Hukum mengemudi kaum perempuan adalah hukum yang harus dijelaskan dengan memanfaatkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang lain. Artinya kita tidak memilik hukum secara langsung terkait dengan hukum mengemudi kaum perempuan, karena persoalan ini termasuk dalam persoalan-persoalan kontemporer (mustahdatsah). Ulama Saudi yang memberikan hukum keharaman menukil beberapa dalil yang semuanya sangat debatable (patut diperdebatkan) dan tidak masuk akal.
Adapun ulama Syiah dengan memanfaatkan ayat dan riwayat serta tiadanya dalil atas keharaman dan larangan mengemudi bagi kaum perempuan membolehkan dengan tetap menjaga hijab dan etika Islam. Sebagaimana sebagian ulama Ahlusunnah di negara-negara Arab lainnya membolehkan kaum perempuan mengemudi.
Dalam masyarakat terkadang mengemuka persoalan-persoalan dan subyek-subyek baru yang belum lagi ditentukan hukumnya dalam syariat Islam. Hukum atas persoalan tersebut harus diperoleh melalui jalan inferensi (instinbâth) yaitu dengan memanfaatkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip lainnya.
Mengemudi bagi kaum perempuan juga termasuk dalam persoalan baru ini yang hukumnya dapat diperoleh melalui jalan inferensi (istinbâth) hukum syariat.
Ulama Saudi mengharamkan mengemudi bagi kaum perempuan dengan menukil dalil-dalil yang kesemuanya debatable (patut diperdebatkan) dan tidak masuk akal.
Dalam sebuah pertanyaan tertulis (istifta’a) yang ditujukan kepada Abdul Aziz Abdullah bin Baz terkait dengan hukum mengemudi bagi kaum perempuan, ia berkata, “Tidak ada keraguan bahwa hal tersebut tidak dibenarkan (haram). Karena mengemudi bagi kaum perempuan akan banyak menimbulkan kerusakan yang di dalam syariat (kita) diperintahkan untuk mencegah kerusakan ini.”[1] Demikian juga, Abdullah bin Shaleh al-‘Utsaimin menandaskan hal ini bahwa tidak dibenarkan (kaum perempuan mengemudi) karena mengandung banyak kerusakan.”[2]
Ia memandang kerusakan sebagai alasan pengharaman mengemudi bagi kaum perempuan yang dalam anggapannya muncul akibat mengemudi kaum perempuan. Ia memandang bahwa kalau perempuan mengemudi maka mereka akan melepas hijabnya, menyebabkan hilangnya rasa malu, banyak keluar rumah, pembangkangan kaum perempuan terhadap penghuni rumah atau kepada suaminya, padatnya jalan-jalan, dan membuat sebagian kaum muda tidak memiliki kesempatan untuk mengemudi lagi. Hal-hal ini adalah di antara dalil-dalil yang dikemukakan olehnya terkait dengan kerusakan ini.[3]
Sebagaimana yang Anda perhatikan mufti Saudi ini memandang beberapa hal asumtif (fardhi) sebagai sesuatu yang pasti (qat’hi) kemudian mengeluarkan hukum pengharaman mengemudi bagi kaum peremupan. Namun pertanyaannya apakah masalah-masalah ini dapat dibenarkan bagi kaum Muslimah dan Mukminah yang ingin mengemudi? Apakah perempuan tidak mungkin mengemudi tanpa satu pun kerusakan (mafsadah) yang disebutkan di atas?
Pada masyarakat Islam Iran sepanjang beberapa dasawarsa banyak kaum perempuan Muslimah dan Mukminah mengemudikan kendaraan tanpa adanya hal-hal yang disebutkan Abdullah bin Baz di atas. Artinya pada tataran praktis telah terbukti bahwa perempuan Muslimah dapat mengemudi dimana pada saat yang sama mereka tetap menjaga rasa malu, hijab dan kehormatannya serta tidak menimbulkan kerusakan di tengah masyarakat.
Nampaknya para mufti Kerajaan Saudi telah mencampur aduk ragam persoalan. Apakah banyak keluar rumah apabila mendapatkan restu suami dan dengan memelihara etika Islam tetap haram? Apakah mengemudi adalah dalil pembangkangan perempuan? Bagaimana mungkin seperti itu? Benar, boleh jadi dalam satu atau beberapa hal, di antara kaum perempuan yang mengemudi terdapat perempuan pembangkang namun tidak semuanya demikian.
Apa yang dikemukakan oleh Abdullah bin Baz bukanlah dalil-dalil yang dapat dikemukakan terkait dengan kaum perempuan Mukminah dan mengenakan hijab yang menjaga seluruh aturan syariat dan etika Islam. Apakah keramaian jalan-jalan adalah sesuatu yang haram dan dapat menjadi dalil pengharaman mengemudi bagi kaum perempuan? Apakah jika ditetapkan bahwa kaum laki-lakilah yang membuat jalan-jalan menjadi ramai dan padat apakah keharaman itu tetap berlaku dan mereka juga harus dilarang mengemudi secara syar’i? Apakah di kota-kota kecil dan desa-desa yang jalan-jalannya sepi mengemudi bagi kaum perempuan tidak bermasalah?
Di samping itu, perbuatan sebagian negeri Islam tidak dapat menjadi contoh dan obyek Islam. Artinya kita tidak dapat menyebut bahwa apabila negara A (negara yang berpenduduk mayoritas Muslim) memandang sebuah pekerjaan halal maka juga pasti halal dalam pandangan Islam? Dan apabila memandangnya haram maka juga pasti haram dalam pandangan Islam? Boleh atau tidaknya, halal atau haramnya sesuatu memerlukan dalil syar’i yang standar dan muktabar.
Para juris (fakih) Syiah dengan memperhatikan bahwa dalam pandangan Islam tidak seorang pun yang memiliki hak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram tanpa dalil standar syar’i. Dan demikian juga apabila kita ragu terhadap sesuatu yang haram maka mereka memberikan fatwa bahwa prinsipnya adalah halal (asl hilliyat) bahwa tidak ada masalah mengemudi bagi kaum perempuan dengan menjaga hijab secara sempurna dan etika Islam.[4]
Apa yang kita saksikan terkait dengan perempuan Mukminah Iran dengan tetap menjaga etika Islam dan rasa malu mereka melakukan pekerjaan ini tanpa sedikit pun kesulitan. Namun selain Iran, pada kebanyakan negera-negara Arab di kawasan teluk, kaum perempuan mengemudi tanpa adanya halangan dan sebagian ulama mereka tidak menerima dan bahkan mengkritisi fatwa ulama Saudi ini.[5] [IQuest]
[1]. Al-Adillah al-Mukhtalif fiha ‘inda al-Ushûliyyin wa Tathbiqatihâ al-Muâ’shira, Dr. Mushlih Abdulhayyi al-Najjar, hal. 144. Fawâid wa Fatâwa, Abdullah bin Abdurrahman, hal. 164. Fatâwa al-Mar’ah, Khalid al-Jarisi, hal. 8.
[2]. Ibid, hal. 147.
[3]. Ibid.
[4]. Taudhih al-Masâil Marâji, jil. 2, hal. 931. Istifta’at Imam Khomeini Ra, jil. 3, hal. 358, Pertanyaan-pertanyaan 35-41.
[5]. Al-Adillah al-Mukhtalif fiha ‘inda al-Ushûliyyin wa Tathbiqatihâ al-Muâ’shira, hal. 144.