Untuk menjawab persoalan ini, ada baiknya jika kita menjawabnya dengan pendekatan filsafat, baik melalui pendekatan filsafat peripatetik, filsafat iluminasi dan filsafat hikmah. Demikian juga dengan pendekatan kalam lalu pendekatan irfan. Luasnya pembahasan ini yang dikemukakan oleh para ilmuan meliputi pembahasan seperti imkan (kontingen), tsubut (realitas), itsbat (penetapan, pemikiran) dan bagaimana mungkinnya terjadi ma’âd (eskatologi). Apakah dalam bentuk jasmani atau ruhani ataukah keduanya. Dengan memperhatikan hal ini dalam menjawab inti persoalan tersebut akan memberikan kepada kita beberapa hal berikut ini:
A. Konsep Ma’âd
B. Kemungkinan terjadinya ma’âd
C. Klaim dan karakterisasi
D. Pembuktian ma’âd
A. Pahaman-pahaman seperti:
1. Kembalinya kepada kediaman (wathan) asli.
2. Kematian setelah kehidupan dan kehidupan setelah kematian.
3. Terciptanya alam lain seperti dunia dan berkumpulnya seluruh manusia dialam tersebut.
4. Kembalinya jiwa kepada mabdâ’ (asal-mula).
5. Berpindahnya ruh dari alam syahadah (fisika) ke alam ghaib (metafisika).
6. Berkumpulnya jiwa-jiwa partikular dan jiwa universal.
7. Kiamat atau bangkitnya manusia dari kubur.
B. Pertama harus dibuktikan probablitas terjadi ma’âd setelah itu dibuktikan realitas ma’âd itu sendiri. Mungkinnya hal tersebut dapat dipersepsi melalui keberadaan dunia itu sendiri.
C. Sebagian besar filosof, urafa dan teolog meyakini keberadaan ma’âd jasmani dan ruhani, akan tetapi mereka berbeda dalam persoalan kembalinya jasmani. Dalam kata lain apakah setiap manusia akan dibangkitkan kelak dengan badan mereka di dunia ini, ataukah badan ukhrawi, atau badan aqli (rasional) atau badan barzakhi.
D. 1. Argumen-argumen rasional Qur’an mengenai ma’âd antara lain: Alam akhirat adalah keharusan dari kebertujuannya dunia yang berdasarkan kepada dan tegak di atas prinsip keadilan serta sampainya manusia kepada kesempurnaan. Sebagaimana Tuhan pertama kali menciptakan manusia dan membuat benih di bumi ini menjadi tumbuh tentunya Tuhan juga mampu mengadakan ma’âd (membangkitkan manusia di hari akhir).
2. Di antara argumen rasional al-Qur’an misalnya integralitas atau kesatuan setiap jiwa manusia, bahwa dengan perubahan karekteristik badan tidak mempengaruhi ma’âd itu sendiri. Kebaikan-kebaikan atau kesempurnaan-kesempurnaan rasional tidak akan didapatkan ketika jiwa bergantung kepada badan, namun dengan adanya ma’âd maka kesempurnaan-kesempurnaan seperti ini akan diraih. Matinya badan dikarenakan tendensi jiwa kepada alam lainnya dan hal ini bermakna kembalinya jiwa kepada tempat dan posisinya yang abadi. Keniscayaan penciptaan manusia adalah berpindahnya ia kepada sebuah alam yang lebih sempurna. Kembalinya jiwa kepada mabdâ (asal mula) adalah tuntutan kata “ma’âd“ itu sendiri. Kecendrungan jiwa terhadap mabdâ’ melebihi kecendrungan jiwa terhadap badan itu sendiri dan kelezatan tertinggi adalah menyaksikan realitas-realitas itu sendiri. Ma’âd merupakan locus manifestasi sebagian nama-nama Tuhan seperti; Mu’id (Yang Mengembalikan), Muhyi (Yang Menghidupkan), Hâsyir (Yang Menghimpun), Bâ’its (Yang Membangkitkan) dan sebagainya.
3. Argumen fitrah: Seluruh akar (ushul) dan cabang ( furu’ ) agama misalnya ma’âd merupakan perkara fitri. Kecendrungan manusia kepada keabadian bersifat fitrah dan kecendrungan ini akan mengaktual dengan adanya ma’âd. Tujuan manusia bukanlah kelezatan materi. Takut terhadap kematian dan keniscayaannya merupakan bukti akan fitrahnya kecendrungan manusia kepada keabadian.
Kami mencoba menjawab persoalan di atas secara terperinci baik melalui pendekatan filsafat (Peripatetik, Iluminatif, Hikmah Muta’aliyah) juga melewati pendekatan teologis dan irfan. Kami juga berusaha menyuguhkan literatur mereka tentunya dengan menukil perkataan mereka. Perlu kami ingatkan juga bahwa para filosof telah berusaha melakukan penelitian mengenai aliran peripatetik Ibnu Sina dalam persoalan ma’âd, khususnya pembuktian ma’âd mereka secara rasional akan tetapi para filosof belum menemukan pembuktian ma’âd yang dilakukan oleh Ibnu Sina secara rasional. Walaupun beliau (Ibnu Sina) sendiri meyakini bahwa satu-satunya jalan dalam membuktikan ma’âd hanya dengan melalui pendekatan syar’i dan meyakininya melalui berita yang dibawa oleh para Nabi, bahkan Ibnu Sina meyakini tentang tidak perlunya membuktikan ma’âd secara rasional. Toh, ia tetap mengomentari hal-hal lainnya yang berkaitan dengan hari akhirat. Kemudian kami juga hanya menukil secukupnya saja argumen para teolog dan kaum urafa.
Selama kita meyakini bahwa keberadaan manusia tersusun dari jiwa dan materi maka tentunya pembahasan mengenai kebagaimanaan kembalinya manusia ke alam lain akan dibahas juga dari dua sisi yaitu jasmani dan ruhani. Pada umumnya setiap pembahasan yang berkaitan dengan ma’âd dapat dibagi menjadi dua bagian penting; pertama, realitas dan keharusan ma’âd dan kedua, mengenai kebagaimanaan aktualisasinya apakah dalam bentuk jasmani ataukah dalam bentuk ruhani.
Para filosof biasanya tidak begitu memperhatikan persoalan pertama dan atau berkenaan dengan realitas ma’âd mereka lebih mementingkan sisi jasmaninya walaupun pada saat yang sama mereka meyakini keduanya (baik jasmani maupun ruhani). Hal ini dikarenakan mereka lebih menekankan kepada pembahasan jasmani. Oleh karena itu ada empat unsur penting dalam menjawab persoalan ma’âd tersebut:
A. Konsep ma’âd (baik secara leksikal maupun secara teknikal):
1. Kembali kepada kediaman (wathan) asli.[1]
2. Mati setelah hidup dan hidup setelah mati.[2]
3. Terciptanya alam lain seperti dunia dan berkumpulnya seluruh manusia.[3]
4. Kembalinya jiwa kepada mabdâ’ (asal).[4]
5. Berpindahnya ruh dari alam syahadah menuju alam ghaib.[5]
6. Berkumpulnya jiwa-jiwa partikular dan jiwa-jiwa universal.[6]
7. Qiamat adalah bangkitnya seluruh manusia dari kubur dialam akhirat, dan ketika itu Tuhan mengadili segala perbuatan manusia sedangkan malaikat datang secara bershaf-shaf.[7]
Salah satu kesimpulan yang bisa kita tarik pada persoalan ini adalah bahwa persoalan ma’âd adalah berpindahnya ke alam lain. Oleh karena itu pembahasan mengenai kematian, keabadian jiwa atau keabadian itu sendiri di luar dari pembahasan ini atau dalam kata lain termasuk pembahasan pendahuluan.
B. Probabilitas dan Terjadinya Ma’âd
Selama probabilitas sesuatu belum dibuktikan maka pembahasan mengenai hal tersebut tentulah sia-sia. Untuk membuktikan hal tersebut dapat dilalui dengan jalan “wujud mumatssil“ (keberadaan yang serupa) atau membutuhkan sesuatu yang lebih dalam menciptakan hal tersebut. Dalam menciptakan alam lain; Apakah serupa dengan penciptaan alam ini ataukah lebih mudah dari alam ini. Keberadaan dunia yang ada saat ini menunjukkan dari mungkinnya dunia itu sendiri, dan pada akhirnya memungkinkan pula ada sebuah alam yang serupa dengannya yaitu akhirat.[8] Dari sinilah kita bisa beranjak kepada pembahasan selanjutnya mengenai realitas alam akhirat atau ma’âd.
C. Beberapa wacana dan ulasan ihwal ma’âd dan kebagaimanaan realitasnya
Menurut Mulla Sadra sebagian besar filosof, urafa, ulama Syi’ah dan sebagian juga dari kaum teolog meyakini akan ma’âd jasmani dan ma’âd ruhani. Hal tersebut didasarkan bahwa jiwa yang bersifat non-materi akan kembali kepada badan.[9] Mulla Sadra sendiri menamakan teorinya “kembalinya badan itu sendiri (bi’ainihi) bersamaan dengan jiwanya “ dan Mulla Sadra meyakini bahwa teorinya sesuai dengan teks (Qur’an-Hadis) dan akal, dimana apabila ada yang menentang hal ini maka ia adalah kafir dan mengingkari teks dan nash-nash al-Qur’an.[10]
Mu’ad (pengulangan) dalam ma’âd akan menjelaskan bahwa badan manusia yang teridentifikasi telah wafat, dengan anggota badannya, dimana jika ada seseorang melihatnya maka ia akan berkata “orang itulah yang ada di dunia sebelumnya.”[11]
Berdasarkan pondasi pemikiran Mulla Sadra, manusia dalam ketunggalannya pada saat yang sama memiliki tiga tingkatan alam yaitu inderawi, khiyali (imajinasi) dan akal. Yang pertama adalah materi dan dunia, dengan gerak yang dia miliki maka manusia akan menjadi eksisten spiritual (nafsani) dan barzakhi, kemudian jika dia melanjutkan geraknya akan menjadi wujud akal dan ukhrawi. Ketiga badan tersebut merupakan tingkatan dari satu badan yang tentunya memiliki kualitas yang berbeda, persis seperti perubahan-perubahan aksiden yang terjadi pada badan materi sejak usia dini hingga di masa tua. Dengan demikian, badan ukhrawi setiap orang adalah badan duniawinya itu sendiri yang menyempurna.[12]
Namun menurut kaum teolog bentuk kembalinya materi adalah dengan berkumpulnya kembali unsur-unsur badan materinya yang tercerai-berai.[13] Karena unsur-unsur badan tersebut bersentuhan dengan jiwa tertentu maka unsur-unsur badan tersebut memiliki karekteristik tertentu pula. Oleh karena itu setiap badan mengatur dan memperbaiki bagian-bagian badannya sendiri yang dengannya dia mengenal Tuhan. Setelah tahapan ini badan kemudian berhubungan dengan ruh yang kemudian terciptalah manusia d dunia ini.[14]
Walaupun Ibn Sina meyakini akan ma’âd jasmani dan ruhani, namun Ibnu Sina berpandangan bahwa akal manusia tidak mampu membuktikan ma’âd jasmani, hal tersebut hanya bisa dibuktikan melalui nash-nash yang ada. Akal hanya mampu membuktikan ma’âd ruhani.[15]
Syaikh Isyraq menolak kebangkitan jasmani dalam artian dibangkitkannya kembali badan materi bersama dengan jiwa. Akan tetapi ia meyakini akan keberadaan badan barzakhi.[16] Hal ini dikarenakan jiwa yang sangat memiliki keterikatan yang besar terhadap asal mulanya (mabdâ’) dan dengan membebaskan dirinya dari alam materi maka dia akan kembali kepada alam cahaya.[17]
D. Pembuktian Ma’âd
1.Sebagian dalil-dalil rasional diadopsi dari al-Qur’an:
Tuhan adalah haq dan tentunya Dia tidak mungkin mengerjakan yang batil. Jika alam ini tidak memiliki tujuan tentunya hal itu bermakna batil. Oleh karena itu gerak alam ini pasti memiliki tujuan yaitu akan berakhir pada sebuah tempat keabadian dan ketenangan dimana alam tersebut kita sebut dengan alam kiamat.
Tuhan yang Maha Bijaksana tidak akan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hikmah dan keadilan, dan karena di alam dunia ini belum layak untuk diberikan pembalasan kepada mereka yang mukmin dan yang kafir, oleh karena itu diharuskan adanya suatu hari sebagai hari pembalasan bagi seluruh amal perbuatan mereka.
Rahmat Ilahi meniscayakan manusia untuk sampai kepada kesempurnaan. Oleh karena itu diharuskan ada kiamat sebagai balasan bagi perbuatan mereka dan mengaktualisasikan kesempurnaan mereka.[18]
Ketika Tuhan pertama kali menciptakan manusia dan badan manusia, tentunya Tuhan pun mampu menciptakan kembali manusia yang diciptakan pertama kali tersebut.
Perhatikanlah benih yang ada dalam tanah, ketika sebab-sebab eksternal melingkupinya seperti tanah dan air serta unsur-unsur lainnya secara logis kita akan mengatakan bahwa benih tersebut akan tumbuh ke atas. Tapi jika perhatikan pertumbuhan benih tersebut kita bisa membaginya menjadi dua bagian; tumbuh ke atas dan sisi lainnya akarnya menamcap ke bumi. Hal ini menunjukkan kekuasaan dan hikmah yang tak terhingga yang dimiliki oleh Tuhan termasuk persoalan ma’âd itu sendiri.[19]
2.Beberapa dalil rasional
Pandangan Mulla Sadra dan Hikmah Muta’aliyah
Dalam al-Asfar al-Arba’ah, Mabdâ’ wa Ma’âd serta al-Syawahid al-Rububiyah, Mulla Sadra menjelaskan prinsip-prinsip yang merupakan gagasan filsafatnya beliau. Dalam uraiannya ia menjelaskan persoalan ma’âd jasmani dan ruhani. Mulla Sadra meyakini bahwa walaupun karekteristik badan senantiasa berubah akan tetapi jiwa senantiasa tetap dan yang memberikan identitas bagi badan. Oleh karena itu keseluruhan badan dan jiwa duniawi akan dibangkitkan di alam akhirat.[20]
Wujud adalah kesempurnaan dan kesadaran terhadapnya adalah kesempurnaan yang lain. Semakin sempurna sebuah wujud maka kesempurnaan pun akan semakin melimpah. Oleh karena itu jika wujud potensi akal semakin sempurna maka kebahagiaan pun akan semakin melimpah. Kelezatan yang dihasilkan melalui pencerapan tersebut tidak dapat dideskripsikan, dikarenakan akal dari sisi pencerepan dan yang mencerap (mudrik) dan yang dicerap (mudrak) lebih kuat dari indrawi. Akan tetapi kesempunaan-kesempurnaan ini tidak akan terwujud jika jiwa masih bergantung pada badan, tapi ketika ia bebas dari pengaruh badan maka kesempurnaan- kesempurnaan tersebut akan terwujudkan.[21]
Ketika jiwa sampai pada sebuah derajat dimana ketergantungannya kepada badan semakin berkurang maka dirinya akan tertuju lebih banyak kepada alam lainnya. Jiwa akan memisah dengan badan melalui kematian. Keterpisahan ini bukan disebabkan oleh karena jiwa tidak mampu lagi menjaga badan. Akan tetapi dikarenakan jiwa lebih cendrung kepada alam lainnya. Sebab jika kita menganggap keterpisahan ini dikarenakan ketidakmampuan jiwa maka seharusnya diawal penciptaan jiwa, kecendrungan untuk memisah akan lebih besar.[22]
Manusia yang dalam penciptaannya penuh dengan ketelitian dan menakjubkan dijaga sepenuhnya oleh malaikat muqarrab selamat 40 hari, oleh karena itu secara akal sangat jauh jika Tuhan meridhai kehancurannya. Akan tetapi yang diinginkan Tuhan adalah dari kondisi sebelumnya memindahkannya kepada kondisi yang lebih baik.[23]
Kembalinya jiwa kepada mabdâ’ (asal mula) secara internal menimbulkan kata ma’âd itu sendiri. Karena kembali yaitu berpulangnya kita ke tempat asal kita datang.[24]
Menurut Syaikh Isyraq, kecendungan jiwa yang sangat besar terhadap mabdâ’ melebihi kecendrungannya terhadap badannya. Semakin non-materi dan abstrak sesuatu tersebut maka kecendrungan jiwa akan hal tersebut semakin besar pula. Jika badan berhasil didominasi oleh jiwa maka ketika dia meninggal badan pun akan kembali kepada asalnya. Tidak ada yang lebih lezat bagi jiwa kecuali mencerap kesempurnaan itu sendiri. Jika jiwa disibukkan dengan kelezatan badan maka jiwa tidak akan bisa mencerap kesempurnaan tersebut. Barulah setelah jiwa terpisah dengan badan maka seluruh realitas-realitas hakiki bisa disaksikan dan manifestasi-manifestasi akan melimpah pada dirinya.[25]
Pandangan teolog
Agama-agama samawi di hadapan hukum-hukum syariat dijanjikan ganjaran pahala dan dosa. Akan tetapi keadilan Ilahi tidak akan mewujud secara sempurna di dunia. Oleh karena itu harus ada alam lain yang akan mewujudkan seluruh kesempurnaan di dunia.[26]
Pandangan urafa
Tajalli Tuhan terhadap seluruh asma (nama-nama) dan sifatnya berasal dari derajat Ilahiah-Nya Tuhan. Pada setiap asma dan sifat terdapat kerajaan yang memerintah. Tempat bertajallinya asma seperti ; mu’id, muhyi, hasyir, adalah di alam akhirat sehingga seluruh sifat dan asma Tuhan bertajalli.[27]
3.Bebeapa dalil fitrah
Seluruh akar (ushul) dan cabang-cabang agama harus bersumberdari fitrah. Jika tidak maka antara hukum tasyri’i dan hukum takwini tidak terdapat keharmonisan.[28]
Tujuan hakiki manusia bukanlah kelezatan materi. Karena ketika kita sampai pada hal tersebut maka kelezatan tersebut tidak akan sirna, bahkan secara fitrah kita menyadari akan kesempurnaan tersebut. Dengan kita menyelami derajat penciptaan dunia maka kita akan menyadari akan akhirat, dimana potensi-potensi akan mengaktual dan akan kembali kepada mabdâ’.[29]
Kecendungan kepada keabadian adalah suatu hal yang fitri, jika tidak maka manusia tidak akan merasakan takut dalam menghadapi maut. Seluruh kecendrungan- kecendrungan fitri yang ada pada manusia untuk mengantarkan manusia kepada kesempurnaan dan tentunya hal tersebut memiliki hikmah, salah satu hikmahnya adalah terwujudnya alam lain.[30] Karena dunia tidak memiliki kelayakan bagi kita untuk menjalani kehidupan abadi.[31]
Kita bisa temukan sepanjang sejarah ihwal takutnya manusia terhadap kematian dan hal ini menunjukkan akan kefitrahan manusia terhadap keabadian.[]
Senarai daftar pustaka yang dapat dijadikan referensi:
1. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Âmuzesye Aqâ’id (Iman Semesta), Sazeman Tableghat Islami, jil. 3, hal 35-51 dan 59-67, Penetapan ma’âd menurut Akal dan Qur’an.
2. Ushul Aqaid (mabdâ’ dan ma’âd ), Idare-yye Kul Umur-e Tarbiyati, Tabiztan 1363 S, hal. 119 – 131, Itsbât-e Ma’âd az Râh-e ‘Aql wa Al-Qur’ân.
3. Allamah Thabataba’i, Ushul-e Falasafe wa Rawesy-e Realism, ulasan Syahid Muthahhari, Sadra, cetakan ke-3, jil. 5, hal. 211, Yek Dalil ‘Aqli bar Ma’âd.
4. Ja’far Subhani, Ilahiyyat, al-Juz’ al-Rabi’, hal. 167, Adillah Wujub al-Ma’âd wa Dharuratihi.
5. Zainul Abidin Qurbani, Be Sue Jahân-e Abâdi, Muassasah Mathbuat Thabataba’i, hal. 92 – 111, Itsbat-e Ma’âd.
6. Allamah Tabataba’i, Tafsir al-Mizân,
7. Amir Divani, Hayat-e Jawidan, hal. 271-275, Istidlâl-e Qur’ân bar ma’âd.
8. Raz-e Jawidanegi, DR. Abbas Yazdani, Muhdis, cetakan ke-1, hal 279, Burhan-e ‘Arsyi Mulla Sadra bar ma’âd Jasmâni.
9. Syahid Murtadha Muthahhari, Adl Ilahi, hal. 183 – 195, Bahts-e Margh.
10. Ali Allahurdikhani, Mabdâ’ wa Ma’âd ( azaliyyat wa abadiyyat ) Falsafi wa Hikmih, hal. 97-105, 112 dan 114.
11. Furugh al-Sadat Rahim Pur, Ma’âd az Didgâh-e Imâm Khomeini, cetakan pertama.
12. Zahra Abdurrazzaqi, Ma’âd az Didgah-e Allamah Sayid Abulhasan Rafi’i Qazwini, hal. 25 – 82, Istidlâlât-e wa Nazharât-e Mukhtalif darbare Ma’âd.
13. Sayyid Muhammad Husein Tehrani, Ma’âd Syinâsi, Intisyarat-e Allamah Thabataba’i, cetakan ke-7, jil. 1, hal. 81-83, Nazhariyye Ibnu Sina wa dan Mulla Sadra darbare Huduts-e Nafs Insani ke Isyarai be Bazgazte An ham Darad.
14. Muhamamad Syuja’i, Ma’âd ya Bazgast-e be Sue Khuda, Syarkate Sahami Intisyar, Paiz 62.
15. Nasir Makarim Syirazi, Ma’rifah al-ma’âd, Istidlalat-e Jalib-e Aqli wa Qur’ani bar Ma’âd.
16. Syahid Muthahari, Muqaddimah bar Jahân Bini Islâmi, Qum, Intisyarat-e Sadra, tanpa tahun, Maqala Zendegi Jawid ya Hayat-e Ukhrawi, hal. 508 hingga akhir.
[1]. Ma’âd Rabbâni, Muhammad Ridha Rabbani, Kayhan, cetakan pertama, hal.14.
[2]. Mabda’ wa Ma’âd falsafe wa hikmah, Ali Allahurdikhani, penerbit ; Astan-e Quds Razavi, cetakan ke-2, hal 97 .
[3]. Falsafe-ye Mabda’ wa Ma’âd, Muhammad Javad Muhgniyah, Amir, cetakan ke-1, hal 157.
[4]. Mabda’ wa Ma’âd, Mulla Shadra, Sayyid Jalaluddin Asytiyani, Tablight-e Islami, cetakan ke-2, hal 528.
[5]. Syua’e Andisye wa Syuhud dar Falsafe-ye Suhrawardi, Ghulam Husain Ibrahim Dinai, Hikmah, cetakan ke-2, hal 529.
[6]. Futuhât al-Makiyyah, Muhyiddin Ibn Arabi, penerbit ; beirut, hal 311
[7]. Ibid, hal 307
[8]. Falsafa Mabdâ’ wa Ma’âd, hal 156 - 158
[9]. Al-Mabdâ’ wa Al-Ma’âd, hal 488 - 489
[10]. Ibid, hal 490
[11]. Ibid
[12]. Hayât-e Jâwidâne, Amir Divani, Mu’awenate Asatid wa Durus Ma’arefe Islami, cetakan ke-1, hal 251.
[13]. Ibid, hal 242
[14]. Ma’âd Rabbâni, hal 156
[15]. Nejât, Ibn Sina, penerbit ; universitas Tehran, th 1364, hal 682
[16]. Zahra Abd Razaqi, Ma’âd az Didgah-e Allamah Rafi’i Qazwini, Thaha, cetakan ke-1, hal 63.
[17]. Ghulam Husain Ibrahim Dinai, Op Cit, hal. 519.
[18]. Yâd-e Ma’âd, A. Javadi Amuli, Farhangge Raja, cetakan ke-3, hal 108 – 109.
[19]. Al-Mabdâ’ wa Al-Ma’âd, hal 534.
[20]. Al-Asfar Al-Arba’ah, Sayyid Jalaluddin Asytiani, jil. 9, hal 185 – 197.
[21]. Al-Asfar Al-Arba’ah, jil. 9, hal 121 - 123
[22]. Al-Mabdâ’ wa Al-Ma’âd, hal 527
[23]. Ibid, hal 526 - 527
[24]. Ibid, hal 528
[25]. Tarjameh Hikmah al-Isyrâq, Sayyid Ja’far Sajjadi, Universitas Teheran, hal 368 - 370
[26]. Ma’âd az Didgâh-e Allamah Qazwini, hal. 45.
[27]. Ma’âd Rabbâni, p ; 127
[28]. Makarim Syirazi, Nasir, Ma’rifatul Ma’âd, cetakan ke-1, hal 25
[29]. Ja’far Subhani, Ilahiyât, cetakan ke-4 hal. 176 - 177
[30]. Ma’rifah Al-Ma’âd, hal. 26.
[31]. Ma’âd Rabbâni, hal. 129.