Terkait dengan epistemologi relatif atau absolut, kita harus meyakini adanya perbedaan antara obyek-obyek indrawi-empirik dan obyek-obyek rasional; karena menyangkut obyek-obyek indrawi-empirik sangat boleh jadi pengetahuan dan pengenalan kita bersifat relatif dan nisbi. Obyek-obyek indrawi-empirik dalam beberapa hal khusus telah terbukti dan terdapat kemungkinan kesalahan dalam obyek-obyek indrawi-empirik. Namun dalam obyek-obyek rasional tidak demikian adanya. Karena prinsip-prinsip rasional apabila dijelaskan secara tepat dan benar maka ia akan bersifat absolut. Karena itu, kita tidak menerima relatifitas epistemologi dalam obyek-obyek rasional.
Sebelum menjelaskan hal ini kiranya kita perlu memperhatikan bahwa sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam buku-buku epistemologi, pengetahuan terbagi menjadi dua bagian:
1. Pengatahuan indrawi-empirik
2. Pengetahuan rasional
Dalam pengetahuan indrawi-empirik benar-salahnya segala sesuatu akan menjadi jelas melalui media panca indra. Dengan demikian, terdapat kemungkinan adanya kesalahan dalam jenis pengetahuan ini. Karena itu, pengetahuan indrawi-empirik bukan pengetahuan yang bersifat absolut. Mengingat, apabila dijumpai sebuah kesalahan atau kekurangan pada pengetahuan empirik maka secara keseluruhan pengetahuan tersebut akan ditinggalkan.
Dalam pengetahuan rasional, identifikasi benar-salahnya sesuatu ditinjau dari sudut pandang rasional. Apabila ditemukan kesalahan atau kekurangan di dalamnya, pengetahuan tersebut meski akan ditinggalkan tapi tidak akan menjatuhkannya dari peringkat universalitasnya; artinya proposisi-proposisi ini benar pada seluruh masalah atau salah dalam seluruh masalah.[1]
Setelah menerangkan perbedaan dua masalah ini, dapat dikatakan bahwa dalam masalah-masalah empirik kita tidak dapat memperoleh pengetahuan secara absolut dan berterusan; karena boleh jadi suatu waktu dijumpai kekurangan pada pengetahuan tersebut. Adapun dalam masalah-masalah rasional, pengetahuan dan makrifat kita bersifat absolut. Dan hal ini merupakan perbedaan kita dengan para penyokong skeptisme.
Dengan kata lain, apabila kita ingin meyakini bahwa pengetahuan dan pengenalan kita bersifat relatif maka kita akan banyak menjumpai kesulitan. Seperti orang-orang yang sepanjang perjalanan sejarah filsafat, yang meyakini hal seperti ini dan mengingkari segala sesuatu kemudian mentasbihkan bahwa kita tidak dapat memperoleh pengetahuan absolut dan definitif.
Apabila seseorang mengklaim bahwa mustahil kita memperoleh pengetahuan definitif, maka kita boleh bertanya kepadanya: apakah Anda tahu dan yakin terhadap masalah ini atau ragu tentangnya? Apabila ia berkata saya tahu dan yakin, maka minimal ia telah mengakui adanya satu pengetahuan definitif. Dengan demikian ia telah menggugurkan sendiri klaimnya.
Apabila ia berkata saya tahu dan yakin, hal itu bermakna bahwa saya memberikan probabilitas tentang kemungkinan adanya pengetahuan definitif; dengan demikian dari sisi lain ia kembali meruntuhkan sendiri ucapannya.
Namun apabila seseorang berkata bahwa saya ragu terhadap adanya kemungkinan ilmu dan pengetahuan definitif, kita bertanya kepadanya apakah Anda tahu bahwa Anda ragu atau tidak? Apabila ia menjawab bahwa saya tahu bahwa saya ragu, maka ia tidak hanya menerima adanya kemungkinan pengetahuan, bahkan ia telah menerima adanya pengetahuan. Namun apabila ia berkata bahwa saya ragu terhadap keraguan saya, maka ucapan ini disebabkan oleh penyakit atau didorong kepentingan tertentu. Kepada orang-orang seperti ini kita harus menyodorkan jawaban ilmiah.[2]
Kita juga dapat berkata kepada orang-orang yang mengklaim relativitas seluruh pengetahuan dan berkata bahwa tiada satu pun proposisi yang valid secara absolut, universal dan berterusan (dawam) bahwa Anda dapat berkata sedemikian. Artinya kita dapat berkata kepadanya proposisi yang menyatakan bahwa tiada satu pun proposisi yang valid itu apakah bersifat absolut, universal dan dawam? Atau bersifat relatif, partikular dan sementara? Apabila bersifat dawam dan dapat diterapkan pada setiap hal tanpa stipulasi dan kondisi; maka paling tidak satu proposisi absolut, universal dan dawam telah dapat ditetapkan. Apabila pengetahuan ini juga bersifat relatif maka hal itu bermakna bahwa pada sebagian urusan tidak benar dan mau-tak-mau bahwa proposisi yang tentangnya tidak dapat dibenarkan, proposisi ini adalah sebuah proposisi absolut, universal dan dawam.[3]
Kesimpulannya: Pengetahuan dan makrifat kita dalam obyek-obyek rasional tidak bersifat relatif. [iQuest]
[1]. Muhammad Husain Zadeh, Pazyuhesy Tathbiqi dar Ma’rifat Syinâsi Ma’âshir, Intisyarat-e Muassasah Pazyuhesy Imam Khomeini, hal. 36, Cetakan Kedua, Qum, 1385.
[2]. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Âmuzesy Falsafeh, jil. 1, hal. 162, Cetakan Ketujuh, Nasyr Bain al-Milal, Qum, 1386.
[3]. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Âmuzesy Falsafeh, jil. 1, hal. 163.