Taubat adalah salah satu jalan bagi keselamatan manusia dari hukuman dan azab Ilahi. Taubat bermakna kembali untuk tidak mengerjakan dosa-dosa dan berpaling kepada Allah Swt. Allah Swt tidak akan membuat manusia putus asa akibat dosa-dosa yang dikerjakannya. Allah Swt menyeru supaya manusia melakukan taubat yang sebenarnya. Di samping itu, Allah Swt juga menjanjikan untuk menerima taubat para hambanya.
Bertaubat bukanlah pekerjaan mudah. Tidak mengerjakan perbuatan dosa sebenarnya lebih mudah dari bertaubat. Salah satu syarat diterimanya taubat adalah menunaikan hak Allah Swt dan hak manusia. Apabila hak-hak ini tidak ditunaikan maka taubat seorang hamba tidak akan diterima.
Apa yang dapat disimpulkan dari teks-teks agama adalah bahwa Allah Swt lebih ketat terkait dengan urusan hak manusia ketimbang hak-Nya sendiri. Namun hal ini tidak bermakna bahwa Allah Swt memudahkan dan mengampuni tanpa hikmah-Nya terkait dengan hak-hak-Nya.
Pertama-tama harus ditegaskan bahwa terkadang dalam riwayat dan ajaran Islam, untuk menunjukkan kebesaran dan keagungan hak manusia, hak manusia dibandingkan dengan hak Allah dan menjelaskan bahwa Allah Swt rela mengabaikan hak-Nya namun tidak akan mengabaikan hak manusia. Meski hal ini merupakan masalah yang benar namun terdapat beberapa catatan yang ada harus tetap diperhatikan.
Pertama bahwa hak Allah Swt sangat agung dan besar. Terdapat sebagian hak-hak Ilahi yang lebih penting dari seluruh hak manusia dan apabila ada orang yang tidak mengamalkannya maka ia telah melakukan dosa besar. Salah satunya adalah syirik yang apabila seseorang meninggal dunia dalam keadaan syirik maka sekali-kali Allah Swt tidak akan mengampuni dosa tersebut! Namun yang lebih rendah dari itu, Allah Swt akan mengampuninya sesuai dengan yang Dia kehendaki.[1]
Kita memiliki beberapa riwayat tentang keagungan hak-hak Ilahi yang dihormati dan dipandang wajib. Salat merupakan salat satu hak Ilahi yang bagi orang yang meninggalkannya dijanjikan azab sebagaimana orang-orang kafir.[2]
Kedua, harap berhati-hati sehingga dengan kemahapemurahan Tuhan tidak membuat manusia lalai menunaikan tugas-tugas Ilahinya dan menunda-nunda taubatnya.
Ketiga, sesuai dengan sebagian ayat al-Qur’an, taubat pada masa manusia yakin akan kematiannya tidak akan diterima. Allah Swt befirman melalui lisan Fir’aun, “Dan (pada akhirnya) Kami menyeberangkan Bani Isra’il dari laut (sungai Nil) itu, lalu mereka diikuti oleh Fira‘un dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fira‘un itu telah hampir tenggelam, ia berkata, “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Isra’il, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah) .” (Qs. Yunus [10]:90) Terkait ayat ini, Imam Musa Kazhim As bersabda, “Karena Fir’aun beriman pada masa-masa kesakitan sakaratul maut, imannya tidak diterima (oleh Allah Swt).”[3]
Dengan demikian, riwayat-riwayat seperti yang Anda sebutkan sebaiknya dijelaskan dan diuraikan sehingga tidak bertentangan dengan prinsip pasti al-Qur’an ini. Kesemua riwayat tatkala seseorang belum merasakan kesakitan sakaratul maut dan beriman dengan ikhtiar tanpa adanya faktor eksternal yang memaksa.
Taubat adalah sebuah terminologi Arab yang bermakna “kembali.”[4] Taubat dari dosa bermakna kembali dari dosa (tidak lagi mengerjakan perbuatan dosa). Dalam teks-teks agama, di antaranya al-Qur’an di samping taubat hamba juga disebutkan taubat Tuhan. Taubat hamba bermakna kembalinya hamba kepada Tuhan dengan meninggalkan dosa-dosa. Taubat Tuhan bermakna kembalinya Tuhan kepada hamba-Nya dengan pandangan kasih dan cinta. Taubat manusia pendosa terletak di antara dua taubat Tuhan.[5] Hal itu terlaksana dengan cara bahwa pertama-tama Tuhan kembali kepada manusia pendosa dan pendosa memperoleh taufik dengan cara seperti ini dan kali kedua, Tuhan kembali ke sisi hamba setelah si hamba bertaubat dan menerima taubatnya dan mengampuninya.
Taubat Sejati
Apa yang dapat disimpulkan dari teks-teks agama adalah bahwa taubat bukan merupakan pekerjaan mudah. Amirul Mukminin Ali As bersabda, “Meninggalkan dosa lebih baik daripada bertaubat.”[6] Taubat bukan hanya berucap astaghfirullâh. Taubat artinya manusia dengan segala wujudnya kembali kepada Tuhan. Menyesal atas perbuatan dosa yang ia lakukan dan serius memutuskan untuk tidak lagi mengulang perbuatan tersebut. Sekiranya ia melanggar hak seseorang, apakah itu hak Allah Swt atau hak manusia maka ia harus segera memenuhi hak tersebut. Al-Qur’an menyeru orang-orang beriman untuk melakukan taubat nasuha.[7] Imam Ali As bersabda: “Taubat nasuha adalah sebuah taubat yang disesali oleh seorang pendosa dalam dirinya dan beristighfar melalui lisannya dan memutuskan untuk tidak lagi mengulang dosa tersebut.”[8]
Sebagaimana yang dapat disimpulkan dari hadis ini bahwa syarat dikabulkannya taubat adalah menebus segala kewajiban yang ditinggalkan dan menunaikan hak-hak manusia. Supaya dosa manusia diampuni maka hak-hak Allah dan manusia yang telah dilanggar ditebus. Allah Swt lebih ketat terhadap hak-hak manusia dan sepanjang orang yang dilanggar haknya tidak ridha, Allah Swt juga tidak akan ridha kepadanya dan taubat seorang pendosa tidak akan diterima.
Dalam sebuah hadis disebutkan, “Kezaliman dan kejahatan dalam satu jam di sisi Allah lebih buruk dari dosa enam puluh tahun.”[10] Dalam hadis yang lain kita membaca, “Kezaliman terbagi menjadi tiga. Kezaliman yang diampuni Tuhan, kezaliman yang tidak diampuni Tuhan dan kezaliman yang tidak akan diabaikan Tuhan. Kezaliman yang tidak ampuni Tuhan adalah syirik kepada Allah Swt dan kezaliman yang diampuni adalah kezaliman manusia kepada dirinya sendiri atas apa yang ada antara dirinya dan Tuhan. Adapun kezaliman yang tidak diabaikan begitu saja oleh Tuhan adalah hak-hak yang terdapat di antara sesama para hamba.”[11]
Menunda-nunda Taubat
Senantiasa tindakan pencegahan lebih baik dari mengobati. Manusia harus berupaya supaya tidak terjerembab dalam kubangan dosa. Apabila ia melakukan maksiat maka segera ia akan bertaubat dan tidak menunda-nunda taubat. Karena menunda-nunda (taswif) dalam masalah taubat merupakan was-was dan bisikan setan sehingga taufik taubat ternafikan dari manusia. Taubat adalah sebuah kewajiban yang harus ditunaikan segera setelah manusia melakukan dosa. Luqman al-Hakim menasihatkan kepada putranya, “Wahai Putraku! Janganlah menunda-nunda taubat. Karena kematian kapan saja akan datang menjemput manusia.”[12] Kematian tidak pernah mengabarkan dan boleh jadi setelah seorang pendosa berhasil bertaubat kemudian ajal datang menjemput dan meninggal tanpa bertaubat.
Demikian juga, akibat banyaknya dosa, keyakinan dan iman manusia akan semakin lemah dan bukan hanya tidak bertaubat bahkan banyak mendustai keyakinan-keyakinan agama lalu kafir dan meninggal dalam keadaan kafir. “Kesudahan bagi mereka yang mengerjakan kejahatan dan berlaku buruk adalah kekafiran dan mereka mendustakan dan mengolok-olok ayat-ayat Allah.” (Qs. Al-Rum [30]:10)
Benar bahwa “Taubat akan diterima selama manusia tidak putus asa dari kehidupannya.”[13] Namun harap diperhatikan bahwa semakin manusia menunda taubat maka semakin sukar bagi manusia untuk bertaubat. Karena jiwa manusia semakin mencicip lezatnya dosa maka semakin susah baginya untuk meninggalkannya. [iQuest]
[1]. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Al-Nisa [4]:48)
[2]. Muhammad bin al-Hasan, Hurr al-Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 4, hal. 22.
[3]. Wasâil al-Syiah, jil. 16, hal. 90.
[4]. Ibnu Faris, Maqâyiis al-Lughah, hal. 357, Maktab al-‘Alam al-Islami, 1404 H.
[5]. Diadaptasi dari ayat 117 surah al-Taubah, “Sesungguhnya Allah telah melimpahkan rahmat-Nya kepada nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Anshar, yang mengikuti nabi dalam masa kesulitan (perang Tabuk), setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling (dan melarikan diri dari medan perang), kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka.”
[6]. Muhammad bin Ya’qub Kulain, Ushûl Kâfi, jil. 2, hal. 451, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[7]. “Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya, pada hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Qs. Al-Tahrim []:8)
[8]. Husain bin Syu’ba, al-Harrani, Tuhaf al-‘Uqul, hal. 210, Jami’ah Mudarrisin, Qum, 1404 H.
[9]. Nahj al-Balâgha, naskah Faidh al-Islam, Kalimât al-Qishâr (Hikmah-hikmah Pendek), Hadis 409.
[10]. Jâmi’a al-Sa’âdah, jil. 2, hal. 221.
[11]. Kulaini, al-Kâfi, jil. 2, hal. 331.
[12]. Hasan bin Abi al-Hasan Dailami, Irsyâd al-Qulûb, jil. 1, hal. 72, Syarif al-Radhi, 1412 H.
[13]. Syaikh Mufid, Awâil al-Maqâlat, hal. 85, Kongre Syaikh Mufid, Qum, 1413 H.