Orang-orang munafik adalah sebuah kelompok yang tidak meyakini Tuhan dan akhirat dalam hatinya namun secara lahir menampakan diri mereka di hadapan kaum Muslimin sebagai orang-orang beriman.
Dengan memperhatikan sifat-sifat orang-orang munafik dalam al-Quran, mereka tidak meyakini salat dan zakat. Apabila mereka mengerjakan salat dan menunaikan zakat maka hal itu dilakukan bukan dengan niat yang tulus dan suci, melainkan dengan dasar pamer dan sekedar ingin menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang beragama. Orang-orang munafik di samping menghindar untuk mendermakan hartanya untuk urusan sosial, mereka juga mencegah orang lain untuk melakukan hal ini. Rasulullah Saw bersabda, “Orang-orang munafik memiliki tiga tanda-tanda: Berdusta tatkala berkata-kata. Mengingkari tatkala berjanji. Dan berkhianat tatkala dipercaya.”
Kemunafikan artinya bersikap mendua, berkebalikan antara lahir dan batin serta berwajah ganda. Orang munafik adalah seseorang yang menyembunyikan kekufurannya dan menampakan sesuatu yang berbeda secara lahir.[1] Orang-orang munafik adalah sebuah kelompok yang tidak meyakini Tuhan dan akhirat dalam hatinya namun secara lahir menampakan diri mereka di hadapan kaum Muslimin sebagai orang-orang beriman.[2]
Islam dalam rentang perjalanan sejarahnya berhadapan dengan sebuah kelompok yang di samping tidak memiliki ketulusan dan keprawiraan untuk beriman juga tidak memiliki kekuatan dan keberanian untuk menentangnya secara lahir. Kelompok ini disebut dalam al-Quran sebagai orang-orang munafik, “munâfiqûn.” Orang-orang ini berada pada barisan kaum Muslimin sejati dan merupakan ancaman besar bagi Islam dan kaum Muslimin. Mengingat bahwa mereka menampakkan diri sebagai Muslim secara lahir, dan pada umumnya sulit untuk dapat mengidentifikasi mereka, namun demikian al-Quran menunjukkan tanda-tanda akurat dan hidup bagi orang-orang munafik yang menjelaskan garis batin mereka.[3]
Kelompok ini terbentuk setelah hijrahnya Rasulullah Saw dari Mekkah ke Madinah dan gembong kaum munafikin kala itu adalah Abdullah bin Ubay.[4]
Ciri-ciri Orang-orang Munafik
Dalam al-Quran dan riwayat disebutkan tentang tipologi dan ciri-ciri orang-orang munafik dan yang paling utama adalah sebagai berikut:
- Dalam hati, mereka tidak beriman kepada Allah Swt dan hari kemudian. Namun secara lahir mereka menampakkan diri sebagai orang-orang beriman sehingga mereka memanfaatkan hukum-hukum Islam yang berguna bagi mereka seperti thahâra (kesucian), pernikahan, warisan dan lain sebagainya. “Di antara manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Baqarah [2]:8)
- Mengklaim diri sebagai orang-orang yang memperbaiki sementara mereka sebenarnya adalah orang-orang yang merusak. “Dan jika dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab, “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (Qs. Al-Baqarah [2]:10-11)
- Untuk sampai pada tujuan-tujuan kejinya mereka menggunakan segala cara, seperti menipu dan mengecoh. Mereka ingin menipu dan mengecoh Allah Swt namun sebenarnya merekalah yang tertipu. “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.” (Qs. Al-Nisa [4]:142)
- Mereka jauh dari Allah Swt dan tidak merasakan kenikmatan dalam bermunajat kepada Allah Swt, “Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas.” (Qs. Al-Nisa [4]:142)
Rasulullah Saw bersabda, “Orang-orang munafik memiliki tiga tanda-tanda: Berdusta tatkala berkata-kata. Mengingkari tatkala berjanji. Dan berkhianat tatkala dipercaya.”[5]
Imam Husain As, dalam menjelaskan ciri-ciri orang munafik, bersabda, “Hindarilah segala sesuatu yang membuatmu menyatakan maaf; karena orang beriman tidak melakukan keburukan dan juga tidak meminta maaf. Namun orang munafik setiap hari melakukan keburukan dan meminta maaf.”[6]
Namun, kemunafikan (nifak) sebagaimana sifat-sifat tercela lainnya memiliki beragam tingkatan. Apa yang disebutkan dalam riwayat di atas adalah kemunafikan tingkat tinggi dan kemunafikan tingkat rendah.
Keyakinan dan Pandangan Orang-orang Munafik
Kemunafikan dan sikap mendua orang-orang munafik berpengaruh pada keyakinan dan tindakan serta melahirkan beragam pandangan. Karena itu terdapat beberapa bentuk kemunafikan di antaranya adalah:
- Kemunafikan dalam keyakinan: Seperti seseorang yang mengklaim Islam dan mengaku sebagai Muslim secara lisan namun tidak dikenal sebagai Muslim atau menampakkan diri secara lahir sebagai orang beriman namun tidak dihitung sebagai orang yang beriman.
- Kemunafikan dalam ucapan: Seperti seseorang yang berkata, “Namun saya tidak meyakininya dalam hati saya.” Dengan penjelasan ini orang-orang yang berdusta adalah tergolong sebagai munafik. Karena antara lisan dan hatinya tidak satu. Dalam sebuah riwayat dari Rasulullah Saw disebutkan bahwa salah satu tanda-tanda kemunafikan adalah berkata-kata dusta.”[7]
- Kemunafikan dalam tindakan: Seperti seseorang yang bertentangan antara perbuatan lahirnya dan niat batinnya. Sebagaimana seseorang yang mengerjakan salat secara lahir dan menunjukkan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya dan menjaga amanah namun pada hakikatnya ia tidak salat dan pengkhianat.[8]
Keyakinan dan ajaran-ajaran orang-orang munafik dapat dikenali dari sifat-sifat mereka yang disebutkan dalam al-Quran yang akan disinggung sebagian dari sifat-sifat tersebut sebagai berikut:
- Orang-orang munafik karena tidak beriman kepada Allah Swt dan hari kemudian, apabila mereka melakukan salat atau perbuatan baik, mereka tidak mengerjakannya dengan niat tulus melainkan dengan dasar riya; artinya seluruh motivasi dan gerakannya dalam mengerjakan perbuatan ini adalah ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia adalah seorang yang beragama sehingga mereka memperoleh kedudukan dan martabat di sisi masyarakat, “Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia.” (Qs. Al-Nisa [4]:142) dan hal ini adalah bentuk kemunafikan kepada Tuhan dalam masalah ibadah.[9] Karena itu, sesuai dengan ayat ini, orang-orang munafik, pada hakikatnya, tidak menerima salat itu. Kemunafikan seperti ini adalah bentuk kemunafikan dalam tindakan.
- Memandang diri mereka sebagai orang yang berakal, paling pandai dan paling cerdas di antara seluruh manusia dan orang-orang beriman.[10] Al-Quran menyatakan, “Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”, mereka menjawab, “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” (Qs. Al-Baqarah [2]:13) Bentuk kemunafikan seperti ini adalah kemunafikan dalam keyakinan yang memandang dirinya sebagai orang yang paling pintar dalam masalah-masalah agama dan sosial-kemasyarakatan.
- Mereka tidak menyerahkan zakat atas hartanya dan tidak menerima zakat sebagai sebuah kewajiban yang harus dijalankan; sebagiamana yang disebutkan dalam surah al-Taubah, “Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka tindakan ini menimbulkan kemunafikan dalam hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.” (Qs. Al-Taubah [9]:76-77) dan demikianlah bentuk kemunafikan dalam tindakan.
Orang-orang munafik di samping tidak mau berderma dalam masalah sosial, mereka juga mencegah orang lain untuk melakukan hal tersebut. Al-Quran menjelaskan perbuatan mereka itu seperti ini, “Mereka (orang-orang munafik) yang mengatakan, “Janganlah kamu memberikan infak kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah).” Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.” (Qs. Al-Munafiqun [63]:7)
Oleh itu, pandangan dan keyakinan orang-orang munafik terkait dengan salat dan zakat, mereka mengerjakan salat namun dalam hati mereka tidak menerima salat. Mereka melakukannya dengan maksud riya (pamer) dan riya adalah amalan yang membatalkan salat. Di samping tidak menyerahkan zakat dan mereka juga tidak menerima zakat sebagai sebuah kewajiban yang harus dikerjakan, bahkan mereka mencegah orang lain untuk menyerahkan zakat. Kedua bentuk kemunafikan ini adalah kemunafikan dalam tindakan. [iQuest]
[1]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 93 & 97, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Capkhaneh Marwi, Cetakan 21, 1365 S; Sayid Abdulhusain Dastghib Syirazi, Qalbun Salim, hal. 69, Daftar Intisyarat-e Islami, Jamiah Mudarrisin Hauzah Ilmiyah Qum, Cetakan Kelima, 1387 S; Sayid Mustafa Husaini Dasyti, Ma’ârif wa Ma’arîf (Dânestanhâ-ye Islâmi, huruf Mim, kalimat Munafik); Majidduddin Abu al-Sa’adat Mubarak bin Muhammad Jazri, Ibnu Atsir, al-Nihâyah, jil. 5, hal. 98, Cetakan Keempat, Qum, Tanpa Tahun.
[2]. Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 93 & 97; Qalbun Salim, hal. 69; Ma’ârif wa Ma’arîf, Kalimat Munafiq.
[3]. Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 93.
[4]. Ja’far Subhani, Tafsir Surah Munâfiqun (Dust Namâhâ), hal. 13-18, Markaz Cap wa Nasyr Daftar Tablighat Islami, Hauzah Ilmiyah Qum, Cetakan Keempat, 1386 S.
[5]. Syaikh Abdu ‘Ali bin Jum’ah, Tafsir Nur al-Tsaqalain, jil. 2, hal. 246, Capkhaneh ‘Ilmiyah, Qum.
[6]. Abu Muhammad Hasan Harrani, Tuhaf al-‘Uqul, hal. 177; Sayid Mustafa (Ali I’timad) Musawi, Lama’at min Balâghat al-Husain, hal. 122, Cap A’mali, Karbala.
[7]. Tafsir Nur Tsaqalain, jil. 2, hal. 246.
[8]. Makarim Syirazi, Amtsâl al-Qur’ân (Mitsâl-hâ-ye Zibâi Qur’ân), Disusun dan Ditata oleh Abul Qasim ‘Aliyan Nejadi, hal. 32, Intisyarat Nasl Jawan, Capkhane Madrasah al-Imam Amirul Mukminin, Cetakan Pertama, 1378 S.
[9]. Qalbun Salim, hal. 73.
[10]. Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 95.