Kode Site
fa3354
Kode Pernyataan Privasi
53645
Ringkasan Pertanyaan
Mengapa anak yang terlahir dari hasil pernikahan mut\'ah diserahkan kepada ayahnya?
Pertanyaan
Jika pernikahan mut\'ah menghasilkan anak, ibunya tidak memiliki hak atas anak tersebut, padahal dalam pernikahan tak ada orang yang dapat memisahkan ibu dari anaknya dengan paksaan (secara terpaksa) dan si ibu memiliki tanggung jawab untuk membesarkan anaknya. Hal yang jelas adalah pada akhirnya anak tersebut adalah milik ayahnya. Sekarang, menurut Anda apakah hak tersebut masuk akal bahwa seorang anak lahir dari sebuah hubungan yang hanya bersifat sementara dan apakah ada anak yang tidak memilki ibu? Ataukah bahkan jika sebaliknya dan ataukah dengan menitipkannya ke panti asuhan, yang selain tidak merasakan kenikmatan (memiliki) seorang ayah dan juga seorang ibu? Seorang anak yang secara tidak sengaja lahir dari hubungan sementara bagaimana kedudukan dia dimasyarakat kelak?. Apakah seorang anak yang tidak mengenal ibu nya itu adalah baik? Seorang anak yang hadir dari pernikahan mut\'ah yang tentunya tidak sengaja dan terlahir dari hubungan sementara! Dan hal ini sampai seumur hidupnya menempel terus di keningnya (julukan ini)! Jika kita yang menjadi anak tersebut, apa yang akan anda rasakan?
Saya tahu bahwa sebelum melakukan pernikahan telah ditetapkan syarat untuk tidak memiliki anak , namun bagaimanapun persoalan ini ada/terjadi dan tidak bisa di pungkiri. Lagipula, ada kemungkinan kedua belah pihak memberikan syarat untuk tidak memiliki anak, namun, jika secara tidak sengaja selama masa mut\'ah sang istri terbuahi, apa yang harus dilakukan? Persoalan pengasuhan, ahli waris, dan nafkah...yang tidak dijelaskan. Persoalan di sini adalah anak ini bagaimanapun adalah seorang manusia yang mana nantinya akan hidup dalam sebuah masyarakat. Apa yang akan dia rasakan?
Jawaban Global
Pernikahan mut'ah (temporer) adalah suatu pernikahan mudah untuk orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan pernikahan daim (permanen) dan karena beberapa hikmah dari pernikahan mut'ah ini seperti mencegah dari penyimpangan dan pengaruh-pengaruh jelek tersebut yang telah disyariatkan oleh Tuhan. Karena tujuan itulah, Allah Swt menetapkan sebagian dari hukum-hukum yang berlaku dalam pernikahan daim tidak dimiliki dalam pernikahan mut'ah. Islam dari awal telah menetapkan aturan anak yang mungkin terlahir dari pernikahan tersebut dan mengatakan bahwa seorang anak yang lahir dari pernikahan ini dari sisi nasab, warisan, pendidikan dan hak asuh, hak dinafkahi dan seterusnya. Tidak ada perbedaan dengan anak dari pernikahan daim, mereka memiliki hak-hak yang telah diberlakukan dan tidak ada seorangpun yang dapat menjauhkannya dari kasih sayang ibu dan bapaknya. Mungkin halnya pada bagian-bagian dari masyarakat sekarang budaya tidak membenarkan adanya pernikahan semacam ini yang perlu untuk diperbaiki sehingga masyarakat tidak terlepas dari anugrah pernikahan semacam ini.
Tentunya adanya pengecualian dalam setiap aturan tidak dapat dihindari dan kita tidak boleh karena aturan tersebut satu aturan dasar kita kesampingkan.
Tentunya adanya pengecualian dalam setiap aturan tidak dapat dihindari dan kita tidak boleh karena aturan tersebut satu aturan dasar kita kesampingkan.
Jawaban Detil
Sebelum menjelaskan jawaban kiranya kami perlu menyebutkan beberapa poin pendahuluan:
Pertama: Perlu untuk selalu mengklasifikasi peran dan tujuan dari pensyariatan dari satu hukum-hukum Ilahi sehingga setiap aturan dan ajaran kita berharap kesesuaian dengan hukum tersebut sebagai contoh kita tidak dapat mengkritik hukum jihad tanpa menimbang sisi kemaslahatanya; karena kalau melihat jihad dari satu sisi saja yang mengakibatkan kematian, keguguran dan banyak dari anak-anak menjadi yatim piatu! Sementara dari sisi lain, peran jihad adalah menjaga dan membela agama, jiwa, harta dan kehormatan orang-orang Muslim, jika sekelompok dari kita tidak menempatkan diri di jalan yang penuh dengan berbagai bahaya dan resiko, seluruh masyarakat akan berada dalam ancaman.
Kedua: Tujuan dan hikmat hukum-hukum serta aturan masyarakat islam harus ditinjau dari sisi dominan dari setiap masyarakat, karena setiap aturan mungkin tidak sesuai persoalan-persoalan yang jarang ditemukan dengan tujuan umum dari hukum-hukum tersebut yang disitilahkan dengan persoalan khusus.
Berdasarkan hal ini hukum-hukum dan aturan-aturan serta pengaruh dan efek dari pernikahan sementara (mut'ah) ini harus ditinjau berdasarkan komunitas dan dominan dari individu-individu masyrakat.
Ketiga: pada pernikahan daim juga hak asuh anak laki-laki dua tahun dan anak perempuan 7 tahun diberikan kepada ibunya dan setelah nya tanggungjawab ini diberikan kepada ayahnya.[1]
Dengan memperhatikan beberapa poin ini dapat dikatakan bahwa pernikahan mut'ah; adalah suatu pernikahan mudah untuk orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan pernikahan daim atau persoalan-persoalan yang akan mereka hadapi nanti dan untuk mencegah dari penyimpangan dan demi kemaslahatan masyarakat Tuhan telah menyariatkan pernikahan seperti ini. Karena tujuan itulah Allah Swt menetapkan sebagian dari hukum-hukum yang berlaku dalam pernikahan daim tidak dimiliki dalam pernikahan mut'ah.[2]
Salah satu yang menjadi inti dasar dari aturan-aturan dalam pernikahan mut'ah adalah Islam dari awal telah menetapkan aturan anak yang mungkin terlahir dari pernikahan tersebut dan mengatakan bahwa seorang anak yang lahir dari pernikahan ini tidak ada perbedaan dengan anak dari pernikahan daim.[3] Secara syar'i dan hukum anak ini dihitung sebagai anak mereka, penafkahan anak tersebut wajib ditanggungi oleh ayah dan ibunya dan juga dia memiliki hak waris.
Karena itu, tidak ada anak yang akan merasakan malu; karena orang tua mereka melakukan pernikahan secara syar'i dan berdasarkan aturan Ilahi dan sama sekali mereka tidak melakukan pelanggaran hukum. Akan tetapi tanggungjawab anak tersebut dipikul oleh ayahnya, kita harus memperhatikan bahwa aturan ini tidak hanya dikhususkan untuk pernikahan mut'ah. Dalam pengasuhan anak apakah itu da'im ataukah mut'ah hukumnya sama yaitu untuk laki laki 2 tahun dan anak perempuan 7 tahun adalah tanggungan/hak ibunya[4] dimana sang ibu bisa memanfaatkan hak tersebut ataukah dengan menyerahkan hak tersebut kepada ayah dari anak tersebutdan setelah masa tersebut bahkan dalam pernikahan daim kewajiban ini ditanggung oleh ayahnya, namun karena dalam pernikahan daim umumnya suami istri hidup bersama hal ini tidak menjadi persoalan. Sama halnya pada kedua jenis pernikahan ini seluruh biaya pengeluaran anak-anak dan pengasuhan setelah masa yang telah ditentukan akan menjadi hak sang ayah dan jelas bahwa kemurahan hati sikap partiality (sikap memihak) dari seorang ibu; karena jenis perempuan yang lebih lemah dalam hal harta dan ekonomi daripada laki-laki, mungkin juga ibu akan merasa kerepotan dalam mengatur anak nya. Berdasarkan hal ini islam untuk menjaga perasaan ibu, hak asuh dipegang oleh ibu pada awalnya kemudian menjadi tangunggjawab sang ayah.
Namun ibu dengan kesepakatan sang ayah dalam mengasuh anak dapat mengambil hak upah dari ayah anak tersebut dan tidak ada seorangpun yang bisa melarang sang ibu untuk melihat dan memberika kasih sayang terhadap anaknya.
Di samping itu umumnya jenis pernikahan ini mereka tidak mengharapkan adanya anak. Dan salah satu diantara keduanya dapat memberikan syarat ataukah sama sekali tidak memilki anak ataukah jika memiliki anak untuk beberapa masa diasuh oleh ibunya ataukah selamanya. Alam tetapi, tidak semuanya anak yang terlahir dari pernikahan mut'ah tidak direncanakan, namun terkadang laki-laki karena tifak memiliki anak pada pernikahannya melakukan pernikahan kedua secara mut'ah dan anak tersebut diasuh dengan sebaik-baiknya.
Mungkin halnya pada bagian-bagian dari masyarakat sekarang budaya tidak membenarkan adanya pernikahan semacam ini yang perlu untuk diperbaiki sehingga masyarakat tidak terlepas dari anugrah pernikahan semacam ini.
Tentunya adanya pengecualian dalam setiap aturan tidak dapat dihindari dan kita tidak boleh karena aturan tersebut satu aturan dasar kita kesampingkan. [iQuest]
Pertama: Perlu untuk selalu mengklasifikasi peran dan tujuan dari pensyariatan dari satu hukum-hukum Ilahi sehingga setiap aturan dan ajaran kita berharap kesesuaian dengan hukum tersebut sebagai contoh kita tidak dapat mengkritik hukum jihad tanpa menimbang sisi kemaslahatanya; karena kalau melihat jihad dari satu sisi saja yang mengakibatkan kematian, keguguran dan banyak dari anak-anak menjadi yatim piatu! Sementara dari sisi lain, peran jihad adalah menjaga dan membela agama, jiwa, harta dan kehormatan orang-orang Muslim, jika sekelompok dari kita tidak menempatkan diri di jalan yang penuh dengan berbagai bahaya dan resiko, seluruh masyarakat akan berada dalam ancaman.
Kedua: Tujuan dan hikmat hukum-hukum serta aturan masyarakat islam harus ditinjau dari sisi dominan dari setiap masyarakat, karena setiap aturan mungkin tidak sesuai persoalan-persoalan yang jarang ditemukan dengan tujuan umum dari hukum-hukum tersebut yang disitilahkan dengan persoalan khusus.
Berdasarkan hal ini hukum-hukum dan aturan-aturan serta pengaruh dan efek dari pernikahan sementara (mut'ah) ini harus ditinjau berdasarkan komunitas dan dominan dari individu-individu masyrakat.
Ketiga: pada pernikahan daim juga hak asuh anak laki-laki dua tahun dan anak perempuan 7 tahun diberikan kepada ibunya dan setelah nya tanggungjawab ini diberikan kepada ayahnya.[1]
Dengan memperhatikan beberapa poin ini dapat dikatakan bahwa pernikahan mut'ah; adalah suatu pernikahan mudah untuk orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan pernikahan daim atau persoalan-persoalan yang akan mereka hadapi nanti dan untuk mencegah dari penyimpangan dan demi kemaslahatan masyarakat Tuhan telah menyariatkan pernikahan seperti ini. Karena tujuan itulah Allah Swt menetapkan sebagian dari hukum-hukum yang berlaku dalam pernikahan daim tidak dimiliki dalam pernikahan mut'ah.[2]
Salah satu yang menjadi inti dasar dari aturan-aturan dalam pernikahan mut'ah adalah Islam dari awal telah menetapkan aturan anak yang mungkin terlahir dari pernikahan tersebut dan mengatakan bahwa seorang anak yang lahir dari pernikahan ini tidak ada perbedaan dengan anak dari pernikahan daim.[3] Secara syar'i dan hukum anak ini dihitung sebagai anak mereka, penafkahan anak tersebut wajib ditanggungi oleh ayah dan ibunya dan juga dia memiliki hak waris.
Karena itu, tidak ada anak yang akan merasakan malu; karena orang tua mereka melakukan pernikahan secara syar'i dan berdasarkan aturan Ilahi dan sama sekali mereka tidak melakukan pelanggaran hukum. Akan tetapi tanggungjawab anak tersebut dipikul oleh ayahnya, kita harus memperhatikan bahwa aturan ini tidak hanya dikhususkan untuk pernikahan mut'ah. Dalam pengasuhan anak apakah itu da'im ataukah mut'ah hukumnya sama yaitu untuk laki laki 2 tahun dan anak perempuan 7 tahun adalah tanggungan/hak ibunya[4] dimana sang ibu bisa memanfaatkan hak tersebut ataukah dengan menyerahkan hak tersebut kepada ayah dari anak tersebutdan setelah masa tersebut bahkan dalam pernikahan daim kewajiban ini ditanggung oleh ayahnya, namun karena dalam pernikahan daim umumnya suami istri hidup bersama hal ini tidak menjadi persoalan. Sama halnya pada kedua jenis pernikahan ini seluruh biaya pengeluaran anak-anak dan pengasuhan setelah masa yang telah ditentukan akan menjadi hak sang ayah dan jelas bahwa kemurahan hati sikap partiality (sikap memihak) dari seorang ibu; karena jenis perempuan yang lebih lemah dalam hal harta dan ekonomi daripada laki-laki, mungkin juga ibu akan merasa kerepotan dalam mengatur anak nya. Berdasarkan hal ini islam untuk menjaga perasaan ibu, hak asuh dipegang oleh ibu pada awalnya kemudian menjadi tangunggjawab sang ayah.
Namun ibu dengan kesepakatan sang ayah dalam mengasuh anak dapat mengambil hak upah dari ayah anak tersebut dan tidak ada seorangpun yang bisa melarang sang ibu untuk melihat dan memberika kasih sayang terhadap anaknya.
Di samping itu umumnya jenis pernikahan ini mereka tidak mengharapkan adanya anak. Dan salah satu diantara keduanya dapat memberikan syarat ataukah sama sekali tidak memilki anak ataukah jika memiliki anak untuk beberapa masa diasuh oleh ibunya ataukah selamanya. Alam tetapi, tidak semuanya anak yang terlahir dari pernikahan mut'ah tidak direncanakan, namun terkadang laki-laki karena tifak memiliki anak pada pernikahannya melakukan pernikahan kedua secara mut'ah dan anak tersebut diasuh dengan sebaik-baiknya.
Mungkin halnya pada bagian-bagian dari masyarakat sekarang budaya tidak membenarkan adanya pernikahan semacam ini yang perlu untuk diperbaiki sehingga masyarakat tidak terlepas dari anugrah pernikahan semacam ini.
Tentunya adanya pengecualian dalam setiap aturan tidak dapat dihindari dan kita tidak boleh karena aturan tersebut satu aturan dasar kita kesampingkan. [iQuest]
[1] Taudhih al-Masâil, jil. 2, hal. 257, perkara ke- 1504.
[2] Muhammad Husain Thabathaba'i, al-Mizân fi Tafsir al-Qur'ân, jil. 15, hal. 15, Nasyr Islami.
[3] Taudhih al-Masâil, jil. 2, hal. 486; Ayatullah Makarim Syirazi: Masalah 2078, pernikahan mut'ah setelah jatuh masa berlaku, memiliki masa iddah....dan anak yang terlahir dari hubungan tersebut memiliki seluruh hak-hak dari ayah dan ibunya dan dia memiliki hak waris dari orang tuanya dan keluarganya meskipun kedua orang tuanya satu sama lain tidak mendapatkan hak warisan.
[4] Ibid; Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 312, Nasyr Quds Muhammadi, Masalah 12-16-170.