Dalam masalah ini terdapat hadis-hadis buatan terkait dengan keutamaan-keutamaan Muawiyah. Sebagian peneliti hadis seperti Ibnu Hajar menyusun sebuah kitab dengan judul “Tathir al-Jinân wa al-Lisân” untuk menyebutkan keutamaan-keutamaan Muawiyah dan kelompok lainnya mendapat tuduhan tidak senonoh lantaran tidak mengutip keutamaan-keutamaan Muawiyah. Namun bubur yang telah menjadi matang ini sedemikian asamnya sehingga telah mengundang protes banyak orang bahkan oleh tukang masaknya sendiri. Hadis-hadis ini dinyatakan tertolak oleh kebanyakan ulama Ahlusunnah dan dikatakan bahwa tidak terdapat hadis sahih terkait dengan Muawiyah. Namun tetap ada sebagian dari orang ini menyampaikan pujian terhadap Muawiyah.
Sarkhishi sehubungan dengan Muawiyah berkata: “Sesungguhnya ia merupakan salah seorang sahabat besar (Allah Swt meridhai mereka), penulis wahyu dan Amirul Mukminin. Dan Rasulullah Saw telah mengabarkan kepadanya tentang kerajaan selepasnya. Rasulullah Saw bersabda kepadanya suatu hari, “Apabila engkau menguasai kerajaan maka perlakukanlah dengan baik.” Hanya saja gilirannya setelah usainya giliran Ali Ra dan setelah berlalu masa khilafah ia melakukan kesalahan dalam menggangu (pemerintahan) Ali Ra dan meninggalkan apa yang seharusnya ia kerjakan. Tidak dibenarkan berkata-berkata tentangnya lebih dari ini.”
Demikian juga Ibnu Taimiyyah berkata, “Dan Muawiyah tidak terdapat padanya keutamaan dalam kitab-kitab sahih namun ia telah bersama Rasulullah Saw pada perang Hunain, Thaif, Tabuk dan berhaji bersama Rasulullah Saw pada haji perpisahan dan menulis wahyu. Ia adalah orang yang dipercaya Rasulullah Saw dalam menulis wahyu sebagaimana beliau mempercayai yang lain dari kalangan sahabat.
Kita telah membahas masalah pemalsuan hadis yang dilakukan Mu’awiyah dengan menyodorkan sebagian jawaban. Namun terkait dengan jawaban yang telah dibeberkan harus dikatakan tidak diragukan bahwa sehubungan dengan keutamaan-keutamaan Muawiyah terdapat hadis-hadis yang telah direkayasa. Namun bubur yang telah menjadi matang ini sedemikian asamnya sehingga telah mengundang protes banyak orang bahkan oleh tukang masaknya sendiri.[1] Karena itu hadis-hadis ini dinyatakan tertolak oleh kebanyakan ulama Ahlusunnah.
Kami pertama-tama akan menyinggung upaya sebagian orang dalam membuat hadis-hadis terkait dengan keutamaan-keutamaan Muawiyah dan Yazid atau menulis kitab dan kemudian kita akan melihat persoalan ini bahwa apakah kita memiliki hadis sahih terkait dengan Muawiyah?
Pembahasan pertama: Sebagian ulama Ahlusunnah melakukan rekayasa dan pembuatan hadis terkait dengan keutamaan-keutamaan Muawiyah dan Yazid. Sebagai contoh, berikut ini adalah laporan global dari pembuatan hadis ini:
Persahabatan dengan Muawiyah dengan sebagian orang telah membuat mereka membuat hadis-hadis palsu terkait dengan keutamaan-keutamaannya. Muhammad bin Abdul Wahid Abu ‘Amr budak Tsa’lab, menulis sebuah risalah tentang keutamaan-keutamaan orang ini yang banyak ternoda dengan pelbagai kejahatan dan sebagaimana Ibnu Hajar dalam Lisân al-Mizân jil. 1, hal. 374, di bawah nama Ishaq bin Muhammad Susi menulis, “Orang ini menyebutkan hal-hal buruk[2] terkait dengan keutamaan-keutamaan Muawiyah dimana Ubaidillah Saqthi juga menukil darinya ia atau gurunya yang mengungkapkan ucapan ini.”[3]
Ibnu Hajar Makki menyusun risalah “Tathir al-Jinân wa al-Lisân” yang menyebutkan keutamaan-keutamaan Muawiyah.[4] Hafizh Abdul Maghits Hanbali menulis sebuah kitab berisikan hadis-hadis rekayasa terkait dengan keutamaan-keutamaan Yazid bin Muawiyah!![5] Abu Umar al-Zahid menyusun sebuah kitab bermuatan hadis-hadis buatan ihwal keutamaan-keutamaaan Muawiyah bin Abi Sufyan. Burdani memalsukan hadis terkait dengan keutamaan Muawiyah.[6]
Apabila Anda menelaah kitab al-Syariat li al-Ajari, jil. 5, bab Fadhail Muawiyah bin Abi Sufyan maka Anda akan jumpai informasi yang lebih jeluk terkait dengan hadis-hadis ini.
Ibnu Taimiyah dari sisi lain, dalam menyanggah pernyataan Allamah Hilli yang bersandar pada hadis thair, berkata, “Tiada seorang pun sahabat yang menukil hadis thair ini dan tiada seorang pun ulama hadis yang mensahihkan hadis tersebut. Benar bahwa hadis-hadis ini yang diriwayatkan oleh sebagian orang sebagaimana terkait dengan keutamaan-keutamaan selain Ali bahkan pada keutamaan-keutamaan Muawiyah juga banyak hadis diriwayatkan dan kitab-kitab banyak ditulis. Namun para ahli yang mengetahui ilmu hadis tidak mensahihkan riwayat tentang Ali As juga riwayat-riwayat terkait dengan kedudukan Muawiyah.”[7] Dari sisi lain, Hakim Naisaburi, karena tidak memenuhi permintaan mereka dalam menukil riwayat-riwayat tentang keutamaan Muawiyah, mendapat tuduhan sebagai orang yang punya kecendrungan Syiah.[8] Sementara telah dikatakan sebelumnya bahwa para ahli ilmu tidak akan mensahihkan hadis ihwal keutamaan Muawiyah.[9] Kontradiksi ini bagaimana dapat diselesaikan?[10]
Jenis perlakuan ini tidak terkhusus bagi Hakim Naisyaburi melainkan juga menimpa Nasai penyusun Sunan sebagaimana yang dijelaskan pada Wafayat al-A’yan, dituduh sebagai orang yang memiliki kecendrungan Syiah;[11] lantaran ia menulis kitab dengan judul Khasasih Amirul Mukminin As dan berkata, “Saya tidak menjumpai hadis yang berkaitan dengan keutamaan Muawiyah kecuali (hadis tentang) Tuhan tidak akan mengenyangkan perutnya.”[12]
Demikian juga, Allamah Sarkhasi dalam Mabsuth pada kitab al-Ikrah menyebutkan:
و ذکر عن مسروق، رحمه اللَّه، قال: بعث معاویة رضى اللَّه عنه بتماثیل من صفر تباع بأرض الهند فمرّ بها على مسروق، رحمه اللَّه، قال: و اللَّه لو أنّى أعلم أنّه یقتلنى لغرقتها و لکنّى أخاف أن یعذّبنى فیفتننى، و اللَّه لا أدرى أىّ الرّجلین معاویة: رجل قد زیّن له سوء عمله أو رجل قد یئس من الآخرة فهو یتمتّع فی الدّنیا؟!. و قیل هذه تماثیل کانت اصیبت فی الغنیمة فأمر معاویة رضى اللَّه عنه ببیعها بأرض الهند لیتّخذ بها الأسلحة و الکراع للغزاة ... و قد استعظم ذلک مسروق رحمه اللَّه ...، و مسروق من علماء التّابعین و کان یزاحم الصّحابة رضى اللَّه عنهم فی الفتوى ...، و لکن مع هذا قول معاویة رضى اللَّه عنه مقدّم على قوله، ... و إنّما قلنا هذا لأنّه لا یظنّ بمسروق رحمه اللَّه أنّه قال فی معاویة رضى اللَّه عنه ما قال عن اعتقاد و قد کان هو من کبار الصّحابة رضى اللَّه عنهم و کان کاتب الوحى و کان أمیر المؤمنینو قد أخبره رسول اللَّه صلّى اللَّه علیه و آله و سلّم بالملک بعده فقال له علیه السّلام یوما: إذا ملکت امرا متى فأحسن إلیهم. إلّا أنّ نوبته کانت بعد انتهاء نوبة على رضى اللَّه عنه و مضى مدّة الخلافة فکان معاویة مخطئا فی مزاحمة على رضى اللَّه عنه تارکا لما هو واجب علیه من الانقیاد له، لا یجوز أن یقال فیه أکثر من هذا[13]
Allamah Amini, penyusun kitab al-Ghadir dalam menolak keutamaan-keutamaan Muawiyah berkata, “Dalam hal ini kita tidak mengindahkan apa yang disampaikan Ibnu Katsir, juga tidak mendengarkan seruan sebagian orang-orang terdahulu dari daerah Pegunungan Syam, seruan yang menyatakan, “Barang siapa yang menaruh dendam kepada Muawiyah maka amukan api akan menyeretnya ke neraka dan tenggelam dalam bara api.” Juga tidak memperhatikan mimpi dan khayalan yang menjadi sandaran Ibnu Katsir yang berkata, “Salah seorang berkata, “Saya melihat Rasulullah Saw (dalam mimpi) dimana ketika itu Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan Muawiyah juga berada di hadapannya. Tiba-tiba seseorang datang. Umar berkata, “Wahai Rasulullah! Orang ini (menunjukkan orang itu) telah menghina kita. Nampaknya Rasulullah Saw mengancam orang itu dan orang itu berkata, “Wahai Rasulullah! Saya tidak memandangnya dengan pandangan hina, melainkan saya tengah memandang ini – yaitu Muawiyah. Rasulullah Saw bersabda, “Celakalah engkau! Memangnya ia bukan dari sahabat kami! Dan Rasulullah Saw tiga kali mengulangi ucapan ini. Kemudian Rasulullah Saw mengambil sebilah pisau dan menyerahkannya kepada Muawiyah lalu berkata, “Benamkan dalam dirinya! Muawiyah menancapkan pisau itu pada tubuhnya. Aku segera bangun dari tidurku dan segera kembali ke rumah. Tiba-tiba saya melihat pria itu yang telah dibunuh semalam dan telah mati dan orang itu adalah Rasyid al-Kindi.” Juga tidak menaruh perhatian terhadap keyakinan Sa’id bin Musyayyab yang “Barang siapa yang meninggal dan mencintai Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali dan mengakui bahwa sepuluh orang itu akan memasuki surga dan menyampaikan salam kepada Muawiyah maka wajib bagi Tuhan untuk tidak mengurusi hisabnya.”[14] Juga tidak memperhatikan mimpi-mimpi yang diriwayatkan bagi Umar bin Abdul Aziz dan di situ Muawiyah berkata, “Demi Tuhannya Ka’bah aku telah diampuni! Dan juga tidak mempedulikan ucapan Ahmad bin Hanbal yang “Apa urusan mereka dengan Muawiyah?” Kita memohon kesehatan dan keselamatan kepada Tuhan.”[15] Namun untuk mengetahui riwayat-riwayat dalam literatur-literatur utama Ahlsunnah yang menjelaskan keutamaan Muawiyah dan tanggapannya dengan menelaah kitab al-Ghadir fi al-Kitâb wa al-Sunnah wa al-Âdâb, jil. 11, hal. 92; terjemahan al-Ghadir fi al-Kitâb wa al-Sunnah wa al-Âdâb, jil. 21, hal. 119, telah memadai bagi Anda untuk memperoleh informasi dalam bidang ini. Misalnya, di antara hadis-hadis yang dibuat oleh Firdaus al-Akhbar tentang keutamaan-keutamaan Muawiyah adalah hadis berikut ini, “Ana madinat al-‘ilm wa Aliyyun Babuha wa halqatuha Muawiyah.”[16] Meski Sakhawi dan Ibnu Hajar Makki telah menegaskan cederanya hadis ini, namun Manawi dengan menutup mata atas hal tersebut, menurunkannya pada Kunuz al-Haqâiq.
Kiranya ada baiknya kita mengetahui poin ini bahwa Allamah Amini Ra, dalam kitab terjemahan al-Ghadir (jilid 10),[17] dalam menghadapi orang-orang yang melancarkan tuduhan terhadap Syiah telah banyak memalsukan hadis, dengan judul “Kund wa Kawi dar Hadits wa Cegunegi Ahadits Ma’julah” membahasnya dengan menarik dan menyeluruh.
Allamah Amini menghitung kurang lebih tujuh ratus orang periwayat Ahlusunnah yang merupakan para pendusta dan pembuat hadis dan hanya empat puluh tiga orang dari mereka telah meriwayatkan kurang-lebih lima ratus hadis palsu.[18] Di samping itu, mereka menukil kira-kira seratus hadis dusta melalui jalur umum yang di dalamnya tidak hanya disebutkan pujian atas khilafah dan keutamaan-keutamaan para khalifah, so called al-rasyidun namun juga kedudukan mulia Muawiyah, Yazid, Manshur Dawaniqi dan khalifah lainnya dari Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah.[19]
Pembahasan Kedua: Apakah Kita Memiliki Hadis Sahih tentang Keutamaan-keutamaan Muawiyah?
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Saya bertanya kepada ayahku ihwal Ali dan Muawiyah. Katanya, “Ketahuilah bahwa Ali sangat banyak memiliki musuh. Apa pun yang diinginkan oleh musuh-musuhnya untuk mencari tahu cela dan aib Ali mereka tidak berhasil. Karena itu mereka mengelilingi seseorang yang telah berperang dan angkat senjata melawannya kemudian orang itu diprovokasi untuk melakukan makar dan tipuan melawan Ali.”[20]
Hakim berkata, “Saya mendengar dari Abu al-Abbas Muhammad bin Ya’qub bin Yusuf yang berkata, “Saya mendengar dari ayahku bahwa ia berkata, “Saya mendengar dari Ishaq bin Ibrahim Hanzhali bahwa ia berkata, “Terkait dengan keutamaan Muawiyah tidak ada satu pun hadis yang sahih.”[21] Bukhari dalam Shahih-nya tidak dijumpai satu pun hadis yang menyebutkan keutamaan Muawiyah, terpaksa, tatkala berbicara tentang keutamaan sahabat, ia membuka sebuah bab mengenang Muawiyah[22] dan Ibnu Hajar Asqalani dalam Fath al-Bâri, 7:83 menulis, “Hal ini merupakan dalil bahwa terdapat keutamaan-keutamaan yang dinukil terkhusus untuk Muawiyah dan terdapat perbedaan di dalamnya, sama sekali tidak memiliki asas dan kebenaran. Dan terkait dengan keutamaan-keutamaan Muawiyah banyak hadis yang disebutkan yang tidak satu pun sanadnya yang benar[23] dan Ishaq bin Rahwiyah, Nisai dan yang lainnya juga berpandangan yang sama. Namun Muslim dan Ibnu Majah juga tidak menjumpai satu pun hadis yang berceritera tentang keutamaan Muawiyah yang pantas dinukil, dalam Shahih dan Sunan-nya terdapat sebuah lembaran yang berisikan tentang keutamaan sahabat. Tirmidzi juga tidak menukil hadis kecuali satu hadis, “Semoga Tuhan memberikan petunjuk kepadanya dan menjadikannya sebagai orang yang mendapat petunjuk dan jadikan ia sebagai media orang mendapat petunnjuk.” Dan disebutkan, “Hadis hasan dan gharib.”[24] Sementara hadis tersebut demikian disebutkan, “Allahummah! Berikanlah kepadanya petunjuk.”
Ibnu Taimiyah dalam Minhaj-nya, 2:207 menulis, “Sekelompok orang menukil keutamaan-keutamaan bagi Muawiyah dan meriwayatkan hadis-hadis dari Rasulullah Saw tentang Muawiyah yang semuanya adalah dusta.” Firuz Abadi pada akhir kitab Safar al-Sa’âdah dan ‘Ajulani dalam Kasyf al-Khafâ hal. 420, pada bab “Fadhâil Muawiyah” menulis, “Tidak terdapat satu hadis sahih dalam masalah ini.” Aini dalam Umdat al-Qâri menulis, “Bilamana Anda berkata bahwa terdapat banyak hadis tentang keutamaan Muawiyah, saya akan berkata iya (banyak). Namun tidak satu pun dari hadis-hadis tersebut yang benar dan sahih melalui jalur sanad-sanad.” Syaukani dalam Fawâid al-Majmu’ah menulis, “Para penjaga hadis bersepakat bahwa tiada satu pun hadis yang sahih yang memuat tentang keutamaan Muawiyah.”[25]
Kesimpulannya bahwa untuk mensucikan citra Muawiyah dan Yazid yang sedemikian ternoda maka sebagian orang turun tangan untuk membuatkan hadis-hadis palsu yang memuat keutamaan-keutamaan keduanya namun mereka tidak berhasil melakukan hal ini. Sementara orang-orang yang meyakini tentang tiadanya riwayat yang sahih terkait dengan Muawiyah, mereka menetapkan keutamaan-keutamaan baginya sebagaimana yang Anda saksikan pada ucapan Ibnu Taimiyah dan Sarkhisi. [IQuest]
[1]. Pepatah ini adalah pepatah popular dalam bahasa Persia.
[2]. Hadis-hadis buatan dan rekayasa.
[3]. Terjemahan Al-Ghadir fi al-Kitâb al-Sunnah wa al-Âdâb, jil. 21, hal. 127.
[4]. ‘Abâqat al-Anwâr fi Imâmat al-Aimmah al-Athâr, jil. 13, bag. Kedua, hal. 35. ‘Abâqat al-Anwâr fi Imâmat al-Aimmah al-Athâr, jil. 13, bag. Pertama, hal. 126. Dalam menolak riwayat-riwayat yang dijadikan sandara Ibnu Hajar, silahkan lihat, Al-Ghadir fi al-Kitâb al-Sunnah wa al-Âdâb, jil. 10, hal. 514 dan seterusnya. Terjemahan Persia Al-Ghadir fi al-Kitâb al-Sunnah wa al-Âdâb, jil. 20, hal. 267-278.
[5]. Terjemahan Persia Al-Ghadir fi al-Kitâb al-Sunnah wa al-Âdâb, jil. 10, hal. 120.
[6]. Ibid, jil. 5, hal. 449.
[7]. Minhâj al-Sunnah, 2/207. Jawaban klaim ini Anda dapat lihat pada kitab ‘Abâqat al-Anwâr fi Imâmat al-Aimmah al-Athâr, jil. 13, bag. Kedua, hal. 33.
الجواب من وجوه احدها المطالبة بتصحیح النقل و قوله روى الجمهور کافة، کذب علیهم فان حدیث الطّیر لم یروه احد من اصحاب الصّحیح و لا صححه ائمة الحدیث و لکن هو ممّا رواه بعض الناس کما رووا امثاله فى فضل غیر على بل قد رووا فى فضائل معاویة احادیث کثیرة و صنّف فى ذلک مصنّفات و اهل العلم بالحدیث لا یصححون هذا و لا هذا.
[8].
ان حدیث الطیر من المکذوبات الموضوعات عند اهل المعرفة بحقائق النقل قال الحافظ ابو موسى المدینى قد جمع غیر واحد من الحفاظ طرق احادیث الطّیر للاعتبار و المعرفة کالحاکم النیسابوریّ و أبى نعیم و ابن مردویه و سئل الحاکم عن حدیث الطیر فقال: لا یصح. هذا مع انّ الحاکم منسوب الى التشیّع و قد طلب منه ان یروى حدیثا فى فضل معاویة فقال ما یجیء من قلبى ما یجیء من قلبى.
[9]. ‘Abâqat al-Anwâr fi Imâmat al-Aimmah al-Athâr, jil. 13, bag. Kedua, hal. 38.
[10]. Namun Ibnu Taimiyah dalam Minhâj berkata,
و معاویة لیس له بخصوصه فضیلة فى الصحیح لکن قد شهد مع رسول اللَّه صلّى اللَّه علیه و سلم حنینا و الطائف و غزوة تبوک و حج معه حجة الوداع و کان یکتب الوحى فهو ممن ائتمنه النبى صلّى اللَّه علیه و سلم على کتابة الوحى کما ائتمن غیره من الصحابة.
Silahkan lihat, Abâqat al-Anwâr fi Imâmat al-Aimmah al-Athâr, jil. 15, hal. 415.
[11]. Wafâyât al-‘Ayân, jil. 1, hal. 21. Sebagaimana Safadi dalam Wâfi al-Wafâyat dan Yafi’i dalam Mir’ât al-Jinân serta Subki dalam Thabâqât al-Syafi’iyyah, Ibnu Hajar Askalani dalam Tahdzib al-Tahdzib, Abdul Haq dalam Asmâ al-Rajul, Abu al-Hajjaj Yusuf bin al-Zaki al-Mazi penyusun Tahdzib al-Kamal fi Asma al-Rajul dalam ulasannya atas Nisai menyebutkan masalah ini.
النّسائی: أحمد بن علی بن شعیب، ابو عبد الرحمن الحافظ، أصله من نسا (بفتح النون) من قرى خراسان، و جال فی البلاد و استوطن مصر فحسده مشایخها، فخرج الى الرملة بفلسطین، فسئل عن فضائل معاویة فأمسک عنه فضربوه فى الجامع و أخرج علیلا، فمات و دفن ببیت المقدس،و قیل: خرج حاجا فمات بمکة سنة (303).
[12]. Silahkan lihat, Abâqat al-Anwâr fi Imâmat al-Aimmah al-Athâr, jil. 15, hal. 411-415. Terjemahan Dalail al-Shidq, jil. 1, hal. 7.
[13]. Dari redaksi kalimat ini nampak beberapa faidah misalnya, 1. Masruq berkata demi Muawiyah bahwa saya tidak tahu siapakah Muawiyah itu apakah ia seorang pria yang perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukannya diperindah atau pria yang telah berputus asa dari akhirat sehingga ia mendapatkan kenyamanan hidup di dunia. 2. Sarkhisi mengakui bahwa Masruq yang merupakan seorang Thabi’in memandang perbuatan Muawiyah dalam menjual patung sebagai kejahatan besar. 3. Sarkhisi dengan mengakui ketinggian derajat Masruq seorang Thabi’in, memandang ucapan Muawiyah lebih utama atas ucapan Masruq dalam bab penjualan patung. 4. Sarkhisi sedemikian kusutnya sehingga tanpa alasan memulai melontarkan puji-pujian terhadap Muawiyah dan menyebutkan keutamaan-keutamaan palsunya. Silahkan lihat Abâqat al-Anwâr fi Imâmat al-Aimmah al-Athâr, jil. 22, hal. 718-722.
[14]. Târikh Ibnu Katsir, jil. 8, hal. 139-140.
[15]. Terjemahan Persia Al-Ghadir fi al-Kitâb al-Sunnah wa al-Âdâb, jil. 19, hal. 217-218.
[16]. Untuk mengetahui bahwa hadis ini adalah hadis rekayasa silahkan lihat, Abâqat al-Anwâr fi Imâmat al-Aimmah al-Athâr, jil. 15, hal. 415. Nafahat al-Azhar fi Khulasha ‘Abaqat al-Anwar, jil. 12, hal. 165-171.
[17]. Al-Ghadir fi al-Kitâb wa al-Sunah wa al-Âdâb, jil. 5, hal. 301.
[18]. Namun hal ini bukan sesuatu yang mengejutkan karena Ibnu Hajar dalam Mukaddimah Fath al-Bari, hal. 4 mengatakan, Aba Ali Ghasani meriwayatkan dari Bukhari bahwa ia berkata, “Aku mengeluarkan riwayat ini dari kumpulan 600 Ribu hadis dan saya tahu bahwa jumlah riwayat tanpa pengulangan Shahih Bukhari seluruhnya tidak melebihi 2761 riwayat.
[19]. Ibid, jil. 10, hal. 8.
[20]. Târikh Khulafâh Suyuthi, hal. 133. Fath al-Bâri, jil. 7, hal. 83. Al-Shawâiq, hal. 76.
[21]. Al-Lâi al-Mashnu’a, jil. 1, 220 (1/424).
[22]. Shahih Bukhâri, jil. 3, hal. 1373, Bab 28.
[23]. Fath al-Bâri, jil. 7, hal. 83 (7/104).
[24]. Jil. 10, al-Ghadir, menetapkan kepalsuan hadis ini.
[25]. Terjemahan Persia Al-Ghadir fi al-Kitâb al-Sunnah wa al-Âdâb, jil. 21, hal. 126-127.Dengan menggunakan software Nur al-Wilâyah dan al-Maktabat al-Syâmilah.