Apa yang pasti dari sudut pandang ilmu logika adalah bahwa mengamalkan pada pelbagai kemungkinan keselamatan dan kebahagiaan akan mengurangi dan menimalisir adanya kemungkinan kesalahan dan kesesatan. Kaidah ini tidak hanya digunakan dalam ilmu logika, namun juga diterapkan pada pelbagai pembahasan fikih dimana dalam ilmu fikih kaidah ini disebut sebagai "ashâlat al-ihtiyâth"; artinya tatkala kita berada dalam posisi keraguan untuk memilih dua perkara, kita memilih untuk berhati-hati dan sekiranya mungkin kita memilih keduanya atau selain dari keduanya yang lebih dekat kepada realitas. Seperti orang yang berada pada posisi ragu untuk memilih bahwa apakah shalat Jum'at itu wajib atau shalat Dhuhur (pada waktu Jum'at), namun untuk memperoleh kemantapan hati (itmi’nân) di antara kedua hal ini yang manakah yang diinginkan Tuhan, maka kita memilih mengerjakan keduanya.
Hal ini terjadi pada perkara-perkara yang dimungkinkan (muhtamalât) dan meragukan (mardud) tatkala tidak berada pada posisi berhadap-hadapan secara intermenis dan kontradiktif. Karena apabila keduanya kontradiktif maka untuk mengumpulkan keduanya atau mengerjakan keduanya (dalam contoh kasus shalat di atas) secara rasional mustahil dan merupakan suatu hal yang absurd. Seperti orang yang berkata bahwa sekarang ini malam dan pada saat yang sama ia berkata siang, atau berkata gelap pada saat yang sama ia berkata terang; karena realitas malam dan gelap adalah sesuatu yang berseberangan dengan realitas siang dan terang. Dan sejatinya malam dan gelap bermakna tiadanya siang dan terang. Dan jelas bahwa antara ada dan tiada merupakan sebuah perkara yang tidak dapat dihimpunkan pada satu tempat atau keadaan.
Dalam asumsi soal yang ditanyakan juga harus dikatakan bahwa kecintaan kepada Ali As bersamaan dengan kecintaan kepada para sahabat adalah suatu hal yang tidak bertentangan namun ekspresi rasa suka dan kecintaan kepada Ali As dan penentangnya meski dari golongan sahabat; secara sederetan dan sejajar pada saat yang sama bagaimana dapat diwujudkan? Apakah kecintaan kepada dua ide dan gagasan yang masing-masing bertolak belakang dapat diwujudkan?
Sesuai dengan kaidah-kaidah pasti ilmu logika, mengerjakan secara berketerusan segala sesuatu yang memiliki kemungkinan menyelamatkan dan menguntungkan; akan mengakibatkan terkesampingkannya atau terkuburnya kemungkinan kecelakaan dan kerugian. Misalnya seseorang yang tidak tahu bahwa pada waktu Dhuhur hari Jum'at, apakah yang wajib baginya mengerjakan shalat Jum'at atau shalat Dhuhur? Karena itu, untuk memahami hukum hakiki Allah Swt dan mengerjakan apa yang menjadi penyebab keselamatan; maka ia mengerjakan keduanya. Artinya di samping ia mengerjakan shalat Jum'at ia juga menunaikan shalat Dhuhur.
Perbuatan logis ini adalah apa yang disebut dalam kaidah fikih sebagai "ashalat al-Ihtiyath"[1] dan terkuburkannya adanya kemungkinan kerugian atau kecelakaan. Sebuah kerugian yang mungkin timbul karena tidak mengamalkan apa yang menjadi tuntutan hukum hakiki Tuhan.
Hal ini diterapkan tatkala dua perkara yang menjadi obyek perhatian tidak bertentangan secara esensial, keduanya tidak berseberangan baik secara umum (dhed 'âm) atau pun secara khusus (dhed khâs).
Namun apabila demikian adanya; dan terdapat pertentangan dan kontradiksi secara hakiki di antara dua perkara; maka menghimpun keduanya merupakan suatu perkara mustahil dan absurd. Karena asas keberadaan salah satu dari dua hal ini adalah menafikan wujud yang lainnya. Misalnya seseorang berkata, ia mengetahui bahwa jihad itu adalah sesuatu yang diwajibkan. Namun ia berada pada satu kondisi, karena pengaruh propaganda palsu politik, ia tidak mengetahui pihak yang benar. Orang seperti ini tidak dapat sampai pada level yakin untuk mengamalkan hukum pasti jihad, setengah hari ia berperang untuk pihak "A" dan bertempur menghabisi pihak "B" dan setengah hari lainnya ia bertempur membela pihak "B" dan menyerang pihak "A".
Karena kendati ia, sesuai dengan asumsi di atas, yakin bahwa ia menghunus pedang di pihak yang benar; akan tetapi penentanganya terhadap pihak yang benar dan keikutsertaannya pada pihak yang batil juga merupakan keyakinannya. Jelas keduanya bertentangan satu dengan yang lain.
Dalam menjawab pertanyaan yang diajukan di atas harus dikatakan bahwa apa gambaran Anda terhadap fikih Maliki dan fikih Alawi (Ja'fari)? Apabila gambaran Anda terhadap fikih Alawi (Ja'fari) sebagaimana yang diyakini Imam Malik bin Anas maka jawabannya akan berbeda dan apabila tidak demikian maka tentu jawabannya juga akan berbeda lagi.
Imam Malik sebagaimana orang-orang Syiah menerima Imam Ali As sebagai Amirul Mukminin dan Imam kaum Muslimin. Dalam sebuah syair yang disandarkan kepadanya disebutkan"
"Âli 'Ali Syi'atu al-Rahman"[2] (Keluarga Ali adalah Syiah Allah)
Ia juga dalam tafsir ayat "wa man Yuthi'I Allah…" berkata:
"Syuhada yaitu Ali (bin Abi Thalib) Ja'far (Thayyar) Hamzah (paman Nabi Saw) Hasan dan Husain Alahimussalam, karena mereka adalah para pemimpin syuhada."[3]
Ekspresi kecintaan Malik bin Anas terhadap Ali As tidak terbatas pada Imam Ali semata namun juga kepada keluarga Ali As dan memandang mereka sebagai orang-orang pilihan Tuhan. Karena itu terkait dengan Imam Shadiq As, Malik bin Anas berkata: "Mataku tidak pernah melihat orang yang lebih utama dari Ja'far bin Muhammad As dalam zuhud, ibadah dan ketakawaan."[4]
Imam Malik bin Anas menambahkan bahwa dia memuji Imam Ali As; membenci orang-orang yang membencinya dan mencintai orang-orang yang mencintainya. Ia mencela orang-orang yang melakukan ijtihad tidak sejalan dan berkebalikan dengan metode fikihnya. Karena itu, terkait dengan Abu Hanifah berkata:
"Tiada orang yang dilahirkan dalam Islam yang banyak merugikan kaum Muslimin melebihi (apa yang dilakukan) Abu Hanifah."[5]
Dengan demikian, dengan memperhatikan ucapan-ucapan Imam Malik, maka harus dikatakan bahwa fikih Maliki menentang metode dan asas yang menentang orang-orang yang memusuhi Ali As. Dari sisi lain, pada awal pembahasan kami sebutkan bahwa dengan menyatukan segala sesuatu yang sejalan dan sepadan akan mengurangi resiko kesalahan dan memperbesar kemungkinan untuk sampai kepada hakikat.
Akan tetapi berkenaan dengan perkara kontradiktif secara logis, sejatinya menyatukan dua hal (kontardiktif ini) adalah suatu hal yang mustahil, apatah lagi menjadi penyebab petunjuk dan pemandu manusia.
Untuk menjelaskan lebih jeluk permasalahan kontradiksi ini, kiranya di sini perlu kami menyebutkan sebuah contoh. Kita akui dan telah menerima bahwa dua hal ini merupakan dua hal yang kontradiktif. Misalnya seseorang berkata bahwa sekarang adalah malam juga pada saat yang sama ia berkata bahwa sekarang adalah siang. Maka hasil dari dua ucapan yang kontradiktif ini adalah bukan siang juga bukan malam. Karena realitas siang adalah sebuah realitas yang menafikan realitas malam. Atau dengan kata lain, malam adalah tiadanya siang.
Yang menjadi obyek pertanyaan termasuk dari jenis yang sama. Artinya kendati kecintaan kepada Ali As dan kepada para sahabat tidak berseberangan satu dengan yang lain[6] namun ekspresi rasa suka dan kecintaan hati kepada Ali As dan para penentangnya meski para sahabat, pada saat yang sama; sederetan dan sejajar bagaimana dapat dihasilkan? Apakah kecintaan kepada dua dan gagasan yang saling bertolak belakang dapat disatukan? Hal ini merupakan sebuah kenyataan yang diulang-ulang dan ditegaskan oleh Imam Ali As; sesuatu yang dicari-cari oleh para penentangnya.[]
Sumber telaah dan rujukan:
1. Raudah al-Wâ'izhin, Muhammad bin Fatal al-Naisaburi (wafat 508 H), Mansyurat al-Radhi,
2. Manâqib Âli Abi Thalib, Ibnu Syahr Asyub, Capkhane Haidariyah, Najaf, 1956 M.
3. Târikh Baghda aw Madinat al-Islâm, Abi Bakar Ahmad bin al-Khatib al-Baghdadi, Tahqiq Mustafa 'Abdulqadir, Nasyr Muhammad Baidhun, cetakan pertama, 1417 H.
4. Al-Mujiz fii Ushul al-Fiqh, Syaikh Ja'far Subhani, Nasyr-e Muassasah Imam Shadiq As, cetakan kedua, 1420 H.