1. Derivasi kata nuzûl bermakna turun, sebagaimana hal ini disebutkan dalam Mufradat, Misbah dan Aqrab. Raghib Isfahani menyebutkan demikian, “al- nuzûl fil ashl: huwa intihatu min ‘ulu.” Tentang hujan disebutkan “Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?"(Qs. Al-Waqi’ah [56]:69)
2. Tingkatan dan derajat pewahyuan dan nuzul al-Qur’an: Sebagaimana segala sesuatu memiliki empat hal dan jenis wujud. Wujud lisan (lafzi), wujud tulisan (kitabi), wujud mental (dzihn) dan wujud luaran (ain), wahyu juga demikian adanya memiliki empat jenis wujud.
a. Wujud tulisan (kitabi) al-Qur’an adalah yang lahir dan tampak.
b. Wujud lisan (lafzi) adalah bacaan para pembaca yang dipelajari dari para maksum dan malaikat kepada masyarakat umum.
c. Wujud mental (dzihn) dan ilmiah al-Qur’an terbagi dua: Sebuah wujud pada lauh nafs, sebuah wujud yang turun dari alam amr (perintah) kepada Rasulullah Saw sesuai dengan perintah Allah Swt. Atau makna-makna ghaib tatkala dibaca yang disampaikan ke hati pembaca;
d. Wujud luaran ('ain) al-Qur’an secara global (ijmal) dimana keaslian al-Qur’an dan hakikatnya bersumber dari Allah Swt.
3. Hikmah mengapa al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur: Hikmah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur dan periodikal serta pemisah-misahan al-Qur’an, supaya antara ilmu dan amal terhadap al-Qur'an bergerak seriiring-sejalan dengan sempurnannya potensi manusia dalam menerimanya. Dengan kata lain, turunnya ayat-ayat al-Qur’an secara berangsur-angsur dan surah demi surah, ayat demi ayat, adalah dimaksudkan supaya potensi manusia matang dan sempurna dalam menerima maarif asli, keyakinan, hukum-hukum partikulir, dan pengamalan terhadapnya. Hal ini disesuaikan dengan tuntutan kemaslahatan manusia dimana hal itu adalah ilmu Qur’an dan pengamalan terhadapnya dapat berjalan seiring-sejalan. Dan juga supaya tabiat manusia tidak terusik dalam mengambil maarif dan ahkamnya. Demikian juga, supaya maarifnya dapat dipahami dan dicerap sehingga tidak terjerumus sebagaimana nasib Taurat karena diturunkan sekali sehingga kaum Yahudi menolak menerimanya. Sedemikian sehingga sekiranya Tuhan tidak menggantungkan gunung pada leher mereka, mereka tidak akan menerimanya.
Makna Nuzûl:
Derivasi kata nuzûl bermakna turun, sebagaimana hal ini disebutkan dalam Mufradat, Misbah dan Aqrab. Raghib dalam memaknai nuzul berkata, “al-Nuzul fii al-ashl: huwa inhitat min ‘ulu’ (Nuzul aslinya bermakna turunnya sesuatu dari atas). Terkait masalah hujan disebutkan, “Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?"(Qs. Al-Waqi’ah [56]:69)[1] dan juga “Isa putra Maryam berdoa, “Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami suatu hidangan dari langit." (Qs. Al-Maidah [5]:114).[2] Demikian juga, "Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab samawi dan neraca (pemisah yang hak dan yang batil dan hukum yang adil)" (Qs. Al-Hadid [57]:25)[3] "Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor binatang ternak yang berpasangan." (Qs. Al-Zumar [39]:6)[4] “Hai anak cucu Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu” (Qs. Al-A’raf [7]:26)[5]
Kita tahu bahwa besi tertimbun pada bebatuan, nikmat-nikmat delapan ekor binatang di bumi, pakaian disediakan dari bumi dan rasul berada pada alam kita. Lalu mengapa digunakan redaksi “anzal” pada ayat-ayat ini? Nampaknya jawaban dari semua ini terletak pada ayat “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan di sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu.” (Qs. Al-Hijr [15]:21)[6]
Pada ayat ini disebutkan bahwa segala sesuatu disebut sebagai anzal (diturunkan) dan lantaran seluruh pengaturan berada di tangan Tuhan dan penyebutan anzal (diturunkan) ini pada segala sesuatu adalah benar adanya. Demikian juga dapat dikatakan: atom-atom besi yang terpendam di bumi dan gas-gas hawa dan sebagainya dari langit turun ke bumi. Dan dapat dikatakan: nutfah seluruh hewan turun dari udara sebagaimana seluruh mikroba atas daging-daging, seluruh keju turun dan bahan fermentasi yang turun kepada anggur.
“nnazl” (dengan dhamma nun) artinya apa yang telah tersedia bagi tamu sehingga turun kepadanya. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam kamus, “hal itu juga disebut sebagai kediaman (manzil). Raghib berkata, “al-nazl” “mâ yu’iddu linnâzil min al-zâd (apa yang tersedia bagi orang yang tinggal sebagai bekal). "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi kediaman.” (Qs. Al-Kahf [18]:107)[7] "Adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia mendapat hidangan air yang mendidih." (Qs. Al-Waqiah [56]:92-94)[8] “Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahanam tempat tinggal bagi orang-orang kafir.” (Qs. Al-Kahf [18]:102).[9]
Na-za-la bermakna sekali turun. “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu pada waktu yang lain.” (Qs. Al-Najm [53]:13)[10]
Ma-n-zi-l (dengan formula maf’ul) adalah mashdar mimi dan merupakan kata benda objek (isim ma’ful) "Dan berdoalah, “Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat." (Qs. Al-Mukminun [23]:29)[11] “(Ingatlah) ketika kamu mengatakan kepada mukminin, “Apakah tidak cukup bagimu, Allah membantumu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?” (Qs. Ali Imran [3]:124)[12] adalah isim maf’ul (kata benda objek).
Ta-na-zz-ul dalam Shihah, Qamus dan Aqrab disebutkan sebagai nuzul dengan jarak dan rentang waktu. “Dan Al-Qur’an itu bukanlah dibawa turun oleh setan-setan." (Qs. Al-Syua'ra [26]:201)[13] "Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah senantiasa turun di antara keduanya.” (Qs. Al-Thalaq [65]:12)[14]. Kita memahami bahwa nuzul merupakan sebuah perkara yang berentang dan berperiode.
Terkait dengan nuzul-nya al-Qur’an harus dikatakan bahwa pada sebagian ayat disebutkan “inzâl” dan pada sebagian dinyatakan “tanzil.” Dan dari penggalan teks-teks bahasa dapat dikatakan bahwa “tanzil” biasanya digunakan untuk sesuatu yang turun secara perlahan dan berentang. Namun “inzâl” memiliki makna yang lebih luas dimana turun secara serentak juga termasuk di dalamnya. Perbedaan ini disebutkan dalam al-Qur’an dimana pada dua ayat belakangan di atas dapat dijadikan sebagai contoh dalam masalah ini.[15]
2. Tingkatan dan fase turunnya al-Qur’an
Sebagaimana segala sesuatu memiliki empat dimensi wujud: wujud lisan, wujud tulisan, wujud mental dan wujud luaran, wahyu juga demikian adanya memiliki empat dimensi wujud:
A. Wujud tulisan al-Qur’an yang tampak dan lahir.
B. Wujud lisan al-Qur’an adalah bacaan pembaca yang dibaca semenjak para maksum dan malaikat hingga masyarakat awam.
C. Wujud mental dan ilmiah al-Qur’an yang terbagi lagi menjadi beberapa bagian: wujud di lauh mahfuz, wujud di alam perintah (amr) yang kemudian turun sesuai dengan perintah Ilahi ke dalam hati Rasulullah Saw sebagaimana dalam firman Allah Swt, “"Ar-Ruh al-Amin (Jibril) telah menurunkannya ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan." (Qs. Al-Syuara [26]:169)[16] Atau makna-makna transendental dan metafisik yang diraup tatkala qari membaca al-Qur’an. Seperti firman Tuhan, “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’an ini) suatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tanganmu; andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang-orang yang ingin mengingkari(mu)." (Qs. Al-Ankabut [29]:48)[17] .
D. Wujud luaran secara global dimana hakikat dan realitas al-Qur’an turun dari sumber keagungan Tuhan Esa, sebagaimana firmannya, “Alif Lâm Râ, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu." (Qs. Al-Hud [11]:1)[18]
Wujud luaran al-Qur’an ini adalah yang berbentuk indah dan menjadi kerabat dekat orang-orang mukmin di kubur dan di akhirat akan menjelma dan bertutur-kata serta memberikan syafaat.
Banu Isfahani dalam menyanggah anggapan bahwa hal ini mustahil menuturkan, “Jangan kalian mengira bahwa riwayat yang mengisahkan syafaat yang diberikan al-Qur’an dan sebagainya merupakan sebuah pepatah. Riwayat tersebut harus ditakwil dan dimaknai pada batinnya. Karena al-Qur’an pada setiap tingkatan eksistensi sedemikian ia menjelma dengan jelas sehingga alam-alam wujud berderet secara vertikal. Dan setiap tingkatan rendah merupakan simbol dan penampakan dari tingkatan tingginya. Dan pancarannya menjelma dan memanifestasi di dunia aktual tempat kita berpijak yang merupakan tingkatan terendah dari tingkatan-tingkatan alam eksisten. Dunia tempat kita berpijak merupakan dunia majaz (figuratif, non-hakiki) dan dunia lahir. Dan seluruh eksisten di dunia ini tidak lain merupakan simbol dan penampakan alam atas.
Di atas alam ini terdapat sebuah alam yang berada dalam lintasan menanjak kita manusia. Alam tersebut adalah alam barzakh yang merupakan perantara dan media antara alam dunia dan alam kiamat. Alam barzakh merupakan alam form (shurat) dan alam makna. Dan di atasnya terkait dengan manusia merupakan alam kiamat yang merupakan alam keseluruhan, alam hakikat, alam kehidupan dan di situlah batasan dan akhir perjalanan manusia.
Salah satu nama Kiamat adalah al-Haqqah. Al-Haqqa adalah hakikat, realitas faktual dan hari dimana segala batin dan rahasia terkuak. Yauma tublâ al-sarâir. Kiamat adalah hari dimana segala yang batin akan tampak telanjang dan lahir. Dan juga merupakan alam kehidupan (hayat). “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main belaka. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Qs. Al-Ankabut [29]:64).[19] Karena itu, menjadi jelas bahwa riwayat ini tidak bermakna mustahil, al-Qur’an di kubur dan alam barzakh yang merupakan alam form (shurat) dan alam makna akan berwajah indah dan menjadi kerabat pembacanya. Juga para hari Kiamat yang merupakan alam hakikat, wujud luaran dan realitas al-Qur’an yang turun dari alam hakikat dan di alam ini berbentuk huruf dan kalimat, bertutur kata dan memberikan syafaat. Dan menghinakan orang-orang yang menghinakannya. Dan karena alam kiamat merupakan alam keseluruhan dan alam hakikat segala yang terhitung sebagai aksiden-aksiden di dunia ini akan tampak dan lahir dalam bentuk substansi (jauhar). Misalnya pada alam perbuatan dan amalan manusia tidak lain berbentuk aksiden-aksiden, namun di alam barzakh ia akan tampak dalam bentuk yang sesuai (dengan kondisi alam barzakh) dan pada hari kiamat nyata dalam bentuk substansi. Dan efek-efek substansial akan muncul dari perbuatan tersebut. Yang menjadi dalil dan bukti dari matlab ini adalah ayat-ayat dan riwayat-riwayat dimana secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa perbuatan-perbuatan manusia di kubur akan mengambil bentuk dan form, apabila perbuatan itu merupakan perbuatan baik maka ia akan nampak dalam bentuk indah. Dan apabila perbuatan tersebut adalah perbuatan buruk maka ia akan lahir dalam bentuk buruk-rupa yang akan mengganggu pelaku perbuatan tersebut hingga hari Kiamat. Demikian juga terdapat dalil-dalil rasional yang menegaskan apa yang diwartakan oleh para nabi dan imam tentang terjadinya peristiwa ini.[20]
Karena itu, al-Qur’an memiliki realitas dan hakikat yang merupakan wujud luaran dan global al-Qur’an. Jenis wujud ini tanpa kata-kata, kalimat, ayat, dan huruf. Dan kemudian al-Qur’an mencapai tingkatan detil dan rincinya, memiiliki lafaz-lafaz, batasan dan bentuk. Tingkatan rinci dan detilnya terdapat dua jenis: Jenisnya selembaran yang terjadi pada malam lailatul Qadar dan jenis lainnya secara berperiode selama 23 tahun risalah Nabi Saw.
Terdapat dua tingkatan dalam menjelaskan perkara-perkara yang berdasarkan ketentuan Ilahi: Pertama, hukum-hukum (ahkam). Kedua, rincian. Harus diperhatkan bahwa tingkatan muhkam keluar menuju tingkatan rincinan pada malam Qadar. "Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Penurunan Al-Qur’an itu) sebagai perintah dari sisi Kami." (Qs. Dukhan [44]:4-5) [21]
Salah satu perkara ini adalah al-Qur’an yang keluar dari tingkatan ahkam dan turun pada malam Qadar dan dalam jangkauan pemahaman manusia. Artinya al-Qur’an turun dua kali dari tingkatan ahkam menuju tingkatan rincian. Sekali waktu dalam bentuk selembaran pada malam Qadar. Dan kali lainnya turun dalam bentuk berperiode selama 23 tahun pada pelbagai peristiwa dan kejadian. Kemudian turun secara rinci dengan lafaz-lafaznya lewat jalan wahyu kepada Nabi Saw. Pada tingkatan ahkam[22] adalah tingkatan global dan buram, tidak berbentuk kalimat, huruf dan ayat. Tingkatan ini seperti pena yang penuh dengan tinta dan dawat. Namun tingkatan detil dan rincinya, pena yang penuh tinta tersebut tergoreskan lafaz-lafaz dan kalimat. Pada malam Qadar, tadinya berbentuk ahkam, simpel, dan tunggal kini terpisah dari satu dengan yang lain dan turun dalam format batasan, bentuk-bentuk dan pelbagai karakter.[23]
Dari apa yang diutarakan di atas menjadi jelas bahwa tingkatan nuzul-nya al-Quran adalah: tingkatan ahkam, tingkatan rinci secara serentak. Dan tingkatan rinci secara periodik dan perlahan. Namun sebagian mufassir (penafsir) menjelaskan sesuatu yang lain yang layak untuk disimak. Mereka berkata: Tingkatan pertama, lafaz-lafaz asli al-Qur’an telah ada dan wujud yang terdiri dari ba-bismillah, hingga sin (an-Nas) yang disebut sebagai firman Tuhan atau Kalamullah. Kemudian melalui qalam tertulis di lauh mahfuz dimana Tuhan berfirman, “Bahkan yang mereka didustakan itu ialah Al-Qur’an yang mulia. Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfûzh.” (Qs. Al-Buruj [85]:21-22).[24] Tingkatan ketiga berfirman pada cahaya kudus Nabi Saw di alam anwar (cahaya-cahaya), “"Dan sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui. sesungguhnya (kitab) itu adalah Al-Qur’an yang sangat mulia. Yang terdapat dalam kitab yang terpelihara (Lauh Mahfûzh). Tidak dapat menyentuhnya (memahaminya) kecuali hamba-hamba yang disucikan." (Qs. Al-Waqiah [56]:76-79)[25] Kemudian para malaikat turun pada malam Qadar di Bait al-Makmur atau langit pertama, kemudian Malaikat Jibril menurunkan al-Qur’an selama masa risalah 23 tahun, surah demi surah, ayat demi ayat ke dalam kalbu Nabi Saw dimana Tuhan berfirman, “Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Ar-Ruh al-Amin (Jibril) telah menurunkannya. ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan." (Qs. Al-Syuara [42]:192-194)[26],[27]
1. Sebab Mengapa Al-Qur’an diturunkan secara periodikal
Pada masa hayat Rasulullah Saw bilamana terjadi sebuah peristiwa atau tatkala kaum Muslimin berhadapan dengan kesulitan atau untuk mengatasi kesulitan tersebut atau terkadang jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka maka sekumpulan ayat atau surah diturunkan terkait dengan peristiwa tersebut. Pelbagai peristiwa atau kejadian yang berlaku kemudian diturunkan ayat atau surah ini secara terminologis disebut sebagai sebab-sebab pewahyuan (asbab al-nuzul atau sya'n al-nuzul) dimana hal ini sangat diperlukan untuk dapat memahami secara tepat dan akurat kebanyakan ayat-ayat al-Qur'an.
Karena itu, al-Qur'an diwahyukan dan diturunkan secara periodikal dan perlahan selama 23 tahun pra dan pasca hijrat pada pelbagai peristiwa yang beragam. Pewahyuan dan penurunan (nuzul) ini terkadang ayat-demi-ayat dan terkadang dalam bentuk satu surah. Hal ini berlanjut hingga akhir hayat Nabi Saw. Kemudian ayat-ayat dihimpun dan dalam bentuk satu himpunan kitab al-Qur'an.
Model pewahyuan dan penurunan (nuzul) ini merupakan salah satu tipologi al-Qur'an dan membuatnya berbeda dengan kitab-kitab samawi lainnya. Karena Suhuf Ibrahim dan Alwah Musa diturunkan sekali waktu dan hal ini telah menjadi dalih bagi kaum Musyrikin untuk mencari cela dan aib dari kedua kitab tersebut. Al-Qur'an menyebutkan, "Orang-orang yang kafir berkata, “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?” Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya, dan (untuk itu) Kami membacakannya (kepadamu) setahap demi setahap." (Qs. Al-Furqan [25]:32)[28]
Di tempat lain Allah Swt berfirman, "Dan Kami telah memisah-misahkan ayat-ayat Al-Qur’an itu agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya dengan berangsur-angsur." (Qs. Al-Isra [17]:106) Allamah Thabathabai dalam menafsirkan ayat ini menuturkan poin-poin berharga dan berkata, "Ayat terlepas dari konteksnya mengandung seluruh maarif (pengetahuan) al-Qur'an dan maarif ini dalam bentuk lafaz-lafaz dan redaksi-redaksi di sisi Tuhan yang tidak dapat dijangkau oleh manusia kecuali diturunkan secara berangsur-angsur dan periodikal. Karena itu, al-Qur'an harus diturunkan secara berangsur-angsur yang juga merupakan tipologi alam semesta ini sehingga manusia dapat dengan mudah berasionisasi dan memahaminya serta menghafalnya. Dengan demikian, makna ayat (Isra [17]:106) ini dijelaskan pada ayat lainnya, " Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam induk al-Kitab (Lauh Mahfûzh) di sisi Kami adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah." (Qs. Zukhruf [43]:3-4)[29] yang berada pada tataran menjelaskan ayat (Isra [17]:106). Hikmah diturunkannya al-Qur'an secara berangsur-angsur dan pemisah-misahan al-Qur'an adalah untuk seiring-sejalannya ilmu dan amal terhadap al-Qur'an dan berseminya secara sempurna potensi manusia dalam mengekspresikan dan memahaminya.
Dan pewahyuan dan penurunan al-Qur'an secara berangsur-angsur dan periodikal, dalam bentuk surah-demi-surah, ayat-demi-ayat, adalah supaya berseminya potensi manusia dalam memahami dan mengekspresikan maarif asli, akidah, hukum-hukum cabang berikut pengamalannya. Dan sesuai dengan tuntutan kemaslahatan bagi manusia. Dan hal itu adalah pengetahuan al-Qur'an dan pengamalan terhadapnya dapat dilakukan seiring-sejalan. Supaya tabiat manusia tidak shock dan kaget dalam menerima maarif dan hukum-hukum. Manusia dapat dengan mudah memahami satu demi satu maarif al-Qur'an sehingga tidak terpuruk nasibnya sebagaimana yang menimpa Taurat dimana karena sekali waktu diturunkan membuat kaum Yahudi membangkang dengan dalih bahwa mereka tidak dapat memahaminya. Sehingga sekiranya Tuhan menggantungkan gunung di leher mereka, sekali-kali tidak akan pernah menerima Taurat tersebut.[30]
Demikian juga yang dapat disimpulkan terkait hikmah mengapa al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur supaya Nabi Saw dan kaum Muslimin merasa bahwa Tuhan senantiasa bersama mereka dan selalu meraup perhatian khusus dari-Nya, serta supaya hubungan mereka berketerusan dengan Allah Swt. Kesenantiasaan (turunnya) wahyu dan penurunan ayat-ayat dalam bentuk sedemikian menjadi penyebab keceriaan kaum Muslimin dan ketetapan hati mereka.[31]
Karena itu pewahyuan dan penurunan ayat-ayat al-Qur'an pada pelbagai kesempatan dan peristiwa yang beragam, terhimpun dalam bentuk surah dan terkumpul dalam format himpunan kitab al-Qur'an. Bilangan ayat-ayat setiap surah merupakan sebuah perkara taufiqi (sudah dari sananya), semenjak surah yang terpendek (al-Kautsar 3 ayat) hingga yang terpanjang (al-Baqarah 286 ayat) dihimpun berdasarkan perintah khusus Rasulullah Saw dan senantiasa demikian adanya hingga kini tanpa adanya intervensi, penambahan dan pengurangan. Tentu dalam hal ini terpendam rahasia yang berkaitan dengan mukjizat al-Qur'an dan kesesuaian-kesesuaian ayat-ayat.[32]
Demikian juga terkait bagaimana terbentuknya ayat-ayat menjadi surah-surah juga harus dikatakan bahwa "Urutan, runutan, keteraturan, dan bilangan ayat setiap surah dilakukan atas perintah Rasulullah Saw pada masa hidupnya. Perkara ini merupakan perkara taufiqi (dari sononya) yang harus diterima taabbudan.[33] Dan dibacakan dengan urutannya yang ada pada setiap surah. Setiap surah dimulai dengan Bismillahir Rahmanir Rahim dan ayat-ayat dicatat berdasarkan urutan pewahyuan dan penurunannya. Hingga waktu lain bismillah lainnya diturunkan maka bermulalah surah lainnya. Demikianlah aturan natural ayat-ayat. Terkadang terjadi, Nabi Saw, dengan petunjuk Jibril, memerintahkan penempatan sebuah ayat berbeda dengan aturan naturalnya misalnya ayat, "Dan takutlah terhadap suatu hari yang pada waktu itu kamu semua akan dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri akan mendapatkan balasan apa yang telah dikerjakannya secara sempurna, sedangkan mereka tidak akan dianiaya (dirugikan) sedikit pun." (Qs. Al-Baqarah [2]:281) yang disebutkan sebagai ayat terakhir yang diturunkan namun Nabi Saw menitahkan ayat ini diletakkan antara ayat-ayat riba dan hutang pada surah Baqarah ayat 281.
Karena itu, peletakan ayat-ayat pada surah-surah baik mengikut aturan naturalnya atau aturan strukturalnya merupakan perkara taufiqi dan hal ini dilakukan atas perintah khusus Rasulullah Saw sendiri yang harus diikuti. Tidak demikian bahwa pada setiap tempat dengan berakhirnya satu persoalan maka ayat berakhir. Boleh jadi berada pada pertengahan matlab ayat berakhir. Dan kelanjutan matlab tersebut dijumpai pada ayat lainnya. Dengan demikian, panjang-pendeknya setiap ayat tidak bergantung pada matlab yang terkait dengan ayat tersebut. Perkara ini semata-mata merupakan perkara taufiqi dimana para pendahulu kita sedikit berbeda pendapat terkait ukuran ayat-ayat. Atas alasan ini, terkadang Nabi Saw berhenti pada satu ayat dan tidak melanjutkan bacaan ayat tersebut sehingga disangka ayat telah berakhir. Dan boleh jadi pada ayat lainnya Nabi Saw melanjutkan bacaannya tanpa berhenti.[34]
Oleh karena itu peletakan ayat-ayat pada surah-surah baik dari aturan natural atau aturan strukturalnya merupakan sebuah perkara taufiqi. Dan dilakukan di bawah pengawasan dan perintah langsung Nabi Saw yang harus diikuti dan ditaati. Tidak demikian bahwa pada setiap tempat dengan berakhirnya satu persoalan maka ayat berakhir. Boleh jadi berada pada pertengahan matlab ayat berakhir. Dan kelanjutan matlab tersebut dijumpai pada ayat lainnya. Dengan demikian, panjang-pendeknya setiap ayat tidak bergantung pada matlab yang terkait dengan ayat tersebut.
Adapun surah-surah yang diturunkan kepada Nabi Saw suatu tempat dan satu himpunan surah adalah, "al-Dhuhâ, al-Fâtihah, al-Ikhlâsh, al-Kautsar, al-Lahab, al-Nashr, al-Nas, al-Falaq, al-Murâsalat, al-Mâidah, al-An'âm, al-Taubah, Shaf, al-'Âdiyat, al-Kâfirun.[35][]
[1]. ﴿أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ﴾
[2]. قالَ عیسَى ابْنُ مَرْیَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنا أَنْزِلْ عَلَیْنا مائِدَةً مِنَ السَّماءِ ﴾ ﴿
[3]. ﴿ لَقَدْ أَرْسَلْنا رُسُلَنا بِالْبَیِّناتِ وَ أَنْزَلْنا مَعَهُمُ الْکِتابَ وَ الْمیزانَ لِیَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَ أَنْزَلْنَا الْحَدیدَ فیهِ بَأْسٌ شَدیدٌ وَ مَنافِعُ لِلنَّاسِ﴾
[4]. ﴿وَ أَنْزَلَ لَکُمْ مِنَ الْأَنْعامِ ثَمانِیَةَ َزْواجٍ﴾
[5]. ﴿ یا بَنی آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنا عَلَیْکُمْ لِباساً یُواری سَوْآتِکُمْ ﴾
[6]. ﴿ وَ إِنْ مِنْ شَیْءٍ إِلاَّ عِنْدَنا خَزائِنُهُ وَما نُنَزِّلُهُ إِلاَّ بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ ﴾
[7]. ﴿ إِنَّ الَّذینَ آمَنُوا وَ عَمِلُوا الصَّالِحاتِ کانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلاً ﴾
[8]. ﴿ إِنَّا أَعْتَدْنا جَهَنَّمَ لِلْکافِرینَ نُزُلاً ﴾
[9]. ﴿وَ أَمَّا إِنْ کانَ مِنَ الْمُکَذِّبینَ الضَّالِّینَ. فَنُزُلٌ مِنْ حَمیمٍ ﴾
[10]. ﴿وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرى﴾
[11]. ﴿ وَ قُلْ رَبِّ أَنْزِلْنی مُنْزَلاً مُبارَکاً وَ أَنْتَ خَیْرُ الْمُنْزِلینَ ﴾
[12]. ﴿ إِذْ تَقُولُ لِلْمُؤْمِنینَ أَلَنْ یَکْفِیَکُمْ أَنْ یُمِدَّکُمْ رَبُّکُمْ بِثَلاثَةِ آلافٍ مِنَ الْمَلائِکَةِ مُنْزَلینَ ﴾
[13]. ﴿ وَما تَنَزَّلَتْ بِهِ الشَّیاطینُ ﴾
[14]. ﴿ ٱللهُ الَّذی خَلَقَ سَبْعَ سَماواتٍ وَ مِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ یَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَیْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا ﴾
[15]. Tafsir Nemune, jil. 27, hal. 182.
[16]. ﴿نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمینُ عَلى قَلْبِکَ لِتَکُونَ مِنَ الْمُنْذِرینَ ﴾
[17]. ﴿وَما کُنْتَ تَتْلُوا مِنْ قَبْلِهِ مِنْ کِتابٍ وَلا تَخُطُّهُ بِیَمینِکَ إِذاً لاَرْتابَ الْمُبْطِلُونَ﴾
[18]. ﴿الر کِتابٌ أُحْکِمَتْ آیاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَکیمٍ خَبیرٍ﴾
[19]. ﴿وَما هذِهِ الْحَیاةُ الدُّنْیا إِلاَّ لَهْوٌ وَ لَعِبٌ وَ إِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِیَ الْحَیَوانُ لَوْ کانُوا یَعْلَمُونَ﴾
[20]. Banu Isfahani Sayidah Nusrat Amin, Makhzan al-Irfân dar Tafsir Qur'ân, jil. 1, hal. 15-17, Nasyir: Nehdat Zanan Musalman, Teheran, 1361 S.
[21]. ﴿فیها یُفْرَقُ کُلُّ أَمْرٍ حَکیمٍ. أَمْراً مِنْ عِنْدِنا إِنَّا کُنَّا مُرْسِلینَ ﴾
[22]. (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu." (Qs. Al-Hud [11]:1)
[23]. Dalam hal ini silahkan lihat, Murtadha Muthahhari, Asyanai ba Qur'an, jil. 5, hal. 101-105. Muhammad Husain Thabathabai, Al-Mizan (terjemahan
[24]. ﴿بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجیدٌ. فی لَوْحٍ مَحْفُوظٍ ﴾
[25]. ﴿وَ إِنَّهُ لَقَسَمٌ لَوْ تَعْلَمُونَ عَظیمٌ. إِنَّهُ لَقُرْآنٌ کَریمٌ. فی کِتابٍ مَکْنُونٍ لا یَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ ﴾
[26]. ﴿ وَ إِنَّهُ لَتَنْزیلُ رَبِّ الْعالَمینَ . نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمینُ. عَلى قَلْبِکَ لِتَکُونَ مِنَ الْمُنْذِرینَ ﴾
[27]. Tayib Sayid Abdulhusein, Atyab al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, jil. 13, hal. 177, jil. 1, hal. 68-70. Diadaptasi dari jawaban 3234 (site: 4076), Tingkatan Pewahyuan.
[28]. ﴿ وَ قالَ الَّذینَ کَفَرُوا لَوْلا نُزِّلَ عَلَیْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً واحِدَةً کَذلِکَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤادَکَ وَ رَتَّلْناهُ تَرْتیلاً﴾
[29]. ﴿إِنَّا جَعَلْناهُ قُرْآناً عَرَبِیًّا لَعَلَّکُمْ تَعْقِلُونَ. وَ إِنَّهُ فی أُمِّ الْکِتابِ لَدَیْنا لَعَلِیٌّ حَکیمٌ ﴾
[30]. Muhammad Husain Thabathabai, Op Cit, jil. 13, hal. 305-306.
[31]. Muhammad Hadi Ma'rifat, 'Ulum al-Qur'ân, hal. 60-61.
[32]. Muhammad Hadi Ma'rifat, Op Cit, hal. 111.
[33]. Misalnya shalat Maghrib tiga rakaat memang sudah dari sononya ditetapkan demikian.
[34]. Muhammad Hadi Ma'rifat, Op Cit, hal. 117.
[35]. Asrar Mustafa, Dânestanihaye Qur'ân, hal. 28. Shadiq Hasan Zadeh, Kelid-e Qur'ân, hal. 134. Diadaptasi dari jawaban 1607 (Site 1609), Ayat Demi Ayat al-Qur'an.