Kode Site
fa4410
Kode Pernyataan Privasi
43347
Ringkasan Pertanyaan
Apa tafsir ayat 30 dan 31 surah al-Nur?
Pertanyaan
Jika memungkinkan, mohon Anda jelaskan tentang ayat 30 dan 31 surah al-Nur, penjelasan Anda tentang tafsir-tafsir kedua ayat ini saya butuhkan untuk melengkapi penelitian yang tengah saya lakukan.
Jawaban Global
Kedua ayat ini membahas tentang busana dan hijab perempuan dalam Islam dengan batasan-batasannya. Mengingat Tafsîr Nemune merupakan ringkasan yang diambil dari berbagai tafsir lain, maka kami mencukupkan diri dengan mengambil tafsir kedua ayat ini dari Tafsîr Nemune.
Jawaban Detil
Saat menafsirkan kedua ayat ini, kitab Tafsîr Nemune yang sangat berharga ini mengatakan, Kitab Kâfî dalam memaparkan sya’n nuzul (kondisi pewahyuan) ayat pertama dari dua ayat di atas (yaitu ayat 30) menukilkan sebuah hadis dari Imam Baqir As bahwa seorang pemuda Anshar telah bertemu dengan seorang perempuan di sebuah jalan yang tengah ia lewati –pada masa itu, para perempuan mengenakan kerudungnya dengan menyibakkannya ke belakang telinga- (sehingga secara normal akan memperlihatkan leher dan sebagian dari dada mereka), wajah perempuan ini telah menarik sang pemuda sehingga saat perempuan ini berjalan, matanya terpana mengikuti setiap langkah perempuan ini, sementara ia tetap melanjutkan perjalanannya, hingga akhirnya dengan tetap mengarahkan kepalanya ke belakang untuk memandang perempuan itu, ia memasuki sebuah lorong yang sempit, dan tiba-tiba wajahnya menabrak tembok.
Tanpa ia sadari sebuah tulang atau serpihan kaca yang ada di permukaan tembok telah menacap dan melukai wajahnya! Saat perempuan itu lewat, ia baru tersadar terhadap wajahnya yang telah berlumuran darah dan mengotori baju dan dadanya, lalu (dengan penuh penyesalan) ia berkata kepada dirinya sendiri, demi Allah aku akan mendatangi Rasulullah dan menyampaikan peristiwa ini, saat Rasul Saw menatapnya, beliau bertanya, Apa yang telah terjadi?
Dan pemuda itu menyampaikan peristiwa yang baru saja ia alami, saat itulah Jibrail sang pembawa pesan wahyu, turun dan membawakan ayat dari Allah Swt yang berfirman, “Katakanlah kepada kaum laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya ...”
Tafsir: Menahan Diri dari Pandangan Liar dan Penanggalan Hijab
Surah ini pada hakikatnya merupakan surah yang membicarakan tentang kesucian dari penyimpangan-penyimpangan seksual. Berbagai pembahasan yang ada di dalamnya, memiliki kebersatuan yang jelas dari sisi ini. Ayat-ayat di atas yang menjelaskan tentang hukum-hukum memandang, menahan mata, dan hijab, pun sepenuhnya berkaitan dengan persoalan ini, dan juga bukan hal yang tersembunyi lagi jika pembahasan ini juga berkaitan dengan pembahasan-pembahasan yang terkait dengan tuduhan-tuduhan tak terhormat pada seseorang.
Ayat pertama mengatakan, “Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka...”
Kata “baghdhan” berasal dari kata dasar “ghadh” yang makna awalnya berarti mengurangi, dan pada banyak kasus dipergunakan dengan makna memperpendek suara atau memperpendek pandangan.
Oleh itu, ayat tidak mengatakan bahwa Mukminin harus menutup penglihatannya, melainkan mengatakan mereka harus mengurangi dan memperpendek pandangannya, dan ini merupakan sebuah interpretasi yang lembut, dengan maksud bahwa, jika manusia benar-benar ingin sepenuhnya menutup matanya saat berhadapan dengan perempuan non mahram, maka melanjutkan perjalanan atau hal-hal sepertinya, akan menjadi persoalan yang tak mungkin baginya. Akan tetapi jika ia menolehkan pandangan matanya dari melihat wajah dan tubuhnya, maka seakan ia telah mengurangi pandangannya dan ia telah sepenuhnya menyingkirkan pemandangan yang terlarang ini dari area jangkau pandangannya.
Perlu diperhatikan bahwa al-Quran tidak mengatakan tentang apa yang harus dihindari oleh mata (istilahnya, predikatnya dihapus), sehingga hal ini bisa menjadi argumentasi atas universalitas atau keumuman, yaitu dari memandang seluruh hal yang haram bagi mata untuk memandangnya. Akan tetapi dengan melihat konteks ayat-ayat, terutama ayat setelahnya yang berbicara tentang masalah hijab, maka bisa diketahui dengan jelas bahwa yang dimaksud adalah tidak memandang ke perempuan non mahram, dan sya’n nuzul yang telah kami utarakan di atas, akan menegaskan masalah ini.
Dari apa yang telah kami sampaikan, menjadi jelas bahwa konteks dan pengertian ayat di atas bukanlah bahwa laki-laki tidak boleh memandang ke wajah perempuan dengan terpana, sehingga sebagian menyimpulkan bahwa memandang yang tidak diikuti dengan keterpanaan adalah diperbolehkan, melainkan maksudnya adalah bahwa pandangan mata biasanya menjangkau sebuah area yang luas, kapanpun terdapat perempuan non mahram di area jangkau pandang ini, maka ia harus menurunkan pandangannya sehingga perempuan tersebut keluar dari jangkauan pandangannya, yaitu jangan memandang ke arahnya, akan tetapi lihatlah lika-liku jalan yang tengah ada dihadapannya, dan inilah yang dimaksud dengan “ghadh” dengan makna mengurangi (perhatikan baik-baik).
“Farj” sebagaimana yang sebelumnya telah kami katakan, pada dasarnya bermakna “terbelah” dan “jarak antara dua sesuatu”, akan tetapi dalam kasus seperti ini, kata ini merupakan kiasan dari aurat.
Yang dimaksud dengan “memelihara kemaluan” sebagaimana yang terdapat pada hadis-hadis, adalah menutupinya dari pandangan selainnya, dalam sebuah hadis dari Imam Shadiq As, beliau bersabda, “Setiap ayat dalam al-Quran yang berbicara tentang “memelihara kemaluan”, maka maksudnya adalah menjaganya dari zina, kecuali ayat ini, dimana maksudnya adalah memeliharanya dari pandangan orang lain.”
Dan mengenai kenapa Islam melarang tindakan yang sangat serasi dengan syahwat dan keinginan hati ini, pada akhir ayat berfirman, “... yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka..”
Kemudian, untuk memperingatkan mereka yang melibatkan pandangan matanya dengan nafsu, atau memandang ke arah perempuan non mahram dengan sadar, dan kadangkala mengklaim sebagai sebuah tindakan yang tak disengaja, berfirman, “... sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
Ayat selanjutnya menjelaskan tentang kewajiban para perempuan dalam masalah ini. Pertama mengisyarahkan kewajiban-kewajiban perempuan yang serupa dengan laki-laki, berfirman, “Katakanlah kepada kaum wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka...”
Dengan demikian, “pandangan mata yang liar” sebagaimana hal tersebut diharamkan bagi laki-laki, juga diharamkan bagi kaum perempuan, dan menutup aurat dari pandangan orang lain, baik dari padangan laki-laki maupun perempuan, bagi perempuan pun wajib hukumnya, sebagaimana hal tersebut wajib bagi laki-laki.
Setelah itu, ayat ini menyinggung 4 hukum berkaitan dengan hijab yang merupakan karakteristik perempuan, menyatakan:
Tanpa ia sadari sebuah tulang atau serpihan kaca yang ada di permukaan tembok telah menacap dan melukai wajahnya! Saat perempuan itu lewat, ia baru tersadar terhadap wajahnya yang telah berlumuran darah dan mengotori baju dan dadanya, lalu (dengan penuh penyesalan) ia berkata kepada dirinya sendiri, demi Allah aku akan mendatangi Rasulullah dan menyampaikan peristiwa ini, saat Rasul Saw menatapnya, beliau bertanya, Apa yang telah terjadi?
Dan pemuda itu menyampaikan peristiwa yang baru saja ia alami, saat itulah Jibrail sang pembawa pesan wahyu, turun dan membawakan ayat dari Allah Swt yang berfirman, “Katakanlah kepada kaum laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya ...”
Tafsir: Menahan Diri dari Pandangan Liar dan Penanggalan Hijab
Surah ini pada hakikatnya merupakan surah yang membicarakan tentang kesucian dari penyimpangan-penyimpangan seksual. Berbagai pembahasan yang ada di dalamnya, memiliki kebersatuan yang jelas dari sisi ini. Ayat-ayat di atas yang menjelaskan tentang hukum-hukum memandang, menahan mata, dan hijab, pun sepenuhnya berkaitan dengan persoalan ini, dan juga bukan hal yang tersembunyi lagi jika pembahasan ini juga berkaitan dengan pembahasan-pembahasan yang terkait dengan tuduhan-tuduhan tak terhormat pada seseorang.
Ayat pertama mengatakan, “Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka...”
Kata “baghdhan” berasal dari kata dasar “ghadh” yang makna awalnya berarti mengurangi, dan pada banyak kasus dipergunakan dengan makna memperpendek suara atau memperpendek pandangan.
Oleh itu, ayat tidak mengatakan bahwa Mukminin harus menutup penglihatannya, melainkan mengatakan mereka harus mengurangi dan memperpendek pandangannya, dan ini merupakan sebuah interpretasi yang lembut, dengan maksud bahwa, jika manusia benar-benar ingin sepenuhnya menutup matanya saat berhadapan dengan perempuan non mahram, maka melanjutkan perjalanan atau hal-hal sepertinya, akan menjadi persoalan yang tak mungkin baginya. Akan tetapi jika ia menolehkan pandangan matanya dari melihat wajah dan tubuhnya, maka seakan ia telah mengurangi pandangannya dan ia telah sepenuhnya menyingkirkan pemandangan yang terlarang ini dari area jangkau pandangannya.
Perlu diperhatikan bahwa al-Quran tidak mengatakan tentang apa yang harus dihindari oleh mata (istilahnya, predikatnya dihapus), sehingga hal ini bisa menjadi argumentasi atas universalitas atau keumuman, yaitu dari memandang seluruh hal yang haram bagi mata untuk memandangnya. Akan tetapi dengan melihat konteks ayat-ayat, terutama ayat setelahnya yang berbicara tentang masalah hijab, maka bisa diketahui dengan jelas bahwa yang dimaksud adalah tidak memandang ke perempuan non mahram, dan sya’n nuzul yang telah kami utarakan di atas, akan menegaskan masalah ini.
Dari apa yang telah kami sampaikan, menjadi jelas bahwa konteks dan pengertian ayat di atas bukanlah bahwa laki-laki tidak boleh memandang ke wajah perempuan dengan terpana, sehingga sebagian menyimpulkan bahwa memandang yang tidak diikuti dengan keterpanaan adalah diperbolehkan, melainkan maksudnya adalah bahwa pandangan mata biasanya menjangkau sebuah area yang luas, kapanpun terdapat perempuan non mahram di area jangkau pandang ini, maka ia harus menurunkan pandangannya sehingga perempuan tersebut keluar dari jangkauan pandangannya, yaitu jangan memandang ke arahnya, akan tetapi lihatlah lika-liku jalan yang tengah ada dihadapannya, dan inilah yang dimaksud dengan “ghadh” dengan makna mengurangi (perhatikan baik-baik).
“Farj” sebagaimana yang sebelumnya telah kami katakan, pada dasarnya bermakna “terbelah” dan “jarak antara dua sesuatu”, akan tetapi dalam kasus seperti ini, kata ini merupakan kiasan dari aurat.
Yang dimaksud dengan “memelihara kemaluan” sebagaimana yang terdapat pada hadis-hadis, adalah menutupinya dari pandangan selainnya, dalam sebuah hadis dari Imam Shadiq As, beliau bersabda, “Setiap ayat dalam al-Quran yang berbicara tentang “memelihara kemaluan”, maka maksudnya adalah menjaganya dari zina, kecuali ayat ini, dimana maksudnya adalah memeliharanya dari pandangan orang lain.”
Dan mengenai kenapa Islam melarang tindakan yang sangat serasi dengan syahwat dan keinginan hati ini, pada akhir ayat berfirman, “... yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka..”
Kemudian, untuk memperingatkan mereka yang melibatkan pandangan matanya dengan nafsu, atau memandang ke arah perempuan non mahram dengan sadar, dan kadangkala mengklaim sebagai sebuah tindakan yang tak disengaja, berfirman, “... sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
Ayat selanjutnya menjelaskan tentang kewajiban para perempuan dalam masalah ini. Pertama mengisyarahkan kewajiban-kewajiban perempuan yang serupa dengan laki-laki, berfirman, “Katakanlah kepada kaum wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka...”
Dengan demikian, “pandangan mata yang liar” sebagaimana hal tersebut diharamkan bagi laki-laki, juga diharamkan bagi kaum perempuan, dan menutup aurat dari pandangan orang lain, baik dari padangan laki-laki maupun perempuan, bagi perempuan pun wajib hukumnya, sebagaimana hal tersebut wajib bagi laki-laki.
Setelah itu, ayat ini menyinggung 4 hukum berkaitan dengan hijab yang merupakan karakteristik perempuan, menyatakan:
- “ ... janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (biasa) nampak darinya ...”
Mengenai apa yang dimaksud dengan perhiasan yang harus ditutupi oleh perempuan dan perhiasan apa yang boleh ditampakkan olehnya, terdapat banyak pendapat di kalangan para mufassir.
Sebagian menganggap bahwa yang dimaksud dengan perhiasan tersembunyi adalah keindahan alami (keelokan tubuh perempuan), sementara itu, kata ‘perhiasan’ jarang digunakan untuk makna ini.
Sebagian yang lain memaknakannya dengan “tempat perhiasan”, karena memperlihatkan perhiasan itu sendiri, seperti anting, kalung dan gelang, secara sendirinya tidaklah bermasalah, dan jika terdapat pelarangan, hal ini berkaitan dengan tempat perhiasan tersebut, yaitu telinga, leher dan tangan sebagai tempat perhiasan tersebut berada.
Yang lainnya memaknakannya dengan “perhiasan” itu sendiri, hanya saja ketika dikenakan di tubuh, merupakan hal yang wajar jika memperlihatkan perhiasan seperti ini akan dibarengi dengan memperlihatkan anggota tubuh tempat dikenakannya perhiasan tersebut.
(Dari segi kesimpulan, kedua tafsir terakhir adalah sama, kendati dianalisa dengan dua cara)
Yang benar adalah, bahwa kita menafsirkan ayat tanpa pra anggapan dan sesuai dengan lahiriahnya, dimana lahiriahnya tak lain adalah makna ketiga. Oleh karena itu kaum perempuan tidak berhak memperlihatkan perhiasan-perhiasan yang biasanya tersembunyi, kendati tubuh tak terlihat karenanya. Dengan demikian, memperlihatkan busana-busana perhiasan khusus yang ada di dalam pakaian biasa, adalah tidak diperbolehkan, karena al-Quran melarang memperlihatkan perhiasan-perhiasan seperti ini.
Dalam berbagai riwayat yang dinukilkan dari para Imam Maksum As pun juga terlihat makna seperti ini, dimana perhiasan batin diinterpretasikan dengan kalung, gelang, dan gelang kaki.
Dan karena riwayat-riwayat yang lain menafsirkan gelang, celak dan sebagainya sebagai perhiasan lahiriah, maka bisa kita pahami juga bahwa maksud dari perhiasan batin, termasuk juga perhiasan itu sendiri yang tersembunyi dan tertutup (perhatikan ini baik-baik).
Sebagian menganggap bahwa yang dimaksud dengan perhiasan tersembunyi adalah keindahan alami (keelokan tubuh perempuan), sementara itu, kata ‘perhiasan’ jarang digunakan untuk makna ini.
Sebagian yang lain memaknakannya dengan “tempat perhiasan”, karena memperlihatkan perhiasan itu sendiri, seperti anting, kalung dan gelang, secara sendirinya tidaklah bermasalah, dan jika terdapat pelarangan, hal ini berkaitan dengan tempat perhiasan tersebut, yaitu telinga, leher dan tangan sebagai tempat perhiasan tersebut berada.
Yang lainnya memaknakannya dengan “perhiasan” itu sendiri, hanya saja ketika dikenakan di tubuh, merupakan hal yang wajar jika memperlihatkan perhiasan seperti ini akan dibarengi dengan memperlihatkan anggota tubuh tempat dikenakannya perhiasan tersebut.
(Dari segi kesimpulan, kedua tafsir terakhir adalah sama, kendati dianalisa dengan dua cara)
Yang benar adalah, bahwa kita menafsirkan ayat tanpa pra anggapan dan sesuai dengan lahiriahnya, dimana lahiriahnya tak lain adalah makna ketiga. Oleh karena itu kaum perempuan tidak berhak memperlihatkan perhiasan-perhiasan yang biasanya tersembunyi, kendati tubuh tak terlihat karenanya. Dengan demikian, memperlihatkan busana-busana perhiasan khusus yang ada di dalam pakaian biasa, adalah tidak diperbolehkan, karena al-Quran melarang memperlihatkan perhiasan-perhiasan seperti ini.
Dalam berbagai riwayat yang dinukilkan dari para Imam Maksum As pun juga terlihat makna seperti ini, dimana perhiasan batin diinterpretasikan dengan kalung, gelang, dan gelang kaki.
Dan karena riwayat-riwayat yang lain menafsirkan gelang, celak dan sebagainya sebagai perhiasan lahiriah, maka bisa kita pahami juga bahwa maksud dari perhiasan batin, termasuk juga perhiasan itu sendiri yang tersembunyi dan tertutup (perhatikan ini baik-baik).
- Hukum kedua yang dipaparkan pada ayat ini adalah, “ ... hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada ...”
Khumr adalah pluralnya khimâr, yang makna awalnya adalah penutup, akan tetapi biasanya dikatakan pada sesuatu yang dikenakan oleh para perempuan untuk menutupi kepalanya (kerudung).
Sedangkan “juyûb” adalah plural dari “jaib” dengan makna krah baju, yang juga diinterpretasikan dengan kancing leher, dan kadangkala menunjukkan bagian atas dada dan seputarnya.
Dari kalimat ini bisa diketahui bahwa para perempuan sebelum diturunkannya ayat ini, mereka senantiasa menyibakkan kerudung yang dikenakannya ke bagian belakang kepala, sehingga leher dan sebagian dada mereka menjadi terlihat. Al-Quran memerintahkan supaya mereka menurunkan kerudung mereka pada bagian dada dan seputarnya, supaya leher dan juga bagian dari dada tidak akan tergambar.
(makna ini juga terlihat jelas dari sya’n nuzul ayat yang sebelumnya telah kami katakan)
Sedangkan “juyûb” adalah plural dari “jaib” dengan makna krah baju, yang juga diinterpretasikan dengan kancing leher, dan kadangkala menunjukkan bagian atas dada dan seputarnya.
Dari kalimat ini bisa diketahui bahwa para perempuan sebelum diturunkannya ayat ini, mereka senantiasa menyibakkan kerudung yang dikenakannya ke bagian belakang kepala, sehingga leher dan sebagian dada mereka menjadi terlihat. Al-Quran memerintahkan supaya mereka menurunkan kerudung mereka pada bagian dada dan seputarnya, supaya leher dan juga bagian dari dada tidak akan tergambar.
(makna ini juga terlihat jelas dari sya’n nuzul ayat yang sebelumnya telah kami katakan)
- Pada hukum ketiga, pada kasus-kasus dimana perempuan bisa menanggalkan hijabnya dan memperlihatkan perhiasannya yag tersembunyi, al-Quran mengatakan, “ ... dan janganlah menampakkan perhiasan mereka ... ” kecuali pada dua belas kelompok di bawah ini:
- Untuk suami mereka,
- Ayah mereka,
- Ayah suami mereka,
- Putra-putra mereka,
- Putra-putra suami mereka,
- Saudara-saudara lelaki mereka,
- Putra-putra saudara lelaki mereka,
- Putra-putra saudara perempuan mereka,
- Perempuan-perempuan seagama mereka,
- Budak-budak yang mereka miliki,
- Laki-laki kurang akal yang bersama mereka dan tidak memiliki keinginan terhadap perempuan, dan
- Anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan.
- Dan akhirnya, hukum keempat, yang dijelaskan demikian, “Dan pada saat berjalan, janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”
Para perempuan harus berupaya sebisa mungkin dalam memperhatikan kesucian dirinya dan menghindar dari hal-hal yang akan mengobarkan api syahwat dalam diri laki-laki, yang mungkin akan berakhir pada pelanggaran dan rusaknya kesucian, sedemikian hingga bahkan perempuan harus menghindarkan diri supaya telinga lelaki tidak mendengar suara gemerincing yang ditimbulkan oleh gelang kaki yang dikenakannya, dan ini merupakan bukti betapa detilnya pandangan Islam dalam masalah ini.
Dan akhirnya, mengajak seluruh Mukminin secara umum, baik lelaki maupun perempuan untuk bertobat dan kembali ke arah-Nya, berfirman, “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” Dan jika pada masa lalu, kalian melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dalam masalah ini, kini setelah hakikat hukum-hukum Islam telah dijelaskan kepada kalian, maka bertobatlah dan datanglah ke arah-Nya untuk mendapatkan keselamatan, karena keberuntungan dan keselamatan hanyalah di dalam rumah-Nya, di hadapan kalian terdapat jebakan-jebakan berbahaya yang tidak mungkin terdapat keselamatan kecuali dengan Kasih Sayang-Nya, maka serahkan diri kalian kepada-Nya!
Memang benar, sebelum diturunkannya hukum ini, dosa dan kelalaian terhadap persoalan ini tidaklah bermakna, akan tetapi kita mengetahui bahwa sebagian dari masalah yang memiliki keterkaitan erat dengan penyimpangan dan pencemaran seksual, memiliki dimensi rasional, dimana istilahnya, merupakan rasionalitas independen, dimana di sini, hukum akal, secara sendirinya telah mencukupi untuk memunculkan tanggung jawab.
Poin Penting:
Filosofi Hijab
Tanpa diragukan lagi, pada masa kontemporer ini dimana sebagian menamakannya dengan era nudisme dan kebebasan seksual, dan orang-orang bebas tak terbatas menganggap perempuan sebagai bagian dari kebebasan; pembicaraan mengenai hijab merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi kalangan ini dan kadangkala mereka menganggapnya sebagai mitos-mitos yang berkaitan dengan zaman dahulu kali! Akan tetapi kerusakan tak terhitung, munculnya dilema dan berbagai masalah yang semakin meningkat sebagai hasil dari kebebasan tak terbatas, telah menyebabkan bahasan ini mendapatkan pendengar.
Tentunya, dalam lingkungan yang Islami dan mazhabi, terutama di lingkungan Iran pasca revolusi Republik Islam, sangat banyak persoalan yang telah terpecahkan, dan telah banyak dari pertanyaan-pertanyaan seputar masalah ini yang mendapatkan jawaban mencukupi dan memuaskan, akan tetapi krusialitas topik telah menyebabkan masalah ini menjadi wacana yang semakin meluas.
Masalahnya sekarang, apakah para perempuan (dengan sangat menyesal) harus berada dalam kewenangan seluruh lelaki untuk bisa dimanfaatkan melalui sentuhan, pandangan dan pendengaran (termasuk persetubuhan), ataukah masalah-masalah seperti ini hanya khusus bagi suami-suami mereka.
Pembahasannya adalah, apakah para perempuan harus senantiasa terjebak dalam kompetisi tiada akhir untuk memamerkan keelokan tubuhnya dan penggoda syahwat lelaki, ataukah masalah ini harus diangkat dari lingkungan sosial dan dikhususkan pada lingkungan keluarga dan kehidupan suami istri?!
Islam, adalah pendukung program kedua, dan hijab merupakan bagian dari program ini, sementara orang-orang Barat dan mereka yang kebarat-baratan, menjadi pendukung program pertama!
Islam mengatakan, hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas, baik persetubuhan maupun kenikmatan-kenikmatan pendengaran, pandangan dan persentuhan, hanyalah khusus bagi para suami mereka, dan selain hal ini, adalah dosa, yang akan mengantarkan masyarakat ke arah pencemaran, kerusakan dan ketaksucian, dan ini telah disinggung pada ayat di atas dengan kalimat “... yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka ...”
Filosofi hijab juga bukan merupakan sesuatu yang tersembunyi, karena:
Dan akhirnya, mengajak seluruh Mukminin secara umum, baik lelaki maupun perempuan untuk bertobat dan kembali ke arah-Nya, berfirman, “Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” Dan jika pada masa lalu, kalian melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dalam masalah ini, kini setelah hakikat hukum-hukum Islam telah dijelaskan kepada kalian, maka bertobatlah dan datanglah ke arah-Nya untuk mendapatkan keselamatan, karena keberuntungan dan keselamatan hanyalah di dalam rumah-Nya, di hadapan kalian terdapat jebakan-jebakan berbahaya yang tidak mungkin terdapat keselamatan kecuali dengan Kasih Sayang-Nya, maka serahkan diri kalian kepada-Nya!
Memang benar, sebelum diturunkannya hukum ini, dosa dan kelalaian terhadap persoalan ini tidaklah bermakna, akan tetapi kita mengetahui bahwa sebagian dari masalah yang memiliki keterkaitan erat dengan penyimpangan dan pencemaran seksual, memiliki dimensi rasional, dimana istilahnya, merupakan rasionalitas independen, dimana di sini, hukum akal, secara sendirinya telah mencukupi untuk memunculkan tanggung jawab.
Poin Penting:
Filosofi Hijab
Tanpa diragukan lagi, pada masa kontemporer ini dimana sebagian menamakannya dengan era nudisme dan kebebasan seksual, dan orang-orang bebas tak terbatas menganggap perempuan sebagai bagian dari kebebasan; pembicaraan mengenai hijab merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi kalangan ini dan kadangkala mereka menganggapnya sebagai mitos-mitos yang berkaitan dengan zaman dahulu kali! Akan tetapi kerusakan tak terhitung, munculnya dilema dan berbagai masalah yang semakin meningkat sebagai hasil dari kebebasan tak terbatas, telah menyebabkan bahasan ini mendapatkan pendengar.
Tentunya, dalam lingkungan yang Islami dan mazhabi, terutama di lingkungan Iran pasca revolusi Republik Islam, sangat banyak persoalan yang telah terpecahkan, dan telah banyak dari pertanyaan-pertanyaan seputar masalah ini yang mendapatkan jawaban mencukupi dan memuaskan, akan tetapi krusialitas topik telah menyebabkan masalah ini menjadi wacana yang semakin meluas.
Masalahnya sekarang, apakah para perempuan (dengan sangat menyesal) harus berada dalam kewenangan seluruh lelaki untuk bisa dimanfaatkan melalui sentuhan, pandangan dan pendengaran (termasuk persetubuhan), ataukah masalah-masalah seperti ini hanya khusus bagi suami-suami mereka.
Pembahasannya adalah, apakah para perempuan harus senantiasa terjebak dalam kompetisi tiada akhir untuk memamerkan keelokan tubuhnya dan penggoda syahwat lelaki, ataukah masalah ini harus diangkat dari lingkungan sosial dan dikhususkan pada lingkungan keluarga dan kehidupan suami istri?!
Islam, adalah pendukung program kedua, dan hijab merupakan bagian dari program ini, sementara orang-orang Barat dan mereka yang kebarat-baratan, menjadi pendukung program pertama!
Islam mengatakan, hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas, baik persetubuhan maupun kenikmatan-kenikmatan pendengaran, pandangan dan persentuhan, hanyalah khusus bagi para suami mereka, dan selain hal ini, adalah dosa, yang akan mengantarkan masyarakat ke arah pencemaran, kerusakan dan ketaksucian, dan ini telah disinggung pada ayat di atas dengan kalimat “... yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka ...”
Filosofi hijab juga bukan merupakan sesuatu yang tersembunyi, karena:
- Nudisme dan penelanjangan perempuan yang konsekuensi alaminya diikuti dengan kemunculan fenomena-fenomena seperti make up, tingkah laku yang genit dan sepertinya, akan menempatkan lelaki, terutama para pemuda dalam sebuah kondisi terstimulasi secara terus menerus, sebuah stimulasi yang bisa merusak syaraf-syaraf mereka dan menciptakan tegangan-tegangan syaraf yang kadangkala menjadi sumber penyakit-penyakit jiwa dan psikologis. Memang seberapa mampunyakah syaraf manusia menerima ketegangan-ketegangan dan rangsangan dalam dirinya? Bukankah para psikolog telah mengatakan bahwa ketegangan yang berlanjut terus menerus akan bisa menjadi pemicu penyakit?
Terutama penting untuk diperhatikan bahwa instink seksual merupakan instink manusia yang terkuat dan paling mengakar, dan dalam sepanjang sejarah, instink ini telah menjadi sumber berbagai peristiwa mematikan dan kriminal-kriminal mengerikan, sedemikian hingga dikatakan, “Tidak ada satupun peristiwa penting yang ditemukan di dunia ini, kecuali ada jejak perempuan di dalamnya.”
Apakah kehadiran perempuan secara kontinu melalui nudisme tidak akan semakin mengobarkan instink ini? Logiskan tindakan seperti ini?!
Islam menginginkan dari lelaki dan perempuan Muslim untuk memiliki jiwa yang tenang, syaraf yang sehat dan mata serta telinga yang suci, dan ini merupakan salah satu dari filosofi hijab.
Apakah kehadiran perempuan secara kontinu melalui nudisme tidak akan semakin mengobarkan instink ini? Logiskan tindakan seperti ini?!
Islam menginginkan dari lelaki dan perempuan Muslim untuk memiliki jiwa yang tenang, syaraf yang sehat dan mata serta telinga yang suci, dan ini merupakan salah satu dari filosofi hijab.
- Data statistik yang pasti, menunjukkan bahwa meningkatnya nudismne di dunia secara kontinu telah menambah tingkat perceraian dan menurunkan tingkat keakraban dalam kehidupan suami istri, karena “apapun yang dilihat, akan tertambat di dalam hati” dan yang dimaksud denga hati di sini adalah nafsu menggelora yang selalu ingin mencari cara untuk memenuhi keinginannya, dan dengan demikian, setiap hari akan berlabuh di satu tempat dan meninggalkan tempat yang lain.
Dalam lingkungan yang terdapat hijab di dalamnya (dan syarat-syarat lain Islam juga mendapat perhatian) sepasang suami istri akan merasa saling memiliki, perasaan, cinta dan kasih sayang yang terjalin di antara mereka, hanya khusus bagi mereka berdua.
Akan tetapi tidak demikian halnya yang terjadi di dalam pasar kebebasan nudis, di pasar ini secara praktis perempuan muncul dalam bentuk sebuah produk umum (minimal dalam tingkat non persetubuhan), dalam kondisi seperti ini, tidak ada lagi pengertian tentang kesucian perjanjian suami istri. Institusi keluarga akan rapuh layaknya sarang laba-laba yang akan hancur dengan cepat dan membiarkan anak-anak tanpa pelindung.
Akan tetapi tidak demikian halnya yang terjadi di dalam pasar kebebasan nudis, di pasar ini secara praktis perempuan muncul dalam bentuk sebuah produk umum (minimal dalam tingkat non persetubuhan), dalam kondisi seperti ini, tidak ada lagi pengertian tentang kesucian perjanjian suami istri. Institusi keluarga akan rapuh layaknya sarang laba-laba yang akan hancur dengan cepat dan membiarkan anak-anak tanpa pelindung.
- Meluasnya prostitusi, meningkatnya anak-anak yang dilahirkan secara tidak sah, merupakan konsekuensi paling menyakitkan yang ditimbulkan oleh ketiadaan hijab, yang mungkin tidak membutuhkan data dan statistik lagi, dalilnya terlihat sangat jelas di masyarakat Barat, sebegitu jelasnya hingga tidak membutuhkan penjelasan lagi.
Kami tidak mengatakan bahwa faktor utama prostitusi dan kelahiran anak di luar perkawinan, hanya dan hanya karena ketiadaan hijab, kami tidak mengatakan kolonialisasi dan masalah-masalah politik merusak tidak mempunyai peran dan pengaruh di dalamnya, namun kami mengatakan, salah satu dari faktor yang mempengaruhinya adalah masalah nudisme, ketelanjangan, dan ketiadaan hijab. Dan dengan memperhatikan bahwa prostitusi, dan lebih buruk lagi, kelahiran anak-anak di luar nikah, senantiasa menjadi sumber segala bentuk kriminalitas dalam masyarakat insan, maka dimensi-dimnesi berbahaya dalam masalah ini menjadi semakin jelas.[1] [iQuest]