Kiranya kita harus memerhatikan beberapa poin berikut ini:
1. Nabi saw disebut sebagai khatam al-anbiya dan sebagai ikutannya kepamungkasan (khâtamiyyah) agama Islam disebutkan pada ayat 40 surah al-Ahzab dan makna ayat menandaskan bahwa melalui perantara Rasulullah saw kenabian berakhir dan gerbang kenabian telah ditutup.
2. Rahasia kepamungkasan (khâtamiyyah), dari satu sisi, kembali pada dua persoalan:
a. Kesempurnaan agama Islam; karena tidak ada keterbatasan dari sisi pembawa pesan (Nabi saw) juga tidak berasal dari objek yang disampaikan pesan (mukhatab). Karena itu, Islam mampu menyampaikan seluruh pesannya kepada umat manusia.
b. Keterjagaan Islam dari pelbagai jenis distorsi dan penyimpangan.
3. Agama Islam terbentuk dari unsur-unsur permanen dan berubah-ubah. Menginferensi unsur-unsur permanen dan berubah-ubah dari agama serta menjawab seluruh kebutuhan petunjuk manusia telah ditetapkan melalui metode yang diperkenalkan Ahlulbait as dan inilah yang disebut sebagai ijtihad. Penerapan metode ini dan keterjagaan Al-Quran (narasumber utama Islam) dari penyimpangan meniscayakan keterjagaan agama pamungkas ini.
4. Inferensi (istinbâth) unsur-unsur universalisme dan sampainya pada filsafat agama dan mekanisme Islam dilakukan dengan menggunakan metode jurisprudensial dan analitis serta diselaraskan dengan kemajuan pengetahuan umat manusia; ilmu-ilmu seperti ilmu-ilmu sosial dan natural tidak memberikan pengaruh di dalamnya. Iya, untuk mendesain dan merekayasa pelbagai unsur situasional dibutuhkan ilmu-ilmu seperti ini. Dalam hal ini, kemajuan ilmu pengetahuan dapat memberikan kontribusi dalam mendesain dan merekayasa pelbagai unsur tersebut dengan lebih baik dan akurat. Perubahan yang ada bukan pada unsur-unsur permanen dan universalnya dan memalingkannya kepada unsur-unsur situasional mengingat banyaknya hukum sosial dan pemerintahan Islam termasuk sebagai unsur-unsur universal.
5. Apa yang Anda sodorkan di sini sebagai pandangan Soroush dari satu sisi pandangan ini semata-mata hanyalah sebuah klaim tanpa dalil dan dari sisi lain, terdapat banyak kritikan dari sudut pandang mabâni-nya (fondasi pemikiran) dari pandangan Soroush ini. Pandangan ini berpijak pada anggapan situasionalnya hukum-hukum sosial Islam dan berdasar pada ajaran sekularisme. Pandangan ini tentu saja sebuah anggapan keliru tentang Islam.
6. Sebagaimana yang telah kami utarakan bahwa agama pamungkas (khatam) tidak berhadapan dengan keterbatasan dari sisi mukhatab (objek yang disampaikan pesan) namun hal ini tidak bermakna bahwa seluruh manusia berada pada satu derajat dan level dari sisi pengetahuan sehingga mereka dapat menerima dan memahami seluruh hakikat, melainkan bermakna bahwa jenis manusia pada masa kemunculan agama memiliki kemampuan untuk menjaga warisan agama pada masa tersebut.
Pertama-tama harus dikatakan bahwa:
1. Kepamungkasan Islam termasuk di antara keyakinan yang diterima secara pasti oleh kaum Muslimin yang seluruh mazhab dan firkah dalam Islam sepakat dalam masalah ini. Allah Swt berfirman, Muhammad itu sekali-kali bukanlah ayah dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi (khatamun nabiyyin). Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Ahzab [33]:40) Khâtam (bertimbangan hâtam) bermakna sesuatu berakhir dengan perantaranya.[1] Ia juga bermakna stempel yang umumnya ditorehkan di akhir surat atau semisalnya. Karena stempel diletakkan di akhir dan penghujung, maka nama khâtam digunakan sebagai media untuk menstempel. Apabila kita saksikan salah satu makna khâtam adalah cincin hal itu disebabkan oleh peran stempel-stempel biasanya dipasang pada cincin-cincin mereka yang dengan perantara cincin mereka menstempel surat-suratnya.[2] Karena itu redaksi ayat yang menegaskan bahwa Nabi saw sebagai penutup para nabi bermakna kenabian ditutup dengan perantaranya dan sesudahnya tidak akan ada lagi seorang nabi yang diutus.[3] Sebagian ulama mengungkapkan demikian terkait dengan khâtam (pamungkas, penutup) dan khâtamiyyah (kepamungkasan): al-Khâtim man khatama al-marâtib biasriha.” Artinya bahwa nabi pamungkas adalah nabi yang telah melintasi dan melewati seluruh tingkatan dan dalam pandangannya tidak ada yang tidak terlewati olehnya dan oleh perbuatannya.”[4]
2. Terdapat perselisihan pendapat terkait dengan rahasia khâtamiyyah (kepamungkasan) di kalangan ulama.[5] Kami meyakini bahwa sesuai dengan fitrahnya adalah sosok yang senantiasa mencari Tuhan. Akan tetapi fitrah ini tidak memadai terkait dengan apa pun yang dipilihnya atau ajaran apapun yang diyakininya itu sebagai sesuatu yang benar (hak). Tidak demikian adanya. Fitrah merupakan kecenderungan yang harus dibimbing ke jalan lurus di bawah cahaya petunjuk. Allah Swt, di samping akal yang merupakan rasul batin, menganugerahkan rasul lahir untuk menjelaskan apa pun yang tidak dapat dipahami dan dicerap oleh akal. Seluruh nabi diutus kepada kita untuk menunjukkan ke jalan terang petunjuk dan masing-masing mereka berhadapan dengan dua keterbatasan dan satu ancaman. Pertama, keterbatasan para nabi dalam menyampaikan wahyu dan penerimaan hakikat. Kedua, keterbatasan objek penerima pesan (mukhâtab) dalam memahami hakikat. Sementara, satu ancaman berupa distorsi dan penyimpangan jalan agama. Karena itu, setiap agama terkait dengan agama sebelumnya dari satu sisi merupakan pelengkap dan penyempurna. Dan, dari sisi lain berperan sebagai pengoreksi. Hal ini terus berlanjut hingga datangnya agama pamungkas yaitu Islam.
Pada agama sempurna, tidak terdapat keterbatasan dari sisi pembawa pesannya (Nabi saw) dan juga tidak tidak terdapat keterbatasan dari sisi objek penerima pesan tersebut (mukhâtab). Dan juga dari sisi lain, agama pamungkas ini terjaga dari bahaya penyimpangan. Artinya agama ini diutus kepada seorang nabi yang berada pada puncak pengetahuan dan dari sisi lain, tersedia ruang untuk memahami pesan-pesan agama ini bagi manusia. Artinya, setidaknya sebagian orang menemukan kesiapan ini ketika makrifat menjulang Ilahi harus ditemukan pada ketinggiannya.[6] Dengan tersingkirnya dua keterbatasan di atas, Islam mampu menyampaikan seluruh pesannya yaitu seluruh petunjuk Ilahi yang sebagian dari pesan tersebut telah dijelaskan pada agama-agama sebelumnya. Sejatinya, Islam merupakan agama sempurna dan agama pamungkas.
Agama pamungkas harus terjaga dari penyimpangan dan pada Islam keterjagaan ini terealisasi dengan dua faktor:
- Keterjagaan sumber utamanya yaitu Al-Quran dari penyimpangan.
- Meletakkan batu pertama sebuah metode yang metode tersebut menyediakan ruang dan tempat untuk memahami agama dan dengan memanfaatkan metode tersebut mereka merujuk kepada sumber-sumber agama.[7]
Agama-agama Ilahi, menyitir Muthahhari, terbentuk dari dua bagian. Satu bagian, unsur permanen agama dan bagian lainnya, unsur-unsur yang mengalami perubahan.[8] Bagian agama-agama Ilahi yang memiliki unsur permanen dan universal, meliputi seluruh ruang dan setiap waktu. Sejatinya unsur permanen ini terkait dengan bagian identitas manusia yang senantiasa bersifat tetap dan permanen. Akan tetapi, agama-agama Ilahi juga memberikan ruang terhadap sisi yang berubah pada diri manusia. Sisi ini terealisasi dalam format unsur-unsur dan hukum-hukum yang berubah (sebagian dari hukum-hukum agama yang bergantung pada ruang dan waktu). Menyimpulkan unsur-unsur tetap dan berubah agama dapat dilakukan dengan menggunakan metode yang disebut ijtihad yang telah ditetapkan oleh Ahlulbait.[9] Dengan menggunakan metode ini, kita dapat menjawab secara positif seluruh kebutuhan petunjuk manusia.
Jelas bahwa luasnya area pembahasan fikih pada masa sekarang ini dan dan kurangnya pembahasan ini pada masa lalu disebabkan oleh semakin luasnya kebutuhan manusia dewasa ini. Akan tetapi, kita tidak boleh memandang bahwa kita harus meninggalkan hukum-hukum abadi Islam untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhan manusia. Atau hal ini sendiri kita pandang sebagai bukti bahwa kita tidak lagi memerlukan ajaran-ajaran para nabi. Melainkan seluruh kemajuan hanya dapat dicapai di bawah pancaran ajaran para nabi dan melalui metode yang dibangun oleh para maksum (ijtihad).
Hal ini dapat diilustrasikan sebagai berikut. Anggaplah beberapa guru matematika ditugaskan untuk mengajarkan murid-murid matematika sehingga secara gradual mereka menguasai matematika. Masing-masing dari murid, melalui beberapa guru, sebagian telah menguasai matematika dan kaidah-kaidah universalnya sehingga tibalah giliran guru terakhir. Guru terakhir di samping mengajarkan kaidah-kaidah universal, ia juga mengajarkan empat praktik utama (penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian) dan juga mengajarkan kaidah-kaidah umum terkait dengan empat praktik utama ini. Misalnya, hasil perkalian nol kali nol adalah sama dengan nol atau hasil penambahan dua angka yang sama adalah lebih besar hasilnya dari pengurangan dua angka tersebut. Dan puluhan bahkan ratusan kaidah lainnya.
Selanjutnya, semakin maju para murid melalui empat praktik utama ini, maka semakin mereka dapat menemukan hubungan dan subjek-subjek baru dalam matematika yang dalam temuan-temuan baru ini ia harus menunaikan kaidah-kaidah utama dan umum yang diajarkan oleh guru sehingga ia dapat menuai hasil yang tepat. Dalam kondisi seperti ini, kita berkata bahwa guru terakhir telah mengerjakan tugasnya dengan baik. Dari satu sisi, tidak satu pun murid yang berkata bahwa mereka tidak lagi memerlukan pelajaran guru dan ingin menemukan sendiri hukum-hukum baru dalam matematika. Karena, pertama-tama, konstruksi dan bangunan kemajuan adalah terletak pada empat praktik utama itu dan dari sisi lain, sesuainya temuan-temuan baru dengan kaidah-kaidah umum yang telah diajarkan merupakan penjamin kebenaran dan validitas temuan-temuan ini.
3. Pandangan yang dilontarkan oleh Dr. Soroush dalam pembahasan khâtamiyyah sejatinya bukanlah sebuah pandangan baru. Ia sekedar memolesnya dengan kemasan baru. Pandangan yang dilontarkan Soroush sebenarnya merupakan sebuah jawaban atas pertanyaan bahwa apakah kepamungkasan (khâtamiyyah) sebuah agama, dengan pelbagai kondisi kebudayaan, keilmuan dan sosial manusia pada masa pewahyuan agama memiliki hubungan dengan masa setelah pewahyuan atau tidak? Jawaban Dr. Soroush adalah jawaban yang diberikan oleh Iqbal Lahore meski dalam kemasan baru. Ia berkata, “Khâtamiyyah bermakna bahwa manusia mencapai usia balig ketika ia tidak lagi memerlukan agama.”[10] Atau ajaran-ajaran nabi sedemikian luas sehingga masyarakat tidak lagi memerlukan ajaran dan nabi baru. Kondisi sedemikian persis sama dengan tidak perlunya murid terhadap guru ketika ia sudah mencapai kedudukan sebagai seorang guru.[11]
Adapun Iqbal menjelaskan bahwa sebagaimana seluruh manusia pada tingkatan-tingkatan pertama memerlukan manusia lainnya dan secara gradual, fakultas rasa, berfantasi (takhayyul) dan berpikir berkembang dalam dirinya, mereka tidak lagi memerlukan petunjuk instingnya. Umat manusia yang dewasa ini telah melewati masa kecilnya mereka tidak lagi memerlukan wahyu.[12] Iqbal meyakini bahwa rahasia kepamungkasan Islam terletak pada bahwa manusia dalam pancaran pelbagai petunjuk Islam akan memasuki sebuah masa tatkala pada masa tersebut ia tidak lagi membutuhkan agama.[13]
Pendapat ini mirip-mirip dengan apa yang disampaikan oleh puak Marxisme. Artinya, mereka memandang bahwa tabiat manusia pada masa awal-awal Islam dan setelahnya sebagai kriteria kepamungkasan Islam. Mereka berkata bahwa dalil proklamasi kepamungkasan dari sisi Nabi saw adalah karena kejeniusan dan potensi yang dimilikinya yang memahami bahwa agama dan keberagamaan segera akan tertutup lantaran manusia dapat mengakses pengetahuan baru.[14]
4. Jelas bahwa pandangan semacam ini dapat dikritisi dengan menggunakan alat kritik Syahid Muthahhari, yaitu menjelaskan akhir sebuah agama bukan akhir kenabian. Di samping itu, apabila ucapan Soroush kita terima dan menerima rahasia kepamungkasan sebagaimana yang diungkapkan Soroush, maka konsekuensinya adalah pertama, “Mayoritas masyarakat, dengan berlalunya waktu, menemukan kecenderungan terhadap Islam itu pun Islam murni sementara tidak demikian adanya.”[15] Kedua, fondasi agama dan akar pembahasan kepamungkasan agama seperti definisi agama,[16] performa agama,[17] tujuan pengutusan para nabi,[18] universalitas agama,[19] kehadiran agama pada seluruh strata kehidupan[20] dan kemampuan agama menjawab seluruh persoalan personal dan sosial[21] dan seterusnya,[22] sedemikian mengalami perubahan sehingga selaras dengan ucapan-ucapan ini; misalnya, berseberangan dengan pelbagai indikasi sejarah dan bukti-bukti Qurani, riwayat dan akal maka kita harus memandang bahwa tujuan pengutusan para nabi hanya berkaitan dengan urusan ukhrawi bukan untuk mengatur agama dan dunia masyarakat. Dan meyakini ajaran Sekularisme dan mengingkari universalitas dan serba-meliputinya agama atau hukum-hukum Islam itu tidak abadi dan sifatnya selintasan belaka dan meyakini kemajuan pengetahuan manusia, hukum-hukum juga akan beragam dan harus yakin pada teori konstraksi (qabdh) dan ekspansi (basth) syariat…[23] Sementara, pada tempatnya, banyak kritikan asasi yang dapat dilontarkan atas dasar pemikiran ini.[24] Dengan menggerusi akar-akar pembahasan khâtamiyyah, maka pastinya penafsiran Dr. Soroush terkait dengan khâtamiyyah juga akan tergerusi.
Karena itu, tiadanya keterbatasan pada organ agama pamungkas dari sisi objek wicaranya (mukhâtab) tidak bermakna bahwa seluruh masyarakat telah sampai pada tingkatan makrifat yang memberikan kemampuan kepada mereka untuk memahami dan mencerap seluruh hakikat, melainkan bermakna bahwa secara mayoritas orang-orang pada masa awal kemunculan agama memiliki kemampuan dan potensi untuk menjaga warisan-warisan agama. Dengan kata lain, agama pamungkas dengan pelbagai kondisi sosial, kebudayaan dan keilmuan masyarakat memiliki hubungan dengan masa kemunculan agama dan setelah kemunculannya. Artinya, terdapat ruang untuk menjaga dan memelihara agama di antara masyarakat melalui sebagian orang yang dapat sampai pada hakikat agama dan menyampaikannya keapda orang lain. Bukan bermakna bahwa agama telah menjadi pelajaran-pelajaran umum dan masyarakat sendiri tanpa membutuhkan agama dan merujuk kepadanya, bahkan tanpa mereka harus tahu, mereka menjaga agama.
5. Sebagaimana yang telah dijelaskan, agama Islam memiliki dua unsur tetap (universalitas) dan berubah (situasional). Kebutuhan kita terhadap pengetahuan adalah terkait dengan desain dan rekayasa. Dan kemajuan ilmu pengetahuan dapat memberikan kontribusi dalam mendesain dan merekayasa pelbagai unsur tersebut dengan lebih baik dan akurat. Perubahan yang ada bukan pada unsur-unsur tetap dan universalitasnya dan memalingkannya kepada unsur-unsur situasional mengingat banyaknya hukum sosial dan pemerintahan Islam termasuk sebagai unsur-unsur universal. Sementara inferensi unsur-unsur universalitas dan sampainya pada filsafat, maktab dan sistem Islam dilakukan dengan metode yurisprudensial dan analitis.[25] Apa yang dibutuhkan adalah desain dan rekayasa pada unsur-unsur yang berubah (situasional) itu, bukan pada unsur-unsur tetapnya. Unsur-unsur tetap tidak terkhususkan pada hukum-hukum ibadah saja, melainkan termasuk hukum-hukum sosial dan pemerintahan Islam. Artinya, seluruh hukum sosial dan pemerintahan Islam tidak berada dalam format unsur-unsur situasional dan banyak unsur universalitas dapat dijumpai di dalamnya yang dengan melakukan inferensi unsur-unsur ini, kita dapat mengakses pada filsafat, maktab dan sistem Islami pada domain-domain khusus seperti ekonomi, politik dan hukum konvensional.[26] [IQuest]
[1] Majma’ al-Bahrain, jil. 6, hal. 53.
[2] Silahkan lihat, Tafsir Nemune, jil. 17, hal. 339; Al-Mizân (terjemahan Persia), jil. 16, hal. 487; Âmuzesy-e ‘Aqâid (Iman Semesta), Misbah Yazdi, hal. 288, Intisyarat-e Baina al-Milal, edisi satu jilid.
[3] Al-Mizan, (terjemahan Persia), jil. 16, hal. 487.
[4] Khâtamiyyat, Syahid Muthahhari, hal. 70.
[5] Misalnya Mulla Shadra Syirazi memandang berakhirnya silsilah kenabian (khatamiyyat) dalam Islam lantaran kesempurnaan akal-akal manusia (Syarh Mulla Shadra Syirazi bar Ushûl Kâfi, hal. 110). Penulis kitab Jawahir, dengan mengkritisi pandangan ini, berkata, “Rahasia berakhirnya silsilah kenabian (khatamiyyah) agama Islam adalah universalitas dan serba-meliputinya agama Islam dan keselarasannya dengan pelbagai perubahan dan pergolakan.” (Majma’ al-Rasâil, hal. 9-11)
[6] Mahdi Hadawi Tehrani, Bâwar-hâ wa Pursesy-hâ, hal. 41.
[7] Ibid, hal. 45-58.
[8] Ibid, hal. 30-31.
[9] Murtadha Muthahhari, Khâtamiyyat, hal. 144-145.
[10] Bâwar-hâ wa Pursesy-hâ, hal. 86 & 87.
[11] Risye dar Ab ast, Kiyan, No. 29, hal. 5, sesuai nukilan dari Bâwar-hâ wa Pursesy-hâ, hal. 36; Demikian juga silahkan lihat, Basth-e Tajrebe Nabawi, hal. 95.
[12] Risye dar Ab ast, hal. 13 dan 14, dengan ringkasan.
[13] ‘Abdullah Nashri, Intizhâr-e Basyar az Din, hal. 106.
[14] Bâwar-hâ wa Pursesy-hâ, hal. 35.
[15] Ibid, hal. 34.
[16] Ibid, hal. 37.
[17] Silahkan lihat, Amuzesy Aqaid (Iman Semesta), Misbah Yazdi, hal. 11 dan 12.
[18] Agama adalah sebuah metode khusus yang menyediakan kebaikan dunia yang sesuai dengan kesempurnaan akhirat dan kehidupan abadi manusia. Karena itu, dalam syariat harus ada aturan-aturan yang menjelaskan pedoman hidup yang sesuai dengan kebutuhan, al-Mizân (Terjemahan Persia), jil. 2, hal. 187.
[19] Tujuan pengutusan para nabi adalah kesempurnaan manusia dalam dimensi personal dan sosial.
[20] Silahkan lihat, 1. Qalamruye Din; Gustare Syariat; Intizhâr-e Basyar az Din, Abdulhusain Khusrupanah. 2. Mabâni Kalâmi Ijtihâd, Mahdi Hadawi Tehrani. 3. Jâmi’iyyat wa Kamâl-e Din, Ali Rabbani Gulpaigani.
[21] Silahkan lihat, Intizhâr-e Basyar az Din, Abdullah Nashri, hal. 308-349 dan 222-305.
[22] Ijtihad dan istinbâth sebagai metode untuk menerapkan kondisi yang ada dengan prinsip dan kaidah universal merupakan salah satu tipologi Islam sehingga tidak satu pun masalah yang tidak terjawab, Farhangg-e Tasyrihi Istilahat-e Ushul, Wilai, hal. 17-23.
[23] Silahkan lihat, Bâwar-hâ wa Pursesy-hâ, hal. 123-170.
[24] Dengan menelaah kitab Bâwar-hâ wa Pursesy-hâ dapat menemani Anda dalam menyingkap kebenaran yang dicari.
[25] Silahkan lihat, Mabâni Kalâmi Ijtihâd, hal. 383-405; Maktab wa Nizhâm-e Iqtishâdi Islâm, Mahdi Hadawi Tehrani, hal. 21-44.
[26] Silahkan lihat, 1. Maktab wa Nizhâm-e Iqtishâdi Islâm, Mahdi Hadawi Tehrani. 2. Qedhâwat dar Islâm, Mahdi Hadawi Tehrani.