya merupakan sebuah agama material yang melulu mengamati urusan finansial, perekonomian dan jumlah diat wanita seperdua diat pria, maka isykalan ini mengena ihwal mengapa nilai wanita lebih kurang dari nilai pria? Dan mengapa nilai pria seperdua nilai wanita?
Sementara dalam Islam, nilai seluruh manusia adalah terletak pada ruh, jiwa dan kesempurnaan maknawinya. Dan apa yang memiliki signifikan dalam Islam dan standar nilai adalah takwa. Manusia dapat menjadi insan kamil sebagaimana Musa Kalimullah, demikian juga dapat menjadi Maryam yang memiliki hubungan dengan Tuhan. Pria dan wanita dengan melintasi jalan-jalan kesempurnaan dan kebahagiaan serta mengakses makam-makam maknawi adalah sederajat dan sebarisan serta tidak terdapat perbedaan di antara keduanya. Yang penting adalah gairah dan semangat keduanya!
Namun masalah diat merupakan sebuah permasalahan ekonomi. Diat berkaitan dengan tubuh seluruh manusia atas alasan ini tidak terdapat perbedaan diat presiden dalam pemerintahan Islam dan seorang pekerja biasa.[1]
Kedua, Dalam sebuah pandangan universal dapat dikatakan bahwa seluruh manusia baik pria ataupun wanita memiliki tiga dimensi:
1. Dimensi Ilahiah dan insaniah; Dalam dimensi ini wanita dan pria sederajat. Jalan untuk meraih kesempurnaan insaniah dan Ilahiah hingga tak terbatas terbuka bagi keduanya.
Dalam surah al-Nahl (16) ayat 97 disebutkan, "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya (tanpa ragu) akan Kami berikan kepadanya kehidupan (di dunia) yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan (di akhirat) kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." Pada surah al-Ahzab (33) ayat 35 juga menengarai masalah ini, "Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar."
2. Dimensi keilmuan; Dari sudut pandang keilmuan tidak terdapat perbedaan antara wanita dan pria. Islam tidak meyakini perbedaan antara wanita dan pria dalam menuntut ilmu. Dalam banyak riwayat disebutkan, "Menuntut ilmu adalah wajib hukumnya bagi setiap Muslim dan Muslimah."[2] Ayat-ayat al-Qur'an yang menyinggung masalah ihwal tiadanya perbedaan antara wanita dan pria dalam bidang keilmuan, pengetahuan dan dorongan untuk mempelajarinya, hingga mencapai empat puluh ayat al-Qur'an.
3. Dimensi perekonomian; Wanita dan pria dalam Islam masing-masing berbeda dari sudut pandang tugas-tugas perekonomian yang diemban. Tugas-tugas ini diberikan berdasarkan pada kemampuan dan kekuatan fisikal dan mental wanita dan pria. Wanita secara asasi lebih lemah dari sudut pandang setoran ekonomi. Bahkan dewasa ini dan pada masyarakat-masyarakat yang tidak memandang perbedaan antara wanita dan pria, setoran ekonomi wanita tidak sama dengan setoran pria.
Pada realitasnya bahwa wanita pada akhirnya akan melahirkan anak yang meniscayakan ia hamil dan setelah menjalani proses persalinan ia harus memberikan ASI dan menjaga anaknya. Masa-masa kehamilan dan menyusui merupakan masa yang banyak menyita waktu dan tenaga wanita. Meski pekerjaan ini, sendirinya adalah pekerjaan besar. Namun bagaimanapun tidak tergolong sebagai pekerjaan ekonomi. Dan sekali-kali tidak memberikan setoran dan kontribusi ekonomi.
Di samping itu, struktur fisikal badan wanita dan pria sangat berbeda. Wanita memiliki stuktur badan yang lembut dan sangat rawan. Sementara struktur fisik pria kuat dan kasar serta cocok untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan keras. Atas alasan ini, kebanyakan pekerjaan sosial yang memerlukan kekuatan dan kemampuan para pria. Diberikan kepada para pria. Dan jelas bahwa ketiadaan pria akan menyebabkan kerugian besar yang diderita oleh sebuah keluarga. Karena itu, diat akibat kehilangan seorang pria harus diserahkan lebih besar.[3]
Ketiga, kekosongan yang bersumber dari ketiadaan seorang pria dalam sebuah keluarga adalah lebih besar dirasakan ketimbang kekosongan akibat tiadanya seorang wanita. Berdasarkan kajian fikih dan sejarah,[4] diat dimaksudkan untuk menebus pelbagai kerugian yang harus dibayar oleh seorang penjahat kepada korban atau keluarganya. Dan masyarakat ideal yang dicita-citakan Islam meletakkan inti kegiatan-kegiatan perekonomian di pundak pria. Dan pekerjaan terpenting wanita adalah mengatur dan mengelolah institusi keluarga. Adalah suatu hal yang wajar perbuatan yang dilakukan oleh pria dari sudut pandang perekonomian lebih nyata ketimbang apa yang dilakukan oleh wanita. Karena itu ketiadaan seorang pria dari pentas sosial dan keluarga menyisakan kerugian yang lebih besar bagi keluarga dari sudut pandang ekonomi. Dengan demikian, diat harus diserahkan berdasarkan kondisinya.[5]
Di samping itu, nafkah anak-anak dipikul oleh pria bukan wanita. Karena itu, dengan ketiadaan dan kematian pria maka anak-anak yang wajib dinafkahi itu akan kehilangan ayah mereka sehingga harus dilakukan cara untuk memenuhi kekosongan ini. Dengan demikian, sesuai dengan kaidah, diat pria harus lebih besar dari diat wanita. Dan masalah ini tidak ada sangkut-pautnya dengan substansi pria dan wanita. Melainkan pada aksiden-aksiden luaran kematian mereka dan pengaruh-pengaruhnya pada keluarga.[6]
Dengan memperhatikan keseluruhan persoalan yang dijelaskan di atas dapat disimpulkan sedemikian bahwa masalah diat bukan adalah masalah peniliaian nilai wanita dan pria sehingga perbedaannya menjadi penyebab munculnya pelbagai kritikan dan isykalan. Dari satu sisi, tugas-tugas perekonomian pria pada keluarga juga sedemikian sehingga menjadi sebab bahwa perbedaan-perbedaan dalam masalah ini (diat) yang memiliki hubungan langsung dengan keluarga, dapat disaksikan dan hal ini merupakan suatu hal yang benar. Pria dari sisi fisikal dan kekuatan badan adalah lebih kuat daripada wanita. Pria dapat melaksanakan pekerjaan-pekerjaan lebih berat dan keberadaannya bagi keluarga adalah penyebab ketenangan dan kehangatan. Dari sisi lain, dengan tiadanya pria orang-orang yang berada dalam tanggungannya akan kehilangan pelindung dan pengasuh. Karena itu, adalah suatu hal yang wajar apabila jumlah diat yang diterimanya lebih besar dari diat yang diterima seorang wanita.[7]
Sebagai penutup kiranya ada baiknya menyebutkan satu poin dan jawaban atas dua keraguan sebagai berikut:
Pertama, seperduanya (1/2) diat wanita dibanding diat pria sepanjang tidak sampai sepertiga (1/3) kalau tidak demikian maka bilamana diat pria dan wanita tidak sampai sepertiga maka jumlahnya akan sama. Karena itu, apabila dalil seperduanya diat wanita adalah karena kekurangannya, maka diatnya akan senantiasa seperdua diat pria.
Kedua, pria sebagaimana diatnya lebih besar yang ia terima maka sebagai gantinya ia memikul selaksa tugas di antaranya yaitu menyerahkan diat pembunuhan dan kejahatan yang dilakukan oleh sanak familinya (sebagai sesepuh dan orang yang dituakan), sementara pihak wanita dibebaskan dalam hal ini.
Boleh jadi ada yang berkata bahwa pada masa dewasa ini, para wanita sebanding kesibukannya dengan pria dalam pelbagai aktifitas ekonomi demikian juga dalam menyiapkan biaya hidup (living cost). Maka tidak tersisa lagi alasan wanita harus menerima seperdua diat pada masa dewasa ini.
Dalam menjawab isykalan ini dapat dikatakan bahwa pertama, benar bahwa para wanita sama dengan pria melakukan pelbagai aktifitas ekonomi namun pada saat yang sama sekali-kali wanita tidak mampu menggantikan peran pria dalam memberikan keamanan bagi keluarga. Pada hakikatnya, para wanita dalam menyiapkan ketenangan dan keamanan bagi keluarga sekali-kali tidak akan dapat memainkan peran para pria. Kedua, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kebanyakan orang yang berpenghasilan tinggi yang tidak sejalan dengan kondisi fisik dan umum para wanita. Karena itu, hal itu terbatas hanya pada kaum pria. Dan suatu hal yang wajar apabila hal ini meninggikan setoran ekonomi kaum pria. Padahal apabila setoran ekonomi pria dan wanita benar-benar sama, mengapa pada pelbagai komunitas yang secara lahir mengklaim hak-hak wanita kebanyakan para menteri, wakil, dan aparatnya mayoritas terdiri dari kaum pria?
Isykalan yang lain yang mungkin dapat diajukan adalah bahwa apakah seperduanya diat wanita merupakan diskriminasi atasnya dan menguntungkan kaum pria?
Jawaban dari isyakalan ini adalah bahwa Islam adalah agama egaliterian. Dan genital status pria dan wanita dalam agama ini tidak memiliki keutamaan. Adapun terkait dengan seperduanya diat wanita karena tertimbun kemaslahatan di dalamnya. Sebagaimana hukum-hukum yang lain yang terdapat dalam Islam, demikian juga diat yang mengandung kemaslahatan yang ditetapkan untuk keuntungan kaum wanita. Misalnya bahwa apabila seorang Muslim menjadi murtad (murtad fitri) apabila ia pria, meski bertobat, sebagian fukaha memvonis mati orang seperti ini. Namun apabila ia adalah seorang wanita apabila ia bertobat maka ia akan dibebaskan. Dan kembali kepada kehidupannya yang normal. Atau hukum-hukuman pribadi yang dikenakan pada seorang mucikari, apabila ia adalah seorang pria di samping mendapat hukuman, maka ia akan diasingkan ke tempat lain, sementara wanita tidak diperlakukan demikian. Atau dalam sebab-sebab batalnya pernikahan, apabila seorang pria gila setelah akan nikah maka wanita memiliki hak untuk membatalkan pernikahan tersebut. Sementara apabila hal itu menimpa kaum wanita pria tidak memiliki hak untuk membatalkannya.[8] []
[1]. Abdullah Jawadi Amuli, Zan dar Âine Jalâl wa Jamâl, hal. 400-401
[2]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 67, hal. 68. Mustadrak al-Wasâil, jil. 17, hal. 249.
[3]. Makarim Syirazi, Durus-e Kharij-e Fiqh, Ruz Nâme Faidhiyyah, no. 17.
[4]. Syafi’i Surustani, Ibrahim, et al, Qânun Diyânat wa Muqatadhiyât-e Zamân
[5]. Syafi’i Surustani, Ibrahim et al, Tafâwut Zan wa Mard dar Diyeh wa Qishâsh, hal. 93.
[6]. Sayid Muhammad Khamenei, Huquq-e Zan, hal. 98.
[7]. ‘Abbasali Mahmudi, Barâbari Zan wa Mard dar Qishâsh, hal. 83. Muhammad Husain Fadhlullah, Zan dar Huquq-e Islâmi, terjemahan ‘Abdulahid Fiqhi Zadeh, hal. 24.
[8]. Diambil dari pendapat para fukaha kiwari, Risalah-risalah Taudhi al-Masâil Marja-marja Taqlid.