Pertanyaan Anda terdiri dari dua bagian seperti di bawah ini:
1. Apakah wanita haid berdiri, sebagaimana dalam kondisi shalat, untuk berzikir mengingat Tuhan?
2. Apakah wanita haid dapat turut serta dalam shalat berjamaah meski secara lahir mengikut gerakan orang shalat berjamaah?
Dua pertanyaan di atas akan dijawab sesuai dengan urutan pertanyaan di atas sebagai berikut:
Pertama, mengingat bahwa manusia menjejakkan kakinya di bumi dan dunia materi. Manusia dalam hidupnya berhadap-hadapan dengan urusan material dan senantiasa berada di ambang kejatuhan dan kecelakaan. Karena itu, ia sangat membutuhkan sebuah hubungan intens dan lekat dengan alam di atas dan metafisika dan shalat merupakan sebaik-baik media dan jawaban yang paling tinggi atas kebutuhan ini.
Shalat adalah perjumpaan dengan Sang Kinasih. Berdua-duaan dengan-Nya merupakan akhir dari keresahannya. Shalat adalah detik-detik berhubungan dengan-Nya. Kehadiran di haribaan Raja Diraja terkadang membuat lisan terbuka memuji dan memuja-Nya. Ketika tiba waktu shalat maka tibalah masanya mengungkapkan kelemahan di haribaan-Nya. Saat-saat perjumpaan Anda hargai dan mengungkapkan segala kebutuhan Anda. Anda melihat keagungan dan kebesaran di hadapan-Nya. Anda tertunduk hina di hadapan-Nya. Anda menggunakan waktu sebaik-baiknya. Anda sibuk berzikir keindahan (jamal) dan keagungan-Nya (jalal). Karena Anda mendapatkan undangan untuk menghadiri perjumpaan ini dan menjaga adab-adab perjumpaan, Anda semakin dekat dan menyampaikan bisikan cinta, dari orang-orang budiman dan saleh, khususnya, menyebut nama hamba khusus-Nya dan seterusnya. Anda akan meninggalkan-Nya dengan salam takzim yang dipenuhi dengan kesedihan dan kerinduan untuk segera bertemu kembali. Sementara Anda menggerakan lisan menyebut nama-Nya, dengan hati dan jiwa, Anda melanjutkan hidup Anda dengan mengingat-Nya penuh seluruh.[1]
Karena itu, apabila kita saksikan pada pelbagai kesempatan susah dan pelik, misalnya seperti orang yang sedang tenggelam atau menjadi sasaran serangan musuh maka kewajiban shalat tetap tidak akan gugur. Dalam fikih disebutkan beberapa jenis shalat yang salah satunya adalah shalat (bagi orang) yang akan tenggelam dan shalat khauf yang dikerjakan dalam kondisi khusus seperti itu. Karena itu, tidaklah layak bagi wanita dalam kondisi haid memutuskan secara mutlak hubungan ini.
Dengan demikian para fukaha berkata, “hukumnya mustahab (dianjurkan) bagi wanita haid ketika tiba waktu shalat, mensucikan (membersihkan) dirinya dari darah dan mengganti pembalutnya kemudian berwudhu. Apabila ia tidak dapat berwudhu maka ia melakukan tayammum dan duduk di tempat shalat menghadap kiblat kemudian menyibukkan diri dengan berzikir, berdoa dan menyampaikan shalawat.[2]
Kedua: Apabila kehadiran pada waktu shalat berjamaah (secara lahir sekedar mengikut gerakan saja) tidak meniscayakan ia harus masuk masjid dan lain sebagianya yang diharamkan atau dimakruhkan bagi wanita haid[3] maka tiada masalah apabila ia hanya ikut serta dalam barisan shalat jamaah tanpa meniatkan shalat berjamaah.[IQuest]
[1]. Diadaptasi sebagian dari Indeks No. 126 (2394).
[2].Tahrir al-Wasilah, jil. 1, hal. 56, Masalah 16. Taudhih al-Masâ’il (Al-Muhassyâ li al-Imâm Khomeini), jil. 1, hal. 269, Masalah 486.
[3]. Ada beberapa hal yang haram bagi wanita haid: Pertama, ibadah-ibadah yang harus disertai wudhu, mandi atau tayammum, namun tidak ada halangan bagi wanita haid untuk melaksanakan ibadah yang boleh tidak disertai dengan wudhu, mandi dan tayammum seperti shalat jenazah. Kedua, segala sesuatu yang haram bagi orang junub sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hukum-hukum janabah. Ketiga, bersenggama melalui vagina (farj), yang diharamkan baik bagi pria maupun bagi wanita, meski sebatas masuknya kepala penis (batasan khitan) dan sperma juga tidak keluar, dan ihtiyath wajib supaya tidak memasukkan seukuran kurang dari kepala penis (ke dalam vagina) dan sangat dimakruhkan (kirâhat syadid) menggauli istri melalui dubur. . Taudhih al-Masâ’il (Al-Muhassyâ li al-Imâm Khomeini), jil. 1, hal. 260, Masalah 480. Berapa hal yang makruh bagi wanita haid: “Makruh hukumnya bagi wanita haid untuk membaca, membawa dan menyentuh pinggiran al-Qur’an dan di antara baris-baris al-Qur’an dengan salah satu anggota badannya serta mengenakan inai.” Taudhih al-Masâ’il (Al-Muhassyâ li al-Imâm Khomeini), jil. 1, hal. 269 & 270, Masalah 477. Tahrir al-Wasilah, jil. 1, hal. 56.