Sesuai dengan fatwa seluruh marja taklid, haram hukumnya memakan daging kelinci. Fatwa ini dikeluarkan berdasarkan beberapa riwayat yang memandang keharaman memakan daging kelinci. Karena itu, hukum ini adalah bersumber firman dan titah Allah Swt. Firman Allah Swt harus dipatuhi karena merupakan titah. Bukan karena kita mengetahui terhadap kemaslahatan dan hikmah-hikmahnya, tetapi lantaran kita meyakini bahwa Allah Swt Mahabijaksana. Seluruh perintah dan larangan-Nya berdasarkan kemaslahatan dan keuntungan para hamba-Nya. Meski sekarang ini kita tidak mengetahui falsafah keharaman tersebut. Akan tetapi terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan falsafah keharaman ini bahwa hewan (kelinci) ini adalah termasuk dari hewan-hewan yang telah mengalami maskh (perubahan) dan seterusnya.
Sesuai dengan fatwa seluruh marja taklid, haram hukumnya memakan daging kelinci.[1] Seluruh hukum dan instruksi Ilahi memiliki kemaslahatan dan hikmah-hikmah yang menjulang. Sebagian marja menyebutkan riwayat-riwayat tersebut dan sebagian lainnya diserahkan kepada mukallaf sendiri, dengan bantuan akal dan pengetahuan, untuk dapat mengakses riwayat-riwayat yang terkait dengan keharaman memakan daging kelinci.
Namun dalam beberapa hal akal tidak mempunyai kemampuan untuk menyingkap rahasia-rahasia atau minimal sekarang ini, dengan segala kemajuan dan media teknologi, belum mampu mengetahui hikmah hukum-hukum ini. Boleh jadi suatu hari di masa depan hikmah-hikmah tersebut akan tersingkap bagi umat manusia. Karena itu, hikmah kebanyakan instruksi Ilahi masih belum terang bagi manusia, namun kita yakin terhadap kemahabijaksanaan Tuhan. Dalam segala hal kita mengikuti hukum syariat.
Ada baiknya kita mengetahui bahwa sebaik-baiknya ibadah adalah bahwa seluruh titah dan instruksi Ilahi dipatuhi dan ditaati dari sisi rububiyah (Allah Swt sebagai pemelihara) dan maulawiyah (Allah Swt sebagai Tuan) meski sebab dan hikmah instruksi dan hukum Ilahi tersebut masih belum terang bagi manusia. Peran dan kedudukan manusia sebagai abdi dan hamba akan tampak jelas di sini. Karena seseorang yang mengingkari Tuhan apabila memahami kemaslahatan hukum-hukum Ilahi maka ia juga akan beramal berdasarkan hal tersebut. Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan antara seorang kafir dan seorang mukmin yang patuh dan taat karena kemaslahatan-kemaslahatan hukum ini.
Dalil kehormatan memakan daging kelinci adalah beberapa riwayat yang telah dinukil dari para Imam Maksum As. Dalam beberapa riwayat ini para Imam Maksum As memandang haram memakan daging kelinci. Ulama Syiah (fukaha) dengan memperhatikan beberapa riwayat ini mengeluarkan hukum keharaman memakan daging kelinci.
Dalam riwayat-riwayat ini terkait dengan sebab keharaman daging kelinci kita dapat menjumpai tiga persoalan sebagai berikut:
1. Pada sebagian riwayat diseutkan bahwa kelinci termasuk bagian dari hewan-hewan yang telah mengalami maskh (mengalami perubahan dari satu bentuk menjadi bentuk yang lain). Oleh itu, memakan daging kelinci hukumnya haram. Rasulullah Saw bersabda, “Monyet, babi, anjing, gajah, serigala, tikus, kelinci, cicak dan lain sebagainya adalah hewan-hewan yang telah mengalami maskh dan tidak dibenarkan memakannya.”[2]
Terdapat beberapa riwayat lainnya dengan kandungan yang sama yang dinukil dari para Imam Maksum As. Syahid Tsani berkata, “Maksud dari riwayat-riwayat ini adalah bahwa (dulunya hewan-hewan ini adalah) manusia-manusia yang telah mengalami perubahan (maskh) kemudian menjadi hewan-hewan seperti ini. Karena manusia yang telah mengalami maskh (perubahan) tidak akan bertahan lebih dari tiga hari dan akan segera mati.”[3]
Karena itu, yang dimaksud riwayat-riwayat ini tidak bermakna bahwa hewan-hewan yang ada sekarang ini dulunya merupakan manusia-manusia yang telah mengalami maskh (perubahan).
Mungkin dapat dikatakan bahwa perubahan yang dialami oleh sebagian manusia pendosa berbentuk hewan-hewan seperti ini menunjukkan adanya hal yang menjijikkan dalam hewan-hewan ini lantaran kalau tidak demikian lantas mengapa Allah Swt tidak lagi merubah para pendosa ini menjadi hewan-hewan? Boleh jadi hal yang menjijikkan ini baik secara material atau spiritual yang terdapat pada hewan-hewan ini menjadi sebab keharaman daging mereka.
2. Pada sebagian riwayat disebutkan bahwa “Kelinci adalah haram. Lantaran seperti kucing dan hewan-hewan buas yang memiliki cakar.”[4] Hewan-hewan yang memiliki cakar adalah hewan-hewan yang haram dagingnya untuk dikonsumsi.
3. Dalam sebuah riwayat lainnya, Imam Ridha As bersabda, “Karena kelinci memiliki darah yang mirip dengan darah para wanita maka dagingnya haram.”[5]
Singkatnya sebab utama dan ril atau dengan kata lain, sebab “lengkap” seluruh hukum tidak jelas bagi kita dan apa yang disebutkan dalam beberapa riwayat hanya hikmah sebagian hukum. Sebab lengkap (illah tam) kebanyakan hukum masih belum jelas bagi kita. Namun mengingat kita meyakini bahwa Allah Swt Mahabijaksana dan Mahamengetahui bahwa apabila Dia menyeru kita untuk melakukan sebuah pekerjaan maka tentu saja dalam pekerjaan tersebut terkandung sebuah kemaslahatan dan keuntungannya akan kita dapatkan. Apabila Tuhan melarang kita untuk meninggalkan sebuah amalan maka tentu saja terpendam keburukan (mafsadah) dan kerugian di dalamnya. Dan sekiranya kita tidak meninggalkannya maka kita sendiri yang akan menderita kerugian dan tertimpa keburukan. [IQuest]
[1]. Najâh al-‘Ibâd (Li al-Imâm al-Khomeini), hal. 336. Majma’ al-Masâil (li al-Gulpaigani), jil. 1, hal. 54. Taudhih al-Masâil (al-Muhassyâ li al-Imâm al-Khomeini), jil. 2, hal. 601. Mas’alah Ikhtishâshi (Bahjat, Masalah 2114)
[2]. Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 3, hal. 336, Intisyarat-e Jami’a al-Mudarrisin, Qum, 1413 H.
[3]. Al-Raudhah al-Bahiyyah, Syahid Tsani, jil. 5, hal. 24, Riset oleh Ahmad Dasyti Najafi, Cetakan Pertama, Majma’ al-Dzakhair al-Islamiyah, Qum, 1429 H.
[4]. Wasâil al-Syiah, Syaikh Hurr ‘Amili, jil. 24, hal. 109, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1409 H.
[5]. Ibid.