Bagian lain konsep legalitas yaitu dengan menerima konsep ini, satu-satunya orang yang memiliki hak untuk mengeluarkan perintah, yang memiliki izin wali fakih (meski bagian ini merupakan suatu hal yang patut diperdebatkan) sekarang dengan izin ini dan posisi untuk menjawab, harus ditentukan bahwa apakah pejabat (kepala) sebuah departemen memiliki wilayah atas subordinatnya atau tidak? Sedemikian sehingga setiap kegiatan yang diadakan di departemen, tanpa izin pejabat bersangkutan bermakna melanggar syariat dan hukum. Karena itu, pada tingkatan tertentu, para pejabat dan manajer memiliki hak wilayah pada departemen yang dipimpinnya. Dan pada batasan-batasan tugas-tugasnya yang ditentukan saja pelbagai wewenangnya harus ditentukan.
Berdasarkan prinsip fikih Syiah, pengelolaan masyarakat Islam pada tingkatan pertama berada di pundak para pemimpin maksum dan pada tingkatan berikutnya, hanya dipikul oleh orang-orang yang memiliki kelayakan dan kecakapan mengelolah urusan masyarakat yang mendapat izin khusus atau umum dari para maksum.
Bagaimanapun, kendati mengikuti instruksi para representasi yang ditentukan oleh para maksum untuk mengatur beberapa daerah dan tentu saja berdasarkan sistem urf yang ada, pelbagai wewenang juga dilimpahkan kepada mereka. Dalam pandangan global, seyogyanya legalitas pemerintahan pusat juga harus berpengaruh pada representasi-representasi mereka. Namun hal ini sekali-kali tidak bermakna bahwa bawahan orang-orang seperti ini, tidak memiliki hak untuk melontarkan kritikan atau protes. Atau bahkan mewajibkan mereka melaksanakan perintah-perintah yang berada di luar wewenang atasannya.
Dalam pandangan Islam, pejabat-pejabat seperti ini, tidak boleh menerapkan manajeman legalnya untuk memperoleh keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Pertanyaan Anda pada hakikatnya dapat dibagi menjadi dua bagian:
1. Apakah dalam pemerintahan Islam, para manajer derajat kedua dan seterusnya, memiliki wilayah atas para bawahannya dan pada dasarnya wewenang-wewenang yang mereka miliki hingga batasan mana?
2. Apakah setiap instruksi yang keluar dari seorang pejabat dalam pemerintahan Islam senilai sama dengan hukum-hukum syariat? Dan melanggar instruksi tersebut bermakna telah berbuat dosa?
Sebagaimana yang Anda ketahui dan Anda sendiri juga telah menyinggungnya dalam pertanyaan Anda, pemerintahan wilayah fakih adalah perpanjangan tangan pemerintahan para nabi dan para imam As. Atas dasar itu, apabila kita mengkaji sistem manajemen pemerintahan pada masa-masa mereka dengan mudah kita akan memahami kriteria perbuatan para pejabat di masa kita.
Atas dasar itu, kami akan berusaha pertama-tama mengkaji dan menelusuri kondisi para pejabat tingkat medium pada masa para Imam Maksum As. Kesimpulan ringkasnya akan disuguhkan sedemikian rupa sehingga jawaban dari dua pertanyaan diberikan dalam sebuah himpunan jawaban dan dengan bimbingan-bimbingan founding father Revolusi Islam Imam Khomeini Ra, kita akan mengakhiri perbincangan ini.
Pertama-tama, kami akan mengutip sabda Amirul Mukminin As dan menjawab pertanyaan bagian ini. Beliau dalam hubungannya dengan hubungan dua sisi para penguasa dan rakyat atau dengan sebuah ungkapan, antara para pejabat dan bawahannya, menerangkan bahwa, “Di antara hak-hak yang harus dilakukan oleh semua orang adalah hak para pejabat dalam kaitannya dengan bawahannya dan hak bawahan terhadap para pejabat (petinggi) yang dijadikan sebagai kewajiban oleh Allah Swt yang harus dikerjakan. Dan hanya dengan menjalankan secara sempurna hak-hak ini yang bersumber dari kecintaan kedua belah pihak akan menstabilisasi tradisi-tradisi kebenaran di antara mereka. Sekali-kali para petinggi tidak boleh berangan-angan bawahannya dapat bekerja dengan baik apabila ia menyimpang dari rel yang benar dan dari sisi lain apabila para bawahan tidak menunaikan tugasnya dengan baik maka para petinggi akan sulit meraih kesuksesan.
Karena itu apabila para bawahan menunaikan tugasnya di hadapan para petinggi dan para petinggi (pejabat) juga tidak memandang enteng tugasnya kepada para bawahannya maka kebenaran akan kukuh di antara mereka dan ajaran-ajaran agama akan dikerjakan dan keadilan akan tegak dan sebagai hasilnya masa kesuksesan akan tiba. Kehidupan bagi emuanya akan menyenangkan dan keberlangsungan pemerintahan dapat dijamin dan harapan-harapan para musuh akan sirna. Namun apabila dua kelompok penting masyarakat ini tidak mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik maka yang akan muncul adalah percekcokan, kejahatan, dan sikap hanya mementingkan hal-hal lahir dalam agama dan seterusnya dan sebagai puncaknya akan sirnanya pemerintahan ideal agama.”[1]
Dengan mencermati sabda Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As dalam khutbah ini dan juga pada nasihat-nasihat moralnya kepada para gubernur dan pejabat yang dikirim ke pelbagai daerah kita dapat menjumpai beberapa poin unggul di antaranya:
1. Dalam pandangan sosialnya, anarsisme dalam masyarakat sekali-kali bukan merupakan sesuatu yang ideal dan bahkan adanya satu sistem pemerintahan korup dan adanya silsilah tingkatan, lebih baik dari kondisi anarkis dan chaos yang tidak berkesudahan.[2] Dan suatu hal yang wajar bahwa berdasarkan hal ini, orang-orang beriman apa pun keputusan manejerial yang diambil untuk kemaslahatan masyarakat dan tidak bertentangan dengan instruksi-instruksi syariat harus dihormati dan diikuti bahkan apabila keputusan-keputusan ini diambil oleh orang yang tidak beriman terhadap aturan-aturan agama.
2. Tidak boleh ada anggapan bahwa dalam pemerintahan Islam bahwa setiap pejabat terpelihara dari dosa dan terjaga dari kesalahan. Dan karenanya, ia tidak lagi perlu dibatasi dan ditugaskan untuk menjalani aturan yang ada.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As di samping wewenang-wewenang yang didelegasikan kepada setiap pejabat dan gubernur di bawahnya, beliau juga memerintahkan mereka untuk mengikuti aturan yang berlaku terlepas apakah ia pejabat seorang manusia yang layak seperti Malik Asytar yang merupakan Gubernur Mesir atau seorang munafik seperti Asy’ats in Qais yang merupakan Gubernur Azerbaijan, yang karena beberapa alasan, tetap menjabat sebagai gubernur.
3. Keharusan hubungan timbal-balik antara pejabat dan para bawahannya dan hak dan kewajiban tidak bersifat searah di antaranya yang mendapat tekanan dan penegasan dalam khutbah di atas. Beliau dalam kesempatan lain menyampaikan nasihat kepada Malik bin Asytar, “Jangan katakan, "Saya telah diberi wewenang; oleh itu saya harus ditaati bilamana saya memerintah!” karena hal ini akan menimbulkan kebingungan dalam hati, melemahkan agama dan membawa orang ke dekat keruntuhan...[3]
Apabila nasihat seperti ini ditujukan kepada Malik bin Asytar maka tugas orang lain yang mendapat amanah jabatan menjadi jelas.
4. Apabila perilaku timbal-balik ini dapat ditata dengan baik dan sedemikian kasih dan memperhatikan nilai-nilai agama dari kedua belah pihak dengan memperhatikan redaksi “faridhatun faradhaLlah” (kewajiban yang diharuskan Allah Swt) dalam sabda Imam Ali As maka perilaku dua belah pihak adalah perilaku syari dan layak mendapatkan ganjaran. Dengan kata lain, sabda di atas menyoroti hukum legalitas bagi keduanya. Namun harap diperhatikan bahwa hukum-hukum syariat, terkadang bersifat partikular dengan menentukan obyek-obyek, seperti shalat, puasa dan lain sebagianya yang di dalamnya, di samping hukum universal berupa ketaatan kepada Allah Swt, obyek-obyek ketaatan juga ditentukan secara terpisah dan terkadang hanya berbentuk universal dan identifikasi obyek-obyeknya berada di pundak para mukallaf, seperti ketaatan kepada ayah dan ibu yang telah dianjurkan secara universal dalam al-Qur’an.[4] Meski pandangan ini, obyek-obyek seperti ketaatan ini dapat dipandang sebagai sebuah urusan yang legal (masyru) namun kita tidak dapat menjumpai sumber-sumber syariat selain apa yang dijelaskan dalam hukum universal. Legalitas ketaatan kepada sistem manajemen dalam pemerintahan Islam adalah termasuk jenis kedua.
5. Satu-satunya masa yang dapat dijadikan harapan bagi keberlangsungan pemerintahan Islam dan penyebaran keadilan adalah prinsip manajemen yang harus dijalankan oleh kedua belah pihak. Dan pelaksanaan ini akan membuahkan keridhaan, baik bagi pejabat (petinggi) atau bagi bawahannya.
6. Apabila dalam pemerintahan yang bersandar pada Islam, dua kelompok sosial para pejabat dan bawahannya, tanpa mengindahkan kepentingan umum dan sebagai gantinya, hanya memikirkan harapan-harapannya saja dan tanpa memperhatikan aturan-aturan syariat, berada pada tataran ingin mewujudkan impian-impiannya, mengingat bahwa kedua kelompok, hidup dalam masyarakat Islam, masing-masing berupaya memenuhi segala keinginan pribadinya, kemudian memberikan warna dan permainan agama, dan perilaku yang tak pantas dilakukannya disembunyikan dalam kedok legalitas maka sebagaimana tuturan Imam Ali As dalam khutbah ini orang-orang seperti ini adalah, “adghâl fi al-din” yang bermakna beragama secara lahir tapi kelakuannya jauh panggang dari api.
Dengan memperhatikan beberapa poin di atas, kini kita ingin mengambil sebuah kesimpulan bahwa bahkan pada pemerintahan-pemerintahan yang dikepalai pemimpin maksum yang berada pada pucuk pemerintahan sekali-kali tidak pernah ada klaim bahwa seluruh pejabat menengahnya terjaga dari dosa. Dalam tindakan juga telah terbukti bahwa orang-orang seperti Khalid bin Walid yang berada pada jajaran pasukan Rasulullah Saw, melanggar tugas dan batasan wewenangnya, telah menimbulkan kerugian yang tidak terkira kepada orang lain, meski kerugian ini kemudian ditebus oleh Rasulullah Saw.[5]
D antara gubernur Imam Ali As juga terdapat orang-orang unggul seperti Malik, Kumail,[6] Ibnu Abbas dan lain sebagainya. Namun terdapat juga orang-orang munafik seperti Asy’ats bin Qais di provinsi Azerbaijan[7] dan Ziyad bin Abih[8] di provinsi Fars. Meski orang-orang seperti ini, secara urf dan natural juga memiliki wewenang-wewenang dan ketaatan kepada mereka dalam batasan wewenang-wewenang yang mereka miliki adalah termasuk ketaatan kepada Imam Ali As. Namun jelas bahwa wakil Imam Ali terkait dengan satu masalah yang jelas, hal ini tidak akan memberikan nilai dan kredibilitas bagi mereka bahwa setiap instruksinya dipandang sebagai sebuah hukum syariat. Dan bahkan meminum air tanpa izin di daerah kekuasaannya kita pandang sebagai perbuatan melanggar, melainkan para bawahannya yang dapat menentukan dan mempersoalkan bahwa dari satu sisi, apakah hal tersebut telah keluar dari batasan perintah? Apakah pekerjaan tersebut dalam rangkaian menunaikan tugas? Dan mematuhinya dipandang sebagai tugas syar’i? Atau sebuah instruksi keluar dari batasan wewenang yang dimilikinya dan instruksi tersebut tidak boleh diperhatikan.
Dari sisi lain, kegiatan-kegiatan yang telah dikerjakan oleh orang lain dalam kawasan kekuasaannya, apakah tidak bertentangan dengan wewenang-wewenang kekuasaan seseorang yang diangkat dari pemerintahan pusat sehingga tergolong sebagai pembangkangan dan melanggar syariat atau tidak?
Dengan kata lain, meski berdasarkan pandangan Syiah, seseorang yang berada pada pucuk pimpinan pemerintahan Islam, haruslah seorang maksum atau diangkat melalui pengangkatan umum atau khusus, dari sisi maksum. Namun kriteria-kriteria silsilah tingkatan yang terdapat pada pemerintahan Islam, tidak dapat dipandang berbeda dengan apa yang diterima secara urf di seluruh dunia. Sebagai contoh, dengan pandangan ekstrem, instruksi-instruksi pejabat rendahan di suatu kota yang jauh karena mengambil sebuah hukum syariat yang bersifat pasti menyimpulkan bahwa segala jenis kritikan dan penentangan yang ditujukan kepadanya bermakna protes terhadap prinsip agama dan pemerintahan.
Namun harap diperhatikan bahwa nasihat-nasihat yang disampaikan oleh para pemimpin agama untuk memperhatikan tatanan dan keteraturan, apabila aturan praktis dalam kerangka wewenang-wewenang dan berdasarkan kemaslahatan masyarakat dan tatanan publik, hal itu dikerjakan seperti shalat dan puasa dengan niat melakukan taqarrub dan maka perbuatan itu juga akan mendulang pahala. Dalam komparasi lebih general, setiap manusia beriman dapat menata seluruh aktifitas duniawinya yang tidak senada dengan syariat suci sehingga memiliki warna dan aroma Ilahi. Kemudian memasukkanya dalam gerakan spiritualnya. Namun masalah umum ini tidak dapat menjadi dalih bagi para pejabat menengah memutuskan untuk menghilangkan warna dan aroma syariat dalam setiap keputusannya.
Tuturan arsitek Republik Islam, Imam Khomeini Ra juga sarat dengan pendalaman dan penjabaran nasihat-nasihat para Imam Maksum As dalam menerapkan manajemen Islam yang sebagian darinya diadopsi dari sabda Imam Ali As sebagaimaan yang telah disinggung sebelumnya.
Selanjutnya, Kami ingin mengajak Anda untuk meneliti lebih jauh dan menyimak tuturan dan wejangan Imam Khomeini Ra sebagaimana berikut ini:
Berulang kali, beliau (Amirul Mukminin) memandang keberadaan pemerintahan Islam dan tatanan di dalamnya sebagai sesuatu yang mesti (silahkan lihat poin pertama sabda Amirul Mukminin). Imam Khoemini menyampaikan hal itu di antaranya, pada surat wasiat politik-Ilahinya menegaskan bahwa “Pemerintaan hak berguna untuk kaum mustadhafin dan mencegah kezaliman dan kejahatan serta menegakkan keadilan sosial. Seperti yang telah diusahakan dalam pemerintahan Sulaiman bin Daud dan Rasulullah Saw dan para washinya; hal ini merupakan kewajiban yang paling besar dan penegakannya merupakan ibadah tertinggi.”
Beliau juga memandang sistem manajemen dan segala sesuatu yang terkait dengannya sebagai sesuatu yang harus dilaksakanan. Tuturnya, “Rahasia kedua bahwa meski negara Iran, tidak memiliki tinggi dan rendah, pelakunya adalah kita sendiri. Namun dalam negara harus ada sistem dan pemerintahan.
Kalian harus menjaga masalah tingkatan pekerjaan dan urutan struktur pekerjaan dan pejabat. Dan sekiranya siapa saja yang memberikan suara dan beramal melebihi batasannya maka nilai-nilai moril dan pelbagai kesuksesan yang telah diraih akan sirna. Dan Anda tahu bahwa meski Rasulullah Saw duduk di masjid dan seseorang masuk ke masjid tidak tahu siapa di antara mereka yang berada dalam masjid itu Rasulullah Saw. Namun demikian, semua orang bertugas untuk menaatinya. Kita semua bersaudara. Namun sekiranya tidak ada pemerintahan maka persaudaraan juga akan sirna.”[9]
Imam Khoemini menghimbuhkan, “Apabila seorang serdadu sama sekali tidak memiliki pemerintahan, tidak memiliki aturan, tidak memiliki atasan-bawahan maka hal itu bermakna bahwa kita tidak menghendaki serdadu.”[10]
Terkait dengan prinsip pengawasan dan amar makruf (poin kedua):
Seluruh rakyat memiliki tugas untuk mengawasi masalah ini. Rakyat harus mengawasi apabila saya meletakkan kaki miring, rakyat memiliki tugas untuk berkata kakimu miring, berhati-hatilah.”[11]
Dalam kaitannya dengan prinsip pelayanan dan perbuatan timbal-balik (poin ketiga) Imam Khomeini mengungkapkan:
Dalam tataran perbuatan, masyarakat harus melihat bahwa gubernur datang di sini dan siap untuk meladeni dan melayani masyarakat. Ia sibuk mengerjakan urusan-urusan masyarakat. Tatkala masyarakat melihat seseorang sibuk memberikan pelayanan maka hal itu akan menghilangkan pertengkaran dengannya. Pertengkaran akan muncul tatkala masyarakat melihat gubernur datang untuk memanaskan masyarakat. Ia siap untuk mengambil apa saja dengan media apa saja. Ia datang untuk menetapkan kekuasaannya. Tatkala rakyat melihat seseorang ingin menetapkan kekuasannya maka rakyat akan menentangnya.”[12]
Atau pada tuturan lainnya Imam Khomeini, “Anda tahu bahwa di Republik Islam, jabatan-jabatan sebagaimana makna sebelumnya (masa rezim Pahlevi) telah tiada. Tidak presidennya, tidak perdana menteri, juga tidak para menteri (-(pada masa sekarang ini) dapat berangan-angan bahwa kami adalah pejabat tinggi. Kami adalah pejabat. Kami adalah petinggi. Dan sebagainya. Tidak demikian. Mereka melihat bahwa nilai dan posisi mereka di tengah masyarakat, di mana pun ia bertugas, adalah sebagai petugas yang melayani masyarakat.”[13]
Dan terkait dengan legalitas pelbagai perilaku sistemik (poin keempat):
“Menjaga pemerintahan merupakan salah satu kewajiban syariat dan akal yang menyatakan bahwa pemerintahan harus dijaga. Mereka yang berkata bahwa kami tidak menginginkan pemerintahan dengan makna seperti ini bahwa kita semua adalah sama dan kita ingin bekerja tanpa adanya pakem yang mengatur. Perbuatan ini berseberangan dengan al-Quran. Tindakan ini bertentangan dengan Islam. Berbanding terbalik dengan kemaslahatan negaranya.”[14]
Keberlanjutan pemerintahan bergantung pada pelaksanaan prinsip-prinsip (poin kelimat):
“Setelah sekarang dan selanjutnya apabila kita menjaga perhatian kita fokus kepada Allah Swt, apabila kita menjaga persaudaraan dan persatuan ini. Selanjutnya kita melangkah bersama; hingga akhir jalan. Berdoalah supaya kita tidak lalai dari mengingat Allah Swt. Tidak melupakan Islam. Kita tidak melangkah kepada sesuatu yang tidak kita butuhkan; segala sesuatunya ini akan berlalu.”
Akhir kata, terkait dengan ketidakjujuran sebagian orang dalam masyarakat Islam (poin keenam), Imam Khomeini menyebutkan Syah sebagai contoh menyetatakan bahwa ia tidak ada urusannya sama sekali dengan Islam. Suatu waktu ia lemah dan tak berdaya, ia pergi shalat dan berziarah ke pusara Imam Ridha. Mengerjakan shalat dan namun semua itu hanyalah kedok bagi perbuatannya yang keji.”[15]
Sebagaimana yang Anda saksikan masyarakat tanpa adanya mekanisme, tatanan dan sistem yang mengaturnya akan berujung pada situasi anarkis dan chaos. Segala wewenang yang merupakan konsekuensi logis manajemen dan seorang manajer tanpa adanya wewenang pada hakikatnya bukanlah seorang manajer. Namun dalam sebuah pemerintahan Islam, meski mengikut keputusan-keputusan manajemen berada dalam batasan wewenang-wewenangnya harus dipandang sebagai perintah legal namun kita tidak boleh meluaskan batasan legalitas ini dan sehingga disalahgunakan oleh para pejabat dan hilangnya kewajiban amar makruf dan nahi mungkar di antara bawahannya. [IQuest]
Indeks Terkait:
1. Indeks: Wilayah Mutlak, Pertanyaan 5698 (Site:5932).
2. Indeks: Dimensi-dimensi Manajerial Wilayah Fakih, Pertanyaan 10837 (Site: 10711)
3. Indeks: Batasan Wilayah Mutlak Fakih, Pertanyaan 10765 (Site: 10706)
[1]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Al-Kâfi, jil. 8, hal. 353 dan 354, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365.
[2]. Abdul Wahid Tamimi Amadi, Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kilam, hal. 464, Hadis. 10672.
[3]. Nahj al-Balâghah, hal. 428.
[4]. “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Isra’il, (yaitu) janganlah menyembah selain Allah, berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, ucapkanlah kata-kata yang baik kepada setiap manusia, dirikanlah salat, dan tunaikanlah zakat.” (Qs. Al-Baqarah [2]:83); “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu.” (Qs.Al-Nisa [4]:36).
[5]. Dalam hal ini, kami persilahkan Anda untuk menelaah beberapa riwaya yang terdapat pada bab 27, jil. 21 Bihâr al-Anwâr, hal, 139 dan seterusnya.
[6]. Berdasarkan Surat 61 Nahj al-Balâghah. Kumail mendapat tugas dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As untuk menjabat tugas sebagai Gubernur Hit.
[7]. Nahj al-Balâghah, Kitab 5, hal. 366.
[8]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 32, hal. 501, Muassasah al-Wafa, Beirut 1404 H.
[9]. Shahife-ye Imâm, jil. 17, hal. 15.
[10]. Ibid, jil. 12, hal. 45.
[11]. Ibid, jil. 8, hal. 5.
[12]. Ibid, jil. 13, hal. 382-383.
[13]. Ibid, jil. 16, hal. 444-445.
[14]. Ibid, jil. 11, hal. 494.
[15]. Ibid, jil. 13, hal. 249.