Redaksi hijab nurâni (cahaya) yang dapat disaksikan pada ungkapan-ungkapan irfani bermakna dari setiap tingkatan dalam pelbagai tingkatan sair dan suluk ruhani dimana persinggahan seorang salik (pejalan) pada salah satu tingkatan ini bermakna halangan dan rintangan untuk menanjak ke tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi; sejatinya segala jenis perhatian mandiri terhadap pelbagai faktor penyempurna spiritual disebut sebagai hijab nurâni (cahaya).
Jelas bahwa penyebutan hijab-hijab nurâni atas para Imam maksum dalam artian ini mengandung makna negatif; dan tidak dapat dikatakan bahwa para Imam maksum di samping merupakan hijab-hijab nurâni juga merupakan faktor penyebab melambungnya dan menanjaknya manusia naik ke jenjang-jenjang yang lebih tinggi.
Hanya saja harap dicermati bahwa dalam riwayat-riwayat disebutkan atas nama-nama dan sifat-sifat Ilahi atau entitas Rasulullah Saw dan lain sebagainya sebagai hijab nurâni. Tentu saja secara prinsip tidak mengandung makna negatif yang menjadi sorotan riwayat semacam ini. Melainkan yang dimaksud adalah bahwa mereka adalah ayat-ayat yang menunjukkan Kebenaran (Haq) dan sebab kesempurnaan, ““Setiap kali kilat itu menyinari (jalan) mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan apabila kegelapan menimpa mereka, mereka berhenti.” (QS. Al-Baqarah [2]: 20)
Namun bagaimanapun manifestasi (tajalli) dan penampakan cahaya mutlak Ilahi karena intensitas dan kekuatan, tidak mungkin dapat terjadi tanpa melintasi hijab-hijab ini, dan di samping itu terdapat entitas-entitas lainnya karena infirmitas (dha’f) dan ketidakmampuan tanpa perantara atau perantara-perantara tidak mampu mencerap dan memahami cahaya mutlak. Sehinga dengan demikian, mereka harus menanjak dan melambung melalui kanal eksistensial nama-nama dan sifat-sifat, Rasulullah Saw dan Ahlulbait As. Oleh karena itu, mereka dapat disebut sebagai hijab tanpa mengandung makna negatif sebagaimana yang disebutkan.
Adapun sehubungan dengan tawassul (berperantara) seberapa berpengaruh dalam mengantarkan manusia mendekat kepada Allah Swt, Anda dapat jumpai dengan merujuk pada jawaban-jawaban yang tersedia pada site Islam Quest ini.
Kalimat hijab secara leksikal disebut sebagai pakaian yang menjadi penghalang dan pembatas antara subyek yang menyaksikan dan obyek yang ingin disaksikan. Karena itu, segala sesuatu yang menghalangi seseorang menyaksikan sesuatu yang lainnya disebut sebagai hijab.[1]
Pada ayat-ayat al-Qur’an kalimat hijab beserta rangkaian derivasinya disebutkan kira-kira sebanyak delapan kali. Demikian juga dalam riwayat, disebutkan redaksi kalimat hijab juga, banyak dijumpai, yang bermakna sesuatu yang menghalangi terlihatnya atau terpahamkannya sesuatu lainnya.
Redaksi-redaksi kalimat seperti ghita, qufl ‘ala al-qalb, satr, akinnah, thab’ juga digunakan semakna dan sinonim dengan kalimat hijab. Demikian juga hijâl yang bermakna pengantin perempuan memahamkan makna hijab; karena pada umumnya pengantin perempuan duduk di balik tirai dan memiliki hijab supaya tidak terlihat oleh non-mahram.
Kasyf, syuhud, mu’âyinah, abshâr dan bashirat masing-masing digunakan sebagai lawan kata dari hijab. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa seseorang yang telah sampai pada derajat kasyf dan syuhud ia tidak lagi memiliki hijab dan kesemuanya berada dalam hijab tidak kuasa menyaksikan keindahan absolut Tuhan.
Sayid ‘Alikhan Kabir juga berkata, “Hijab, pluralnya hajb, bermakna pakaian dan aslinya adalah sebuah benda yang menjadi penghalang di antara dua benda lainnya. Hijab juga digunakan untuk makna selain makna benda; misalnya terkadang disebutkan, “Ketidakmampuan adalah sebuah hijab antara manusia dan sampainya ia kepada maksud dan tujuan. Atau maksiat adalah hijab antara hamba dan Tuhannya. Hakikat hijab antara manusia dan Tuhan adalah bahwa manusia salik, memiliki maqam-maqam dan derajat-derajat yang masing-masing, sebelum sampai kepada Allah Swt – adalah hijab-hijab yang menghalanginya. Mengingat bahwa maqam-maqam dan derajat-derajat manusia adalah tidak terbatas maka tingkatan-tingkata hijab juga tidak terbatas.[2]
Beberapa Bagian dan Jenis Hijab
Hijab terdiri dari beberapa jenis dan bagian. Namun kita hanya akan menyinggung dua jenis hijab di sini yaitu hijab zhulmâni dan hijab nurâni:
Hijab-hijab Zhulmâni
Dalam sebuah hadis popular disebutkan bahwa Innallâha saba’ina alf hijâbin min nur wa zhulumât[3] (Sesungguhnya Tuhan memiliki tujuh puluh ribu hijab dari cahaya [nur] dan kegelapan [zhulumât]). Sesuai dengan tuntutan hadis mulia ini, para arif besar membahas hijab-hijab nurâni (cahaya) dan hijab-hijab zhulumât (kegelapan) sehingga setelah memperkenalkan dan mengenal hijab-hijab ini, mereka berusaha menyingkap dan menghelanya.
Karena dalam pandangan para arif, kata “ribuan” merupakan kata kiasan dari sebuah universal, seolah-olah setiap universal memiliki ribuan obyek partikular, dan satu hari universal di sisi Tuhan adalah ribuan tahun partikular duniawi di sisi kita. Karena itu, apabila tujuh puluh hijab nurâni dan zhulumât disebutkan sebagai hijab-hijab universal sejatinya telah menjelaskan obyek hadis di atas.
Hijab-hijab zhulumât (kegelapan) adalah obyek “al-zhulm zhulumât yaum al-qiyamah” sebagaimana banyaknya hijab bersumber dari kesatuan dan alam-alam kegelapan adalah hijab dari alam cahaya dan kudus, hijab-hijab ini juga membatasi manusia dalam alam materi dan empirik serta melalaikannya untuk memperhatikan alam malakut (alam atas dan meta-empirik).
Hijab-hijab Nurâni
Redaksi hijab nurâni (bercahaya) yang dapat disaksikan pada ungkapan-ungkapan irfani bermakna dari setiap tingkatan dalam pelbagai tingkatan sair dan suluk ruhani dimana persinggahan seorang salik (pejalan) padanya bermakna halangan untuk menanjak ke tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi;[4] sejatinya segala jenis perhatian mandiri terhadap pelbagai faktor penyempurna spiritual disebut sebagai hijab nurâni (cahaya).[5] Jelas bahwa penyebutan hijab-hijab nurâni atas para Imam maksum dalam artian ini mengandung makna negatif; dan tidak dapat dikatakan bahwa para Imam maksum di samping merupakan hijab-hijab nurâni juga merupakan penyebab melambungnya dan menanjaknya manusia naik ke jenjang-jenjang yang lebih tinggi.
Namun harap dicermati bahwa dalam riwayat-riwayat disebutkan atas nama-nama dan sifat-sifat Ilahi atau entitas Rasulullah Saw dan lain sebagianya sebagai hijab nurâni yang tentu saja secara prinsip tidak mengandung makna negatif yang menjadi sorotan riwayat semacam ini. Melainkan yang dimaksud adalah bahwa mereka adalah ayat-ayat yang menunjukkan Kebenaran (Haq) dan sebab kesempurnaan, ““Setiap kali kilat itu menyinari (jalan) mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan apabila kegelapan menimpa mereka, mereka berhenti.” (Qs. Al-Baqarah [2]:20)
Namun bagaimanapun, manifestasi (tajalli) dan penampakan cahaya mutlak Ilahi karena intensitas dan kekuatan, tidak mungkin dapat terjadi tanpa melintasi hijab-hujiab, dan di samping itu terdapat entitas-entitas lainnya karena infirmitas dan ketidakmampuan tanpa perantara atau perantara-perantara tidak mampu mencerap dan memahami cahaya mutlak. Sehinga dengan demikian, mereka harus menanjak dan melambung melalui kanal eksistensial nama-nama dan sifat-sifat, Rasulullah Saw dan Ahlulbait As. Oleh karena itu, mereka dapat disebut sebagai hijab tanpa mengandung makna negatif sebagaimana yang disebutkan.
Bagaimanapun, apa yang penting bagi kita adalah mengetahui bahwa hijab-hijab nurâni kendati menunjukkan Tuhan dan semakin bercahaya semakin menunjukkan segala sesuatu yang lebih baik kepada kita. Hanya saja tetap hanya pada batasan menunjukkan Tuhan min warâ al-hijab dan sekali-kali Tuhan tidak dapat dijumpai tanpa tirai dan penghalang; karena pengantin wanita senantiasa mendiami tirai gaib dan tiada satu pun mata hati mahram yang kuasa melihatnya. Dia senantiasa suci dan kudus yang tidak satu pun akal dan hati yang tidak memiliki kesucian dan kekudusan yang mampu menyaksikan jamal dan jalal-Nya yang sedemikian mempesona.
Adapun sehubungan dengan tawassul seberapa berpengaruh dalam mengantarkan manusia mendekat kepada Allah Swt, Anda dapat jumpai dengan merujuk pada jawaban-jawaban 6671 (Site: 6778) dan 542 (Site: 590) serta 7753 (Site: 7866) yang tersedia pada site ini. [iQuest]
[1]. Majma al-Bahrain, jil. 2, hal. 34.
[2]. Riyâdh al-Sâlikin, jil. 2, hal. 29, sehubungan dengan ulasan doa kedua, Talkhish al-Riyadh aw Tuhfat al-Thalibin, jil. 1, hal. 142.
[3]. Bihâr al-Anwâr, jil., 55, hal. 45.
[4]. Ahmad Abidi, Du Mâhnâme Ayine Pazyuhesy, No. 79, Hijâb-ha-ye Nurâni wa Zhulmâni az Didgâh-e Imâm Khomeini, 48-59.
[5]. “Bil ismi lladzi ihtijabta bihi.” Bihar al-Anwar, jil. 18, hal. 427. “Muhammad ShallalLlahu ‘alaihi wa Alihi HijabulLLah.” Ibid, jil. 58, hal. 42. “Al-Imam HijabuLLah wa Ayatullah.” Ibid, jil. 3, hal. 102. AmaraLlahu Ba’dha al-Malaikata hatta yahjubuhu.” Ibid, jil. 61, hal. 53; jil. 58, hal. 256. Awwala ma khalaqaLlahu hajbahu.” Ibid, jil. 36, hal. 342.