Masalah pernikahan dan membentuk ikatan rumah tangga merupakan masalah yang paling penting dalam kehidupan manusia semenjak awal sejarah kehidupan manusia. Pernikahan dan ikatan rumah tangga merupakan masalah terpenting dan rukun asasi dalam masyarakat manusia. Jelas bahwa masalah yang amat penting seperti ini harus dilakukan dengan penuh kesadaran, rasionalitas dan penuh perhitungan; karena masa depan sebuah keluarga akan dimulai dengan pernikahan ini. Ribuan masalah seperti masalah melanjutkan keturunan, pembinaan generasi, pendidikan, pengajaran anak dan sebagainya dapat muncul sebagai konsekuensi dari pernikahan ini.
Karena itu, tatkala seseorang ingin melangsungkan pernikahan, maka ia seharusnya mengkaji seluruh dimensi yang ada. Melakukan penilitian dan pengenalan akurat serta tidak menyandarkan urusannya semata pada istikhâra dan suratan nasib.
Adapun terkait dengan masalah pernikahan, masalahnya seperti pelbagai masalah lainnya. Manusia setelah berpikir matang dan menimbang pelbagai sudut pandang serta setelah melakukan musyawarah dengan orang lain dengan memanfaatkan pengalaman-pengalaman namun tetap tidak sampai pada sebuah keputusan, kabut keraguan dan sangsi masih menyelimuti, maka ia dapat menyandarkan urusannya dengan melakukan istikhâra. Dengan melakukan istikhâra, ia bermohon kepada Allah Swt untuk menolongnya dalam masalah ini. Melakukan istikhâra tidak ada halangannya dari sudut pandang agama. Hanya saja harus diperhatikan bahwa istikhâra tidak dilakukan kecuali untuk menghilangkan keraguan di antara dua pilihan yang ada.
Yang pokok dalam istikhâra adalah istikhâra mutlak. Artinya bahwa manusia menjadikan pandangan, pendapat dan pelbagai perbuatannya sebagai sandaran dan pijakan, melainkan memohon pertolongan kepada Allah dan meminta kebaikan (khair) dari-Nya. Bertawakkal kepada-Nya. Menyandarkan segala urusan kepada-Nya yang Mahatahu dan Bijaksana. Oleh itu, saran kami kiranya Anda bertawakkal dan berserah diri kepada-Nya setelah memperhatikan beberapa penjelasan di atas. Dan penting untuk diingat bahwa masalah "kufu" (selevel tidaknya) di antara keluarga juga harus menjadi bahan pertimbangan dalam menjatuhkan pilihan kepada salah seorang yang diminatinya.
1. Sejarah pernikahan dan masalah perkawinan sebanding dengan sejarah umat manusia. Semenjak zaman Adam dan Hawa As hingga sekarang masalah pernikahan merupakan masalah yang paling penting dan rukun asasi dalam kehidupan masyarakat manusia. Ikatan pernikahan merupakan titik-sambung dalam kehidupan manusia dan termasuk masalah yang senantiasa mengemuka dalam keseharian manusia. Sedemikian sehingga agama-agama Ilahi pun pada tingkatan tertentu menyampaikan pandangannya masing-masing dan memperkenalkan kepada manusia aturan-aturan dan syarat-syarat pernikahan. Islam sebagai agama pamungkas Ilahi dengan memandang secara tajam, dalam dan realistis terhadap manusia dan pelbagai kebutuhannya, mengemukakan pandangan-pandangan khusus tentang masalah ini. Di antara sekumpulan maarif dan ajaran-ajaran agama Islam dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan Islam pernikahan dan pembentukan institusi rumah tangga merupakan masalah yang paling dicintai di hadapan Allah Swt.[1]
2. Dalam masalah pernikahan, kriteria dan standar dalam memilih istri dalam Islam adalah agama dan akhlak budiman. Nabi Saw dalam hal ini bersabda: "Apabila seseorang datang (kepadamu) untuk meminang dan engkau senang dengan akhlak dan agamanya maka terimalah pinangannya. Apabila engkau tidak melakukan (hal tersebut), maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di bumi."[2]
3. Akal merupakan anugerah terbesar yang diberikan kepada umat manusia. Manusia dengan pelita akalnya dapat melintasi jalan-jalan gelap kehidupan dan melewati berbagai kesulitan dan marabahaya. Al-Qur'an banyak memberikan anjuran untuk memberdayakan akal dan berpikir rasional. Dan dalam pandangan al-Qur'an bahwa seburuk-buruk makhluk adalah orang-orang yang tidak memanfaatkan akalnya.[3] Lebih tinggi dari ini, secara asasi, salah satu sebab utama pengutusan para nabi adalah pemberdayaan akal manusia.[4] Bersandar pada akal dan memberdayakan pelita cerlang ini memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Sedemikian tinggi derajatnya sehingga dalam syariat akal dijadikan sebagai salah satu sumber inferensi (istinbâth) hukum-hukum syariat.[5]
4. Demikian juga dalam ajaran-ajaran agama, sangat dianjurkan kepada manusia untuk mencari faktor-faktor yang mendukung dalam melahirkan sebuah keputusan rasional, mencari kebenaran, transparansi dalam berpikir dengan mencari dukungan dari akal. Dan yang paling penting dari hal tersebut adalah "musyawarah." Musyawarah yaitu berpikir kolektif untuk dapat dengan mudah membuka simpul-simpul kecil yang terajut kusut dalam pikiran-pikiran invidivual. Dengan bermusyawarah, cela yang terdapat pada akal invidual, hingga pada tataran tertentu, dapat ditutupi dan sejumput informasi dan pengalaman yang dimiliki orang-orang dalam beberapa tahun terakhir dapat diperoleh dengan mudah.
5. Acap kali terjadi bahwa manusia setelah berpikir dan bermusyawarah keraguan masih saja menghantui. Di sini akal dan syariat menganjurkan untuk sekali lagi bermusyarawah. Bermusyawarah dengan akal yang tak-terbatas dan Pemilik pengetahuan mutlak terhadap seluruh keberadaan, Mahatahu atas segala keburukan dan kebaikan para hamba, dan menghendaki kebaikan bagi seluruh hamba. Musyarawah semacam ini adalah apa yang disebut dalam kebudayaan Islam sebagai "istikhâra." Istikhârah artinya menghendaki sebaik-baik hal dari dua perkara, permintaan terbaik, memohon kebaikan, menuntut kebaikan.[6] Atas dasar ini, semakin mantap mental dan batin orang yang melakukan istikhâra maka kemantapannya dalam istikhâra akan semakin tinggi.
Istikhâra memiliki dua makna. Istikhâra bermakna hakiki sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dan hadis yaitu mencari kebaikan dari Tuhan. Jenis istikhâra seperti ini sejatinya merupakan cabang dan ranting doa. Istikhâra semacam ini adalah istikhâra mutlak, yang tidak terkhusus pada adanya keraguan dan sangsi. Istikhâra semacam ini pada hakikatnya meminta pertolongan kepada Tuhan dan menyandarkan urusan kepadanya dalam pelbagai urusan dan perbuatan dalam kehidupan kita. Oleh itu, kita jumpai sebuah riwayat yang berasal dari Imam Shadiq As yang bersabda: "Allah Swt berfirman: "Min syiqai 'abdi an la ya'mal al-a'amal wala yastakhirini." Di antara kecelakaan hamba-Ku adalah bahwa ia bekerja tanpa melakukan istikhâra dari-Ku (memohon kebaikan)." Karena itu, sesuai dengan riwayat, jenis istikhâra semacam ini bukan untuk melepaskan manusia dari keraguan dan keheranan, melainkan istikhâra yang diperlukan pada setiap tingkatan untuk mendapatkan sebuah pekerjaan baik, terpuji dan melegakan.
Makna kedua istikhâra adalah memohon kebaikan dari Tuhan supaya terbebas dari kebingungan dan keheranan yang terkhusus ketika seseorang berada dalam keraguan untuk memilih satu di antara beberapa pilihan.
Bagaimanapun, apabila istikhâra dilakukan setelah shalat, doa, bersuci (thaharah) dan memiliki kehadiran hati (hudhur qalb) maka istikhâra sedemikian tentu saja lebih baik; karena dalam adab-adab istikhâra para Imam Maksum diperintahkan sedemikian.[7]
6. Ihwal kedudukan istikhâra dalam kebudayaan agama kita (Islam) maka harus dikatakan bahwa secara asasi terdapat tiga pandangan terkait dengan masalah ini:
a. Kelompok yang berpandangan bahwa istikhâra adalah sebuah perbuatan yang tidak melibatkan pikiran, rasionalitas dan pengkajian atas sebuah masalah, hasil seluruh pekerjaan semata-mata disandarkan pada istikhâra.
b. Kelompok lain yang secara asasi semata-mata bersandar pada akal (rasionalis) dan mengingkari istikhâra.
c. Adapun kelompok ketiga, dengan mengakui kedudukan dan posisi akal dan mengenal peran musyawarah, berpandangan bahwa istikhâra merupakan cara rasional dan berada pada tataran inteleksi dan berpikir rasional. Sesuai dengan pandangan ini, tiada halangan dan dalih untuk menolak istikhâra dari sudut pandang agama; karena istikhâra tidak lain kecuali menentukan salah satu dari dua pilihan atau pekerjaan yang harus dilakukan. Istikhâra tidak menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Istikhâra tidak mewajibkan sesuatu yang tidak wajib atau sebaliknya. Pendeknya istikhâra tidak berposisi ingin merubah hukum-hukum Allah, melainkan semata-mata berkata, orang yang melakukan istikhâra, apakah baik untuknya apabila ia melakukan atau meninggalkan sebuah perbuatan atau tidak sehingga dengan istikhâra ini, ia dapat terbebas dari sikap sangsi dan ragu. Adapun terkait dengan persoalan bagaimana atau apa pengaruh mengerjakan atau meninggalkan suatu pekerjaan di masa mendatang dan peristiwa apa yang akan terjadi tidak berada di atas pundak istikhâra (tidak terkait dengan masalah istikhâra).
7. Adapun ucapan bijak yang disampaikan oleh Hafizh Syirazi bahwa "Dar kâr-e khair hajat hich istikhâra nist." (Dalam memenuhi sebuah hajat yang baik tidak diperlukan istikhâra) merupakan ucapan yang sangat tepat dan baik. Inti persoalan pernikahan merupakan sebuah perbuatan baik dan sangat dianjurkan dalam agama. Tentu saja dalam melakukan perbuatan baik seperti ini tidak diperlukan istikhâra. Namun terkait dengan persoalan khusus dalam memilih Anda sebagai calon menantu oleh sebuah keluarga, boleh jadi dari pihak keluarga perempuan, berdasarkan pada banyak alasan, merasa ragu dan sangsi. Boleh jadi mereka memandang baik dan maslahat apabila putri mereka tidak dinikahkan dengan Anda. Dan mungkin bukan karena istikhâra yang menjadi alasan utama penolakan mereka atas lamaran Anda atas putri mereka. Mungkin istikhâra sekedar dalih supaya Anda berubah pikiran dan mengurungkan niat Anda untuk meminang putri mereka.
Salah satu hal yang dianjurkan dalam agam Islam dalam urusan pernikahan adalah masalah "kufu" (selevel) antara pria dan wanita, antara calon suami dan calon istri, antara dua pasangan pemuda dan pemudi; artinya pria tatkala mengajukan pinangan terhadap seorang perempuan, ia harus memperhatikan kondisi keluarga, pikiran, ekonomi, budaya perempuan tersebut. Apakah perempuan ini selevel dengannya atau tidak? Alangkah baiknya apabila keduanya setingkat dan selevel sehingga di masa mendatang kehidupan mereka tidak terjerat masalah yang dapat berakibat pada perceraian mereka.
Anda harus mencari sebab utama penolakan mereka atas pinangan ini dan Anda harus memberikan kemungkinan bahwa penolakan mereka karena Anda tidak termasuk menantu ideal dan idaman bagi mereka. Atau Anda tidak memiliki kriteria untuk menjadi menantu ideal dan idaman bagi mereka. Apabila Anda benar-benar berpikir bahwa gadis tersebut adalah istri idaman dan ideal bagi Anda maka berusahalah untuk memenuhi syarat-syarat yang rasional dan mampu Anda penuhi sehingga Anda memenuhi kriteria idaman tersebut.
Kami sarankan kepada Anda untuk teliti dan berhati-hati dalam urusan pernikahan ini khususnya pada masa sekarang ini dan berusahalah memilih orang untuk kehidupan masa depan yang menaruh perhatian dan memandang penting agama dan akhlak. Sehingga dengan demikian Anda mampu bersamanya menghadapi pelbagai kesulitan hidup dan mencintai hidup di samping Anda.[IQuest]
[1]. Ma buniya fil Islâm binaan ahabba ilaLlah Azza wa Jallah wa a'azza minal tazwij." Mustadrak al-Wasâil, jil. 2, hal. 531.
[2]. Wasâil al-Syiah, jil. 14, hal. 51.
[3]. "Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah orang-orang yang bisu dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun." (Qs. Al-Anfal [8]:22)
4]. Nahj al-Balâgha, khutbah 1.
[5]. "Kullu maa hakama bihi al-'aql hakama bihi al-syar' wa kullu maa hakama bihi al-syar' hakama bihi al-'aql." Segala sesuatu yang dihukumi oleh akal (juga) dihukumi oleh syariat. Dan segala yang dihukumi syariat juga dihukumi oleh akal.
[6]. Farhangg-e Mu'in dan Muntaha al-'Arab, klausul Istikhâra.
[7]. Bihâr al-Anwâr, jil. 91, hal. 222; Wasâil al-Syiah, bab Istikhâra.