Sebelum menjawab pertanyaan ini baiknya harus diperhatikan bahwa apabila sebuah perkara itu dibolehkan dan kebolehannya telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah maka hal itu tidak lagi memerlukan perbuatan para maksum karena makna bolehnya sebuah perbuatan bermakna bahwa mukallaf bebas memilih untuk melakukan perbuatan tersebut atau meninggalkannya.
Akan tetapi apakah jenis pernikahan ini dilakukan oleh para Maksum As atau tidak? Terkait dengan Nabi Saw belum dijumpai satu dalil pun bahwa beliau melakukan praktik mut’ah; akan tetapi terdapat riwayat yang dinukil oleh Tsa’labi dalam Tafsirnya yang ia riwayatkan dari ‘Imran bin Hushain yang berkata: “Ayat mut’ah diturunkan dalam Kitabullah dan setelahnya tiada ayat yang turun untuk menganulirnya (naskh). Dan Nabi Saw memerintahkan kami untuk melakukan hal tersebut. Kami melakukan praktik mut’ah dan beliau tidak melarang kami melakukan perbuatan tersebut.[1]
Yang dimaksud dengan mut’ah dalam riwayat ini apabila bermakna pernikahan sementara maka hal itu tidak menunjukkan secara lahir bahwa Nabi Saw juga melakukan praktik tersebut melainkan secara lahir menandaskan bahwa para sahabat melakukan mut’ah.
Sebagaimana Muslim bin Hajjaj dalam riwayat yang sahih menyebutkan bahwa ‘Atha berkata: Jabir bin Abdullah kembali dari umrah dan kami berkunjung ke rumahnya. Orang-orang bertanya kepadanya banyak hal di antaranya adalah mut’ah. Ia berkata: “Iya. Kami pada masa Nabi Saw, Abu Bakar dan Umar melakukan praktik mut’ah.[2] Secara lahir riwayat ini menegaskan bahwa praktik mut’ah dilakukan oleh para sahabat.
Akan tetapi terdapat riwayat terkait dengan pelaksanaan mut’ah yang dilakukan oleh para Imam Maksum As seperti yang disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Imam Ali melakukan praktik mut’ah dengan seorang wanita dari suku Bani Nahsyal di Kufah.[3]
Dengan memperhatikan riwayat ini dan praktik mut’ah yang dilakukannya di Kufah yang menjadi pusat pemerintahan Imam ‘Ali As, besar kemungkinan bahwa pernikahan sementara ini dilakukan pada masa khilafahnya; karena sebelumnya beliau bermukim di Madinah. Riwayat ini dapat menjadi dalil dihidupkannya praktik hukum mut’ah pada masa pemerintahan Ali.[4][]
Untuk informasi lebih jauh silahkan Anda lihat:
Pertanyaan 844 (Site: 915), Indeks, Bolehnya Melakukan Pernikahan Sementara.
Pertanyaan 3025 (Site:4643), Indeks, Para Imam Maksum dan Pernikahan Sementara.
[1]. Abu Raja’ al-Athardi dari Imran bin al-Hashin berkata: Ayat ini turun (al-mut’ah) pada kitab Allah, tidak turun ayat setelahnya yang menganulirnya. Lalu Rasulullah Saw memerintahkan kami untuk melakukan mut’ah dan kami pun melakukannya pada masa Rasulullah Saw dan beliau tidak melarangnya. Dan berkatalah seseorang setelahnya mengikut pendapatnya sesuai apa yang dikehendakinya! Tsa’labi, al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsir al-Qur’ân, jil. 3, hal. 287
[2]. Thabarsi, Majma’ al-Bayân fii Tafsir al-Qur’ân (terjemahan Persia), jil. 5, hal. 101-102, Nasyir Intisyarat Farahani, Teheran, 1360 S.
[3]. Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 10. Perawi berkata bahwa Ibnu Babawaih dengan sanadnya bahwa sesungguhnya Ali melakukan praktik mut’ah dengan seorang wanita di Kufah dari keturunan Bani Nahsyal.
[4]. Diadaptasi dari pertanyaan no. 2965 (Site: 3467)