Penjelasan: Wanita tersebut tidak berasal dari mahram secara nasab dengan suaminya (bukan sanak kerabatnya). Ia juga tidak menerima sesuatu yang bernama mua’wwadha dan juga tidak terdapat perubahan di dalamnya terkait dengan hibah.
Hibah secara leksikal bermakna memberikan dan menyerahkan sesuatu kepada seseorang tanpa imbalan dan kompensasi (‘awadh). Hibah secara teknikal bermakna orang yang menyerahkan (wâhib) sesuatu yang menjadi miliknya secara gratis dan tanpa kompensasi kepada orang lain. Orang-orang juga menyebut hibah sebagai ‘athiyyah dan nahlah.
Apabila harta yang telah dihibahkan sebagai pinjaman (‘âriyah) kepada istri Anda supaya dimanfaatkan olehnya atau Anda menyerahkan kepadanya dan harta tersebut masih berada di tangan istri Anda dalam bentuk seperti sedia kala dan wanita tersebut juga bukan dari sanak kerabat (arhâm) Anda, maka Anda dapat membatalkan hibah tersebut dan mengambil ulang harta yang telah Anda hibahkan sebelumnya. Sebagai kesimpulannya Anda boleh menggunakan harta tersebut. Namun apabila wanita tersebut berasal dari sanak kerabat Anda atau Anda menyerahkannya dalam bentuk hibah mu’awwadhah maka hibah tersebut adalah hibah yang sah dan berlaku hukum hibah atasnya (Anda tidak dapat mengambilnya kembali).
Hibah secara leksikal bermakna memberikan dan menyerahkan sesuatu kepada seseorang tanpa imbalan (‘awadh).[1] Hibah secara teknikal bermakna orang yang menyerahkan (wâhib) sesuatu yang menjadi miliknya secara gratis dan tanpa imbalan kepada orang lain.[2] Orang-orang juga menyebut hibah sebagai ‘athiyyah dan nahlah.[3]
Hibah dan pemberian kepada sanak kerabat meski mereka bukan tergolong sebagai fakir mustahab hukumnya. Khususnya dalam hubungannya dengan ayah dan anak-anak hukumnya adalah mustahab mu’akkad (sangat dianjurkan). Ayah dan ibu apabila keduanya memerlukan uang atau harta; maka hibah dan pemberian kepada keduanya menjadi wajib a’ini (kewajiban yang harus ditunaikan). Dalam hibah, musthab hukumnya bagi seorang ayah untuk tidak membeda-bedakan di antara anak-anaknya dan memberikan (hibah) harta kepada mereka secara merata.[4]
Rukun-rukun Hibah
Hibah terdiri dari tiga rukun utama:
1. Wâhib: Seseorang yang menyerahkan hartanya kepada orang lain (penghiba).
2. Muttahib: Seseorang yang menerima harta dari orang lain.
3. Mauhib: Harta yang menjadi obyek hibah dan pemberian.
Bagian-bagian Hibah
Hibah terdiri dari dua jenis:
1. Mu’awwadha
2. Non-Mu’awwadha
Hibah mu’awwadha adalah sejenis hibah yang disyaratkan oleh penghiba (wâhib) tatkala akad kepada muttahib (yang menerima hibah) bahwa imbalan (‘awadh) sesuatu yang diserahkan kepada muttahib diberikan secara gratis kepada wâhib. Atau muttahib (yang menerima hibah) tanpa syarat wâhib, menyerahkan sesuatu secara gratis kepada penghibah (wahib) sebagai imbalan (‘awadh) atas barang yang diterimanya dari wâhib.
Hibah non-mu’awwadha adalah sejenis hibah yang diserahkan oleh wâhib kepada muttahib tatkala akad hibah dan tidak menentukan syarat untuk menerima imbalan darinya dan muttahib juga tidak menyerahkan sesuatu sebagai imbalan hibah kepada penghibah (wâhib).[5]
Hibah adalah termasuk akad jâ’iz. Artinya masing-masing dari kedua belah pihak dapat membatalkan akad tersebut kecuali dalam beberapa hal hibah menjadi hibah lâzim dan wâhib tidak dapat membatalkannya serta mengambil kembali barang yang telah dihibahkan. Beberapa hal tersebut sebagai berikut:
1. Pemberian kepada sanak kerabat seperti ayah dan ibu.
2. Wâhib menyerahkan harta semata-mata untuk meraih keridhaan Allah Swt (qurbatan ilaLlah).
3. Hibah tersebut adalah termasuk hibah mu’awwadha meski muttahib memberikan imbalan yang sangat kecil kepada wâhib.
4. Harta yang dihibahkan (mauhibah) bentuknya tidak lagi seperti sedia kala. Bahkan jika seluruh atau sebagiannya telah hilang (atau rusak) atau bentuknya telah mengalami perubahan, misalnya kain yang telah dijahit atau makanan yang telah dimakan atau muttahib menyerahkan harta tersebut kepada orang lain.
5. Penghiba (wâhib) meninggal dunia setelah menyerahkan barang atau harta yang dihibahkan atau muttahib wafat setelah mengambil barang atau harta yang dihibahkan.[6]
Jalan untuk Mengembalikan Hibah
Mengembalikan hibah dapat dilakukan dengan ucapan misalnya wâhib berkata bahwa saya membatalkan hibah yang saya serahkan atau meminta harta yang dihibahkan dikembalikan (kepadanya). Atau dengan perbuatan misalnya mengembalikan barang atau mengambilnya dari tangan orang yang menerima hibah (muttahib). Apabila wâhib menjual harta yang dihibahkan atau menyewakannya atau mewakafkannya, apabila ia bermaksud untuk membatalkan hibah maka hibah tersebut juga akan batal. Dalam membatalkan hibah juga tidak disyaratkan bahwa muttahib harus tahu. Pembatalan hibah dengan demikian dipandang sah.[7]
Karena itu, apabila harta yang telah dihibahkan sebagai pinjaman (‘âriyah) kepada istri Anda supaya dimanfaatkan olehnya atau Anda menyerahkan kepadanya dan harta tersebut masih berada di tangan istri Anda dalam bentuk seperti sedia kala dan wanita tersebut juga bukan dari sanak kerabat (arhâm) Anda, demikian juga tidak terdapat syarat-syarat lainnya yang disebutkan di atas, maka Anda dapat membatalkan hibah tersebut dan mengambil ulang harta yang telah dihibahkan sebelumnya. Sebagai kesimpulannya Anda boleh menggunakan harta tersebut. Namun apabila wanita tersebut berasal dari sanak kerabat Anda atau Anda menyerahkannya dalam bentuk hibah mu’awwadhah maka hibah tersebut adalah hibah yang sah dan berlaku hukum hibah atasnya.[8]
Karena itu, sesuai dengan asumsi pertanyaan yang diajukan dan adanya syarat-syarat lainnya, pria dapat mengurangi harga jual apartemennya yang dihibahkan sebelumnya kepada istrinya dari nilai mahar yang harus diserahkan kepada istrinya dan menyerahkan mahar yang tersisa dalam bentuk tunai kepadanya.
Benar sebagian marja taklid seperti Imam Khomeini Ra dan Ayatullah Siistani (Semoga Allah Swt menjaganya) berkata, “Hukumnya mustahab apabila hibah yang dilakukan antara dua pasangan suami dan istri itu tidak lagi diambil.”[9] [IQuest]
[1]. Farhang Amid, Hasan Amid, hal. 1082, Muassasah Intisyarat-e Amir Kabir, Cap Khane Sepehr Teheran, Cetakan 12.
[2]. Tahrir al-Wasilah, Imam Khomeini Ra, jil. 1-2, hal. 553, Muassasah Tanzhim wa Nasyr-e Atsar Imam Khomeini, Cetakan Pertama, 1379. Musthalahât Fiqh, Ali Misykini, hal. 552, Al-Hadi, Cetakan Kedua, 1379 S. Kitab Fiqh al-Imâm al-Shadiq As, jil. 4, hal. 221 disebutkan demikian:
الهبة فی اللغة التبرع و التفضل، و منه قوله تعالى فَهَبْ لِی مِنْ لَدُنْکَ وَلِیًّا.
و فی عرف الفقهاء تملیک مال فی الحال بلا عوض. فخرج «بالتملیک» الوقف، لأنه لیس تملیکا، و «بالمال» خرجت العاریة، لأنّها تملیک منفعة، و «فی الحال» خرجت الوصیة، لأنّها تملیک بعد الموت، و «بلا عوض» خرج البیع، لأنه تملیک بعوض.
الهبة المعوضة: نبه الفقهاء إلى أن طبیعة الهبة لا تستدعی العوض، و لا عدم العوض، بل یجوز أن تکون معوضة، و غیر معوضة، و على هذا فلا مانع أن یهب شخص شیئا لآخر بشرط أن یهب الموهوب له شیئا، أو یقوم بالتزام معین من فعل أو ترک، قال صاحب الجواهر: "المراد من عدم العوض عدم لزوم ذلک فی الهبة، لا عدم جوازه فیها". و فرق واضح بین عدم اللزوم و الوجوب، و بین عدم الجواز، فان عدم اللزوم لا یتنافى مع وجود العوض، أما عدم الجواز فإنه یأبى وجود العوض إباء کلیا.
[3]. Jawâhir al-Kalâm, Muhammad Hasan Najafi, jil. 28, hal. 159-160, Cetakan Ketujuh, 1981 M, Beirut – Libanon.
[4]. Jawâhir al-Kalâm, jil. 28, hal. 191-192.
[5]. Tahrir al-Wasilah, jil. (1-2), hal. 555.
[6]. Tahrir al-Wasilah, jil. (1-2), hal. 554-556.
[7]. Tahrir al-Wasilah, jil. (1-2), hal. 556.
[8]. Taudhih al-Masail Marâji’, jil. 2, Hibah, (Istifta’at Pemimpin Agung Revolusi), hal. 997.
[9]. Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 58, Masalah 8. Minhâj al-Shâlihin (Siistani), jil. 2, hal. 409, Masalah 1321.