Yang dimaksud dengan fikih tradisional adalah ijtihad dan istinbâth (inferensi) hukum-hukum agama berdasarkan metode yang digunakan selama ribuan tahun oleh para juris Syiah dan tercatat dengan apik dalam buku-buku mereka sebagai turats.
Fikih tradisional sebagaimana yang diperkenalkan oleh Imam Khomeini merupakan sebaik-baik metode untuk mengkaji dan meneliti hukum-hukum. Imam Khomeini menyatakan, “Saya yakin terhadap fikih tradisional dan ijtihad jawâhiri. Saya tidak membolehkan melanggar keduanya. Ijtihad yang dibenarkan adalah dengan cara seperti ini namun hal ini tidak bermakna bahwa fikih Islam tidak dinamis. Asas fikih tradisional berporos pada empat sumber utama hukum-hukum (al-Quran, Sunnah, Ijma dan Akal) dimana seorang fakih tidak boleh menggunakan selain yang empat ini. Dalam fikih tradisional pintu ijtihad senantiasa terbuka bagi para mujtahid dan juris sesuai dengan metode Syiah.
Yang dimaksud dengan fikih tradisional adalah ijtihad dan istinbâth (inferensi) hukum-hukum agama berdasarkan metode yang digunakan selama ribuan tahun oleh para juris Syiah dan tercatat dengan apik dalam buku-buku mereka sebagai turats. Buku-buku seperti Jawâhir al-Kalâm, Masâlik al-Afhâm, Kasyf al-Litsâm, Tadzkirah, Muntahâ al-Mathlab, al-Makâsib al-Muharrama dan buku-buku peninggalan Imam Khomeini dalam masalah ini.
Yang dimaksud dengan fikih tradisional (sunnati) atau fikih jawahiri yang merupakan terminologi yang digunakan oleh Imam Khomeini merupakan sebuah metode yang dipancangkan fondasinya oleh para Imam Maksum As. Setelah para Imam Maksum menanamkan fondasi metode tersebut, para sahabat imam juga mengembangkan metode tersebut kemudian ulama Syiah melakukan hal yang sama dengan metode ini. Mereka berupaya mengembangkan fikih tersebut sesuai dengan pembahasan-pembahasan yang berkembang pada masa itu. Metode ini memiliki kemampuan menjawab pelbagai persoalan baru yang mengemuka dalam pelbagai pembahasan fikih. Namun seorang juris dan fakih dapat melakukan hal ini apabila mereka telah mengenal pembahasan-pembahasan ini dan penyelarasan metode ini pada pembahasan-pembahasan baru.”[1]
Fikih tradisional adalah sebuah fikih yang dipandang sebagai metode terbaik oleh Imam Khomeini untuk mengkaji dan meneliti hukum-hukum. Imam Khomeini berkata, “Saya yakin terhadap fikih tradisional dan ijtihad jawahiri. Saya tidak membolehkan melanggar keduanya. Ijtihad yang dibenarkan dengan cara seperti ini namun hal ini tidak bermakna bahwa fikih Islam tidak dinamis. Ruang dan waktu merupakan dua unsur determinan dalam masalah ijtihad. Sebuah masalah yang pada masa lalu memiliki hukum namun kini dengan adanya perbedaan ruang dan waktu, subyek hukumnya boleh jadi berubah. Masalah tersebut adalah masalah dalam hubungannya dengan penguasa atas politik, sosial, ekonomi sebuah negara boleh jadi menjumpai sebuah hukum baru. Hal itu bermakna bahwa dengan mengenal secara akurat hubungan-hubungan perekonomian, sosial dan politik adalah sebuah subyek pertama yang secara lahir tidak berbeda dengan masalah-masalah pada masa lalu, sejatinya merupakan sebuah masalah baru yang tentu saja menuntut sebuah hukum baru. Mujtahid harus cakap dan mengetahui dengan baik atas masalah-masalah yang terjadi pada masanya.”[2]
Fikih tradisional ini memiliki beberapa tipologi yang akan dijelaskan secara global sebagai berikut:
- Asas fikih tradisional berporos pada empat sumber utama hukum-hukum (al-Quran, Sunnah, Ijma dan Akal) dimana seorang fakih tidak boleh menggunakan selain yang empat ini. Metode ulama salaf memandang al-Quran adalah firman Allah Swt dan sifatnya qathi’ al-shudur (keluarannya definitif). Namun terkait dengan petunjuknya harus dibahas misalnya ayat, “Sesungguhnya khamar, berjudi menyembah berhala adalah kotoran amalan setan.” Menunjukkan keharaman minuman keras (khamar) atau tidak? Apakah “rijs” yang dimaksud bermakna “kotoran” dan “kekejian” apakah juga bermakna najis? Dalam hal ini terdapat pembahasan di antara para juris. Dalam hal ini harus dibahas dalam bidang petunjuk firman Allah Swt. Pada pembahasan fikih tradisional, riwayat dibahas dari beragam sisi, baik dari sisi sanadnya juga dari sisi petunjuknya (dalâlat). Hal ini merupakan salah satu tipologi penting fikih tradisional kita yang porosnya berpijak pada sumber-sumber standar Syiah.
- Dalam fikih tradisional, bab ijtihad, mengikut metode Syiah, senantiasa terbuka lebar bagi para mujtahid dan juris. Hal ini berbeda dengan sebagian mazhab Islam yang memandang ijtihad hanya dapat dilakukan oleh sebagian orang tertentu. Demikianlah penekanan dan penegasan Imam Khomeini atas fikih tradisional.[3] [iQuest]
[1]. Wawancara dengan Ayatullah Mahdi Hadawi Tehrani dengan Majalah Payâm-e Hauzah.
[2]. Shahifeh-ye Nur, jil. 21, hal. 98, sesuai dengan nukilan dari site hawzah.net
[3]. Diadaptasi dari site hawzah.net