«وَ الْعَنْ عُبَیْدَ اللَّهِ بْنَ زِیادٍ وَ ابْنَ مَرْجانَةَ وَ عُمَرَ بْنَ سَعْدٍ وَ شِمْراً وَ آلَ اَبى سُفْیانَ وَ آلَ زِیادٍ وَ آلَ مَرْوانَ اِلى یَوْمِ الْقِیمَةِ» «عَلَیْهِمْ مِنْکَ اللَّعْنَةُ اَبَدَ الْآبِدینَ»
Pada dasarnya seseorang yang telah meninggal dunia apakah hal ini bukan keinginan buruk kita meminta supaya ia dijauhkan dari rahmat Allah Swt? Apakah hal ini sesuai dengan konsep rahmat universal (rahmat lil alamin) yang diajarkan oleh para Imam Maksum As? Kita meyakini bahwa para Imam Maksum juga mencintai para musuhnya. Bahkan orang-orang yang memerangi mereka. Para imam peduli dengan nasib mereka dan senantiasa sebelum perang dimulai, para imam mengajak mereka ke jalan yang benar dan lurus. Artinya para imam menghendaki masyarakat supaya mendekat kepada rahmat Ilahi.
Sejatinya, kami tidak membenci orang-orangnya. Yang kami benci adalah perbuatan-perbuatan mereka. Lantas mengapa kita melaknat orang yang telah mati dalam ziarah Asyura? Itupun laknat yang bersifat dawam dan terus menerus?
Laknat atas Yazid dan orang-orang sepertinya, dilakukan oleh Allah Swt, Rasulullah Saw dan para wasinya (baca: para Imam Maksum As) sebelum orang lain melakukannya. Laknat Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As adalah rahmat itu sendiri dan jelmaan rahmat Ilahi terhadap ciptaan Allah Swt.
Harus diakui bahwa terdapat sebagian orang yang melanggar dan membangkang instruksi-instruksi dan pesan-pesan agama meski mereka memiliki kebebasan dan mengenal agama Ilahi serta hukuman-hukuman yang bersumber darinya. Di samping mereka melanggar haknya sendiri, mereka juga melanggar hak Allah Swt dan hak manusia. Dengan pembangkangan dan pelanggaran ini menjadikan diri mereka sendiri pantas untuk mendapatkan laknat dan azab duniawi dan ukhrawi.
Karena itu, laknat atas orang-orang terlaknat mengikut perbuatan Ilahi, Nabi Saw dan para Imam Maksum As bersumber dari pelbagai keburukan dan kenistaan orang-orang yang terlaknat. Sedemikian mereka karam dalam perbuatan dosa dan maksiat sehingga menjadikan diri mereka pantas dan layak memperoleh azab Ilahi selamanya.
Rahmat Ilahi sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Ahlulbait terkait dengan orang-orang yang berada dalam lintasan hembusannya. Dalam hal ini, sebagai kebalikan dari orang-orang yang merasakan hembusan rahmat Ilahi, al-Qur’an menyebutkan ihwal orang-orang yang berada dalam azab Ilahi selamanya.
Allah Swt adalah sumber rahmat dan kasih. Al-Qur’an menyebutkan orang-orang yang mendapatkan laknat Ilahi seperti orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, orang-orang munafik, kaum musyrikin dari kalangan pria dan wanita, orang-orang yang menyembunyikan ayat-ayat Ilahi, orang-orang Yahudi yang meyakini bahwa tangan Tuhan terkerangkeng, dan orang-orang yang melontarkan tuduhan tak terpuji kepada para wanita mukminah.[i]
Semua hal ini menunjukkan bahwa terdapat sebagian manusia, dengan memperhatikan kebebasan dan ikhtiar yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, yang sedemikian karam dalam perbuatan dosa dan maksiat sehingga menjadikan diri mereka pantas mendapatkan azab Ilahi selamanya.
Rahmat Allah Swt, Rasulullah Saw dan para Imam Maksum, sesuai dengan diktum al-Qur’an, teruntuk orang-orang yang berada dalam lintasan hembusan rahmat tersebut. Dalam hal ini, sebagai kebalikan dari orang-orang yang merasakan hembusan rahmat Ilahi, al-Qur’an menyebutkan ihwal orang-orang yang berada dalam azab Ilahi selamanya.[ii]
Karena itu apabila keluar perintah laknat dari sisi Allah Swt atau Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa orang-orang ini adalah orang-orang yang telah menutup jalan-jalan untuk sampai kepada rahmat Ilahi dan karam dalam perbuatan dosa dan maksiat serta pembangkangan terhadap Tuhan sedemikian sehingga tidak lagi secuil asa tersisa bagi keselamatannya. Imam Ali As, Imam Husain As dan para Imam Maksum lainnya, meski sebagaimana yang Anda nyatakan, setiap sebelum memulai perang, menyeru dan memandu orang-orang ke jalan Allah Swt; namun apabila pihak musuh tidak menerima maka mereka akan berhadapan dengan pihak musuh dengan tegas dan tangkas.
Pada dasarnya mengapa kita tidak meninjau ulang perbuatan-perbuatan seorang tiran dan zalim yang telah meninggal dan kemudian melaknatnya atas perbuatan-perbuatan tiran dan zalim tersebut? Toh hingga sekarang dokumen dan file orang-orang seperti Abu Lahab senantiasa kita baca dalam al-Qur’an meski al-Qur’an telah diturunkan ribuan tahun yang silam.[iii]
Berlepas diri (tabbari) dari musuh-musuh Allah Swt dan Ahlulbait As merupakan salah satu instruksi asasi mazhab Syiah. Mencintai (tawalli) baru menemukan maknanya ketika disandingkan dengan tabarri dari musuh-musuh mereka.
Pada sebagian riwayat, laknat atas musuh-musuh Allah Swt dan Ahlulbait As lebih tinggi atas salawat dan salam kepada sosok-sosok suci ini.[iv]
Benar! Kita kita membenci insan beriman yang terkadang melakukan perbuatan yang melanggar aturan agama. Yang kita benci adalah perbuatan mereka. Namun bagaimana bagi orang-orang yang meski hakikat telah tersingkap baginya namun tetap melakukan perbuatan dosa-dosa besar seperti membunuh para wali Allah?
Diriwayatkan dari Imam Musa Kazhim As yang bersabda, “Berlepas dirilah dari perbuatan-perbuatan para sahabat kami yang mengerjakan perbuatan-perbuatan menyimpang.”[v]
Adapun orang-orang yang mengingkari dan melanggar hak para Imam Maksum dalam membimbing dan memandu masyarakat kepada Allah Swt dan menggiring mereka menjauh dari rahmat Ilahi yang mahaluas serta menumpahkan darah-darah suci para Imam Maksum As serta mencampakkan generasi-generasi umat manusia dari emanasi ini maka sejatinya telah menjadikan diri mereka sendiri pantas untuk menerima laknat dan kutukan Tuhan dan seluruh wali Allah Swt selamanya. Azab abadi yang kelak akan mereka peroleh akibat perbuatan yang telah menjauhkan manusia dari pancaran cahaya petunjuk. [IQuest]
[i]. “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (Qs. Al-Ahzab [33]: 58); “Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahanam. Dan (neraka Jahanam) itulah sejahat-jahat tempat kembali.” (Qs. Al-Fath [48]:6); “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan tanda-tanda (kebesaran Kami) yang jelas dan petunjuk yang telah Kami turunkan, setelah Kami menjelaskannya kepada umat manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat.” (Qs. Al-Baqarah [2]:159); “Orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu.” Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan ucapan mereka itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan (kekuasaan) Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan mereka. Dan telah Kami timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya. Mereka senantiasa berbuat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.” (Qs. Al-Maidah [5]:64); “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang tidak tahu menahu (tentang dosa) lagi beriman (berbuat zina), mereka terlaknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar.” (Qs. Al-Nur [23]:23)
[ii]. “Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindung pun dan tidak (pula) seorang penolong.” (Qs. Al-Ahzab [33]:65)
[iv]. Najafi Razi, Abu al-Hasan bin Muhammad, Majma’ al-Nurain wa Multaqâ al-Bahrain, hal. 243, Intisyarat-e Ali Aba, Qum.
[v]. Mustadrak al-Wasâil, jil. 12, hal. 237.
قَالَ قُلْتُ لِأَبِی الْحَسَنِ مُوسَى ع الرَّجُلُ مِنْ مَوَالِیکُمْ یَکُونُ عَارِفاً یَشْرَبُ الْخَمْرَ وَ یَرْتَکِبُ الْمُوبِقَ مِنَ الذَّنْبِ نَتَبَرَّأُ مِنْهُ فَقَالَ تَبَرَّءُوا مِنْ فِعْلِهِ وَ لَا تَتَبَرَّءُوا مِنْهُ أَحِبُّوهُ وَ أَبْغِضُوا عَمَلَهُ قُلْتُ فَیَسَعُنَا أَنْ نَقُولَ فَاسِقٌ فَاجِرٌ فَقَالَ لَا الْفَاسِقُ الْفَاجِرُ الْکَافِرُ الْجَاحِدُ لَنَا النَّاصِبُ لِأَوْلِیَائِنَا أَبَى اللَّهُ أَنْ یَکُونَ وَلِیُّنَا فَاجِراً وَ إِنْ عَمِلَ مَا عَمِلَ وَ لَکِنَّکُمْ تَقُولُونَ فَاسِقُ الْعَمَلِ فَاجِرُ الْعَمَلِ مُؤْمِنُ النَّفْسِ خَبِیثُ الْفِعْلِ طِیبُ الرُّوحِ وَ الْبَدَنِ الْخَبَرَ .