Yang dimaksud dengan mushaf Imam Ali As adalah naskah al-Qur’an yang dikumpulkan dan disusun oleh Imam Ali As pasca wafatnya Rasulullah Saw. Mushaf ini memiliki beberapa tipologi tertentu seperti susunan tepat ayat-ayat dan surah-surah berdasarkan nuzul (pewahyuan), sesuai dengan bacaan Rasulullah Saw (yang merupakan bacaan paling orisional) yang mencakup tanzil, ta’wil dan lain sebagainya. Beberapa tipologi ini tidak dapat ditemukan pada mushaf-mushaf lainnya.
Inti keberadaan mushaf seperti ini telah ditetapkan; misalnya pada kitab al-Thabaqât al-Kubrâ, Muhammad bin Sa’ad (w 230 H); Fadhâil al-Qur’ân, Ibnu Dhurais (w 294 H); Kitâb al-Mashâhif, Ibnu Abi Daud (w 316 H); Kitâb al-Fehrest, Ibnu Nadim yang mengutip dari Ahmad bin Ja’far Munadi yang lebih dikenal sebagai Ibnu Munadi; al-Mashâhif, Ibnu Asytah (w 360 H); Hilyât al-Auliyah wa Thabaqât al-Ashfiyah, Abi Nu’aim al-Isfahani (w 430 H); Al-Isti’âb fi Ma’rifat al-Ashhâb, bahkan volume literatur Ahlusunnah dan berita-berita tentang masalah ini lebih banyak dari literatur-literatur Syiah sendiri.
Yang dimaksud dengan mushaf Imam Ali As adalah naskah al-Qur’an yang dikumpulkan dan disusun oleh Imam Ali As pasca wafatnya Rasulullah Saw. Mushaf ini memiliki beberapa tipologi tertentu yang tidak dapat ditemukan pada mushaf-mushaf lainnya. Di antara beberapa tipologi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Susunan tepat ayat-ayat dan surah-surah sesuai dengan nuzûl (pewahyuan). Artinya dalam mushaf ini Makki disebutkan sebelum Madani dan tingkatan-tingkatan dan lintasan-lintasan sejarah pewahyuan ayat-ayatnya jelas sehingga dengan demikian perjalanan pensyariatan dan hukum-hukum, khususnya masalah nâsikh dan mansukh dalam al-Qur’an dengan mudah dapat diperoleh.
2. Dalam mushaf ini, bacaan ayat-ayat sesuai dengan bacaan Rasulullah Saw yang merupakan bacaan paling orisinal. Dalam mushaf ini sama sekali tidak terdapat perbedaan bacaan sehingga dengan demikian jalan untuk memahami kandungan dan memperoleh tafsir sahih ayat tersedia. Tipologi ini merupakan tipologi sangat penting pada mushaf ini; karena boleh jadi perbedaan bacaan akan menyebabkan tersesatnya penafsir yang tidak ditemukan pada mushaf ini.
3. Mushaf ini mencakup tanzil dan ta’wil. Artinya bahwa mushaf ini menjelaskan pada pinggiran halamannya hal-hal yang terkait dengan nuzâl dan pelbagai momentum yang menyebabkan turunnya ayat dan surah-surah. Catatan-catatan pinggir ini merupakan sebaik-baik media untuk memahami makna-makna al-Qur’an dan menyingkirkan pelbagai keburaman. Dan di samping menyebutkan sebab-sebab pewahyuan pada pinggiran halamannya, juga terdapat takwil-takwil. Takwil-takwil ini merupakan kesimpulan-kesimpulan global dan inklusif tentang hal-hal khusus ayat-ayat al-Qur’an yang sangat membantu setiap orang yang ingin memahami ayat-ayat al-Qur’an. Amirul Mukminin Ali As sendiri bersabda, “Aku siapkan sebuah kitab bagi mereka yang mencakup tanzil dan takwil.”[1]
Tanpa ragu, sesuai dengan referensi-referensi dan literatur-literatur kedua mazhab, inti keberadaan mushaf ini telah ditetapkan; bahkan volume literatur Ahlusunnah dan berita-berita tentang masalah ini lebih banyak dari literatur-literatur Syiah sendiri.
Laporan mushaf ini disebutkan dalam literatur-literatur Imamiyah misalnya pada Kitâb Sulaim bin Qais,[2] al-Kâfi karya Abu Ja’far Kulaini (W 328 H),[3] Kitâb al-Tafsir yang lebih dikenal dengan Tafsir ‘Ayyâsyi[4] karya Muhammad bin Mas’ud Ayyasyi (ulama abad keempat), Al-I’tiqâdât[5] karya Abu Ja’far Shaduq (W 386 H), Manâqib Âli Abi Thâlib[6] karya Ibnu Syahr Asyub Mazandarani (W 588 H). Ibnu Syahr Asyub menyebutkan hal ini melalui jalur Ahlusunnah dan dengan menyebutkan beberapa literatur.[7] Kira-kira kandungan laporan ulama ini atas inti keberadaan mushaf ini adalah satu dan dinyatakan seperti ini, “Pasca wafatnya Rasulullah Saw, Ali As duduk di rumah dan sibuk mengumpulkan al-Qur’an.”
Di antara literatur Ahlusunnah yang menyebutkan mushaf ini hingga abad kedelapan adalah, “Al-Thabaqât al-Kubrâ,[8] Muhammad bin Sa’ad (W 230 H), Fadhâil al-Qur’ân,[9] Ibnu Dhurais (W 294 H), Kitâb al-Mashâhif,[10] Ibnu Abi Daud (W 316 H), Kitâb al-Fehrest,[11] karya Ibnu Nadim yang mengutip dari Ahmad bin Ja’far Munadi yang lebih dikenal sebagai Ibnu Munadi, Al-Mashâhif,[12] Ibnu Asytah (W 360 H), Hilyat al-Auliyah wa Thabaqât al-Ashfiyah,[13] Al-Arba’in,[14] Abi Nu’aim al-Isfahani (W 430 H), Al-Isti’âb fi Ma’rifat al-Ashâb,[15] Ibnu Abdil Barr (W 463 H) yang dinukil melalui dua jalur; Syawâhid al-Tanzil,[16] Hakim Huskani (ulama abad kelima) yang menyebutkan beberapa sanad tentang mushaf ini; Mafâtih al-Asrâr wa Mashâbih al-Anwâr,[17] Abdul Karim Syahrastani (W 548 H) (Ia di antara ulama Ahlusunnah menyebutkan secara detil kabar tentang mushaf ini, semenjak proses pengeditan, penunjukkan mushaf oleh Imam Ali kepada para sahabat di masjid, hingga penolakan para sahabat dan perdebatan Imam Ali As); Al-Manâqib,[18] Khatib Khawarazmi (W 568 H); Al-Tashil fi ‘Ulûm al-Tanzil,[19] Ibnu Juzay al-Kalbi (W 741 H). Ibnu Abi Daud melaporkan bahwa mushaf ini disebutkan melalui jalur Asy’ats bin Sawwar dan berkata, “Tiada seorang pun selain Asy’ats yang memiliki riwayat tentang mushaf ini.”[20] Pernyataan ini dilontarkan tanpa memperhatikan sanad-sanad kabar mushaf ini; karena sebagai contoh, Ibnu Dhurais menyebutkan kabar mushaf ini dengan sanad yan lain;[21] Ibnu Hajar Askalani dan Mahmud bin Ahmad Aini juga, karena terputusnya dalam sanad laporan mushaf, memandang lemah sanad tersebut;[22] namun terputusnya sanad ini juga terdapat pada sebagian sanad. Jalur lain tentang laporan mushaf ini terdapat sanad bersambung, di antaranya melalui jalur Ibnu Dhurais yang dengan sanadnya yang mengabarkan dari Muhammad bin Sirin dan ia mengabarkan dari Ikrimah dari Imam Ali As.[23]
Alusi Baghdadi (W 1270 H) juga dalam hal ini melontarkan pendapatnya. Ia menamai sanad-sanad beberapa riwayat dalam hal ini sebagai sanad ma’udhu[24] dan dhaif[25] dan berpandangan sanad Ibnu Dhurais sebagai satu-satunya sanad yang sahih.[26]
Dalam riwayat tersebut Muhammad bin Sirin bertanya kepada Ikrimah, “Apakah (Imam) Ali menyusun ayat-ayat dalam mushaf tersebut berdasarkan (urutan) pewahyuannya?” Dengan deskripsi ini, Alusi berkata, “Yang dimaksud riwayat ini – sebagaimana yang disebutkan – adalah karena (Imam Ali) menyimpan al-Qur’an dalam dada.”[27] Dengan pemaknaan ini, kiranya Alusi ingin berkata, “Imam Ali As menghafal al-Qur’an dalam dadanya dan mengungkapkan al-Qur’an berdasarkan urutan pewahyuannya.”
Di samping itu, pada dasarnya model sikap Alusi dan yang lainnya terhadap sanad riwayat-riwayat ini bukanlah sikap ilmiah; karena riwayat-riwayat yang mengabarkan satu kandungan, berdasarkan terminologi Ilmu Dirâyah disebut sebagai hadis mutabi; dan syahid;[28] Hal ini bermakna bahwa riwayat-riwayat yang dalam hal ini dipandang lemah atau maudhu oleh Alusi, karena kandungannya satu dengan kandungan hadis yang bersanad sahih (sahih al-sanad) justru memberikan kekuatan terhadap hadis sahih ini dan dengan demikian dipandang sebagai hadis mustafidha; Karena itu apabila riwayat-riwayat ditakwil secara terpisah atau karena sanad lemah kemudian ditolak, hal itu keluar dari model riset ilmiah ilmu Dirâyah.
Masalah lainnya yang harus disebutkan di sini adalah bahwa pada dasarnya ungkapan “mengumpulkan al-Qur’an” (jam’ al-qur’an) mengemuka dalam sebagian riwayat tentang masalah ini. Meski dari satu sudut pandang dapat bermakna menghafal dalam dada – namun dalam hal ini sekali-kali redaksi menghafal tidak dapat digunakan; karena dalam beberapa kondisi pasca wafatnya Rasulullah Saw khalifah yang telah ditentukan (oleh Rasulullah) – sesuai dengan pengakuan Ahlusunnah sendiri – yaitu Imam Ali As tidak memiliki pekerjaan kecuali berdiam di rumah dan menghafal al-Qur’an; dan bahkan sebagian ulama Ahlsunnah memberikan penjelasan dan pembenaran atas melimpah ruahnya ilmu Imam Ali As dibandingkan dengan para khalifah yang lainnya. Mereka berkata, “Kebanyakan penafsiran al-Qur’an dimiliki oleh Imam Ali As di antara para khalifah al-rasyidin; karena beliau dikesampingkan dari maqam khilafah hingga akhir masa khilafah Usman.[29] Meski penjelasan ini sangat lemah dan tanpa dasar.[30]
Namun pertanyaan ini tetap tak terjawab bahwa apabila imam tidak mengerjakan apa pun, lantas apa perlunya beliau duduk di rumah dan bersumpah untuk tidak memikul jabatan ini dan lain sebagainya untuk sekedar menghafal al-Qur’an!! Di samping itu, berdasarkan riwayat mutawatir dari Ahlusunnah sendiri terkait dengan ayat “Agar kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.” (Qs. Al-Haqqah [69]:12) yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw. Rasulullah Saw bersabda kepada Imam Ali As, “Aku bermohon kepada Tuhan untuk menjadikanmu sebagai obyek atas ayat ini.” Dan kemudian setelah itu Imam Ali As berkata, “Aku sekali-kali tidak melupakan dan tidak akan melupakan apa yang aku dengarkan.”[31]
Dengan tipologi Imam Ali ini, tidak hanya al-Qur’an melainkan seluruh ilmu diserahkan Rasulullah Saw kepada Imam Ali A yang tersimpan dan terpelihara dalam dada beliau. Dan pengumpulan al-Qur’an pada satu tempat juga – sesuai dengan sebagian riwayat – dilakukan berdasarkan nasihat dan wasiat Rasulullah Saw. Demikian juga untuk menjaga tsaqalain dan tiada seorang pun yang memiliki kelayakan sebagaimana Imam Ali As.[32]
Apabila asumsi bahwa riwayat Abdukhair yang berkata melalui lisan Imam Ali As, “Orang pertama yang mengumpulkan al-Qur’an adalah Abu Bakar”[33] ada benarnya maka riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat yang menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengumpulkan al-Qur’an adalah Ali As karena itu riwayat Abdukhair akan jatuh standar riwayatnya. Di samping itu, riwayat itu juga merupakan kabar tunggal (khabar wahid) [34] dan bertentangan dengan riwayat mustafidhah sehingga kemudian ia tergolong sebagai hadis syâdz.[35]
Karena itu, sesuai dengan referensi dari dua mazhab, inti keberadaan mushaf Imam Ali As telah ditetapkan dan tidak tersisa celah untuk menciderai riwayat tersebut.[36] [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh kami persilahkan Anda untuk merujuk pada dua literatur berikut ini:
1. Mushaf Ali wa Se Mushaf-e Digar, karya Dr. Ja’far Nikunam.
2. Pazyuhesy dar Mushaf Imam Ali wa Se Mushaf Digar, karya Dr. Ja’far Nikunam.
[1]. Muhammad Jawad Balaghi, Alâi al-Rahman, jil. 1, hal. 257.
«و لقد جئتهم بالکتاب مشتملا علی التنزیل والتاویل»
[2]. Sulaim bin Qais, Kitâb Sulaim bin Qais, hal. 581-582, 660 dan 665.
[3]. Abu Ja’far Kulaini, al-Kâfi, Kitâb al-Fadhl al-Qur’ân, jil. 2, hal. 633, Hadis 29.
[4]. Muhammad bin Mas’ud Ayyasyi, Tafsir Ayyâsyi, jil. 2, hal. 307.
[5]. Abu Ja’far Shaduq, al-I’itiqâdât, hal. 81.
[6]. Muhammad bin Ali bin Syahr Asyub, Manâqib Âli Abi Thâlib, jil. 2, hal. 50-51.
[7]. Ibid, jil. 2, hal. 52.
[8]. Muhammad bin Sa’ad, al-Thabaqât al-Kubrâ, jil. 2, hal. 328.
[9]. Muhammad bin Dhurais, Fadhâil al-Qur’ân, riset oleh Urwah Badir, hal. 36.
[10]. Sulaiman bin Asy’ats, Kitab al-Mashâhif, korektor oleh Atur Jaffri, hal. 61.
[11]. Muhammad bin Ishaq, Kitâb al-Fehrest, hal. 31-32.
[12]. Sesuai nukilan dari Jalaluddin Suyuthi, Al-Itqân, jil. 1, hal. 58.
[13]. Abu Nu’aim Isfahani, Hilyât al-Auliya wa Thabaqât al-Ashfiyah, jil. 1, hal. 67.
[14]. Sesuai nukilan dari Ibnu Syahr Asyub, Manâqib Âli Abi Thâlib, jil 2, hal. 50.
[15]. Yusuf bin Abdil Bar, al-Isti’âb fi Ma’rifat al-Ashâb, Riset oleh Muhammad Ali Bajawi, al-Qism al-Tsalits, hal. 974.
[16]. Hakim Huskani, Syawâhid al-Tanzil li Qawâid al-Tafdhil, Riset oleh Muhammad Baqir Mahmudi, jil. 1, hal. 36-38.
[17]. Abdul Karim Syahristani, Mafâtih al-Asrâr wa Mashâbih al-Anwâr, jil. 1, hal. 121.
[18]. Muwaffaq bin Ahmad Khawarazmi, Al-Manâqib, Riset oleh Muhammad Malik Mahmudi, hal. 94.
[19]. ‘Ulum al-Qur’ân ‘inda al-Mufassirin sesuai nukilan dari Markaz al-Tsaqafah wa al-Ma’ârif al-Qur’âniyah, jil. 1, hal. 351.
[20]. Sulaiman bin Asy’ats, Kitâb al-Mashâhif, hal. 16.
[21]. Muhammad bin Ayyub bin Dhurais, Fadhâil al-Qur’ân, hal. 36.
[22]. Ibnu Hajar Asqalani, Fath al-Bâri, jil. 9, hal. 12-13 dan juga silahkan lihat Mahmud bin Ahmad Aini, Umdat al-Qâri (Syarh Shahih al-Bukhâri), jil. 20, hal. 17.
[23]. Muhammad bin Ayyub bin Dhurais, Fadhâil al-Qur’ân, hal. 36.
[24]. Riwayat melalui jalur Abu Hayyan Tauhidi, Mahmud Alusi, Ruh al-Ma’âni, jil. 1, hal. 41.
[25] . Riwayat melalui jalur Ibnu Sirin, Mahmud Alusi, Ruh al-Ma’âni, jil. 1, hal. 41.
[26]. Ibid.
[27]. Ibid, jil. 1, hal. 41.
[28]. Hadis al-mutabi’ dan al-syâhid diperhatikan karena berfungsi sebagai penyokong kandungan hadis lainnya. Adapun validitas sanad tidak menjadi perhatian. Silahkan lihat, Jalal al-Din Suyuthi, Tadrib al-Râwi fi Syarh al-Taqrib al-Nawâwi, hal. 202.
[29]. Jalal al-Din Suyuthi, al-Itqân, jil. 2, hal. 187. Ibnu Athiyya Andalusi, Riset oleh Muhammad Abdussalam Abdusyafi, jil. 1, hal. 13.
[30]. Karena pertama, Imam Ali As pada masa pemerintahanya menunjukkan penafsiran ayat-ayat dan riwayat-riwayat (khususnya pada khutbah-khutbah) yang dinukil dari Rasulullah Saw. Kedua, Usman bin Affan, Khalifah Ketiga jauh dari pemerintahan pada masa Khalifah Pertama dan Khalifah Kedua, hanya memiliki riwayat tentang tafsir. Silahkan lihat, Ala al-Din ‘Ali al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummâl fi Sunan al-Aqwâl wa al-Af’âl, Fashl fi al-Tafsir, jil. 2, hal. 353. Untuk dicamkan bahwa bilangan riwayat tafsir dalam kitab Kanz al-‘Ummâl yang dikumpulkan dari Shihah al-Sittah adalah 544 riwayat. Dari bilangan ini terdapat 290 hadis yang diriwayatkan dari Imam Ali As dan selebihnya dari sahabat yang lain. Silahkan lihat, Ali al-Muttaqi al-Hindi, Kanz al-‘Ummâl.
[31]. Ibnu Jarir Thabari, Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wil Ayat al-Qur’ân (lebih dikenal dengan nama Tafsir Thabari), jil. 29, hal. 31. Dengan kajian yang lebih intens tentang sanad-sanad dan referensi-referensi hadis ini. Silahkan lihat Ahmad bin Yahya al-Baladzuri, Ansâb al-Asyrâf, Riset oleh Syaikh Muhammad Baqir Mahmudi, jil. 1, hal. 34:
انّ النبی(ص) قال لعلی- کرم الله وجهه- إنّی دعوت الله تعالی أن یجعلها أذنک یا علی و قال علی کرم الله وجهه: فما سمعت شیئاً فنسیته و ما کان لی أن أنسی.
[32]. Karena Imam Ali adalah gerbang kota ilmu Rasulullah Saw dan tiada yang menyamai ilmu beliau tidak dari orang sebelumnya dan juga tidak setelahnya. Imam Ali As sendiri bersabda, “Demi Allah! Tiada satu pun ayat yang turun kecuali Aku mengetahuinya, dimana dan berkenaan dengan siapa ayat tersebut diturunkan.” Sayid Abdulhusain Syarafuddin dalam al-Muraja’ât bersandar pada hadis-hadis ini dan periset buku ini Syaikh Husan al-Radhi juga dalam al-Hawâmisy al-Tahqiqiyah menyebutkan referensi-referensi dan jalur-jalur sanad hadis tersebut. Silahkan lihat Hasan al-Radhi, al-Hawâmisy al-Tahqiqiyah Mulhaq Kitâb al-Muraja’ât, hal. 425-431.
[33]. Ibnu Abi Daud, Kitab al-Mashâhif, jil. 2, hal. 338.
[34]. Meski Ibnu Abi Daud menyebutkan hadis ini melalui lima jalur namun sampai pada Sufyan, dari Suda, dari Abdukhair dari Imam Ali As. Dengan demikian hadis ini adalah hadis wahid (tunggal).
[35]. Hadis syadz adalah berita sahih yang bertentangan dengan hadis yang lebih sahih dari perawi yang lain. Demikian juga matan (teks) hadis ini tidak sejalan dengan fakta-fakta sejarah. Karena sebelum pengumpulan mushaf yang dilakukan oleh Zaid bin Tsabit dan yang lainnya seperti Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab dan sebagainya, mereka telah memiliki mushaf sendiri-sendiri.
[36]. Untuk penjelasan lebih jauh tentang kajian sanad-sanad mushaf Imam Ali As, silahkan lihat, Majalah Maqâlat wa Barrasihâ (Danesygah Ilahiyyat Danesygah Teheran), “Barrasi wa Naqd Asnâd Mushaf Imâm Ali As dar Manâbi’ Fariqain, Daftar 68, hal. 23-45. Apakah Inti Keberadaan Mushaf Imam Ali dapat Ditetapkan melalui Literatur-literatur Dua Mazhab?