Semenjak beberapa abad di India terdapat sebuah doktrin yang bernama “reinkarnasi” (samsara[i]). Doktrin ini mengemukakan tentang kembalinya arwah secara berulang ke dunia. Doktrin ini seiring dengan berlalunya masa, secara perlahan telah menarik perhatian banyak orang dan bahkan terdapat orang-orang yang memandangnya sebagai sebuah keyakinan mazhab. Sepanjang perjalanan sejarah, terdapat para ilmuwan besar yang membahas dan mengkritisi pandangan ini serta mengemukakan beberapa dalil akan absurdnya doktrin reinkarnasi (samsara) ini. Islam tidak menerima doktrin tentang kembalinya arwah ke dunia dalam lingkup seseorang yang lain atau satu makhluk hidup untuk menunaikan seabrek pekerjaan baik dan meraup pelbagai syarat-syarat untuk hidup bersama dengan arwah. Islam secara tegas menolak pandangan seperti ini. Al-Quran terkait dengan masalah ini menandaskan, Hingga apabila datang kematian kepada salah seorang dari mereka, dia berkata, “Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang ia ucapkan saja. Dan di hadapan mereka terdapat alam barzakh sampai hari mereka dibangkitkan. (QS. Al-Mukminun [23]:99-100)
Imam Ridha As bersabda, “Barangsiapa yang menerima reinkarnasi dan meyakininya, maka sesungguhnya ia telah kufur kepada Allah Swt dan telah mengingkari surga dan neraka.”
[i] Samsara adalah istilah Sanskerta yang berarti “siklus kehidupan”. Rotasi atau putaran roda kelahiran dan kematian, yang membawa kedua keadaan itu berturut-turut. Menurut doktrin Hindu, kematian hanyalah saat istirahat dalam siklus kehidupan, dan tubuh-tubuh baru diciptakan agar karma seseorang dapat terus diolah. (Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, hal.966).
Berdasarkan maktab para nabi Ilahi, seiring dengan matinya manusia, maka ruh akan terpisah dari badannya dan akan berpindah ke alam barzakh. Di alam barzakh, manusia akan melanjutkan kehidupannya. Apabila ia tergolong sebagai orang-orang yang berbuat kebaikan selama hidupnya, maka ia akan memperoleh ganjaran atas kebaikan itu. Namun apabila ia termasuk orang-orang jahat, maka tentu hukuman segera akan dijatuhkan kepadanya, hingga arena hari Kiamat digelar. Sesuai dengan maktab para nabi Ilahi, ketentuan Ilahi menyatakan bahwa ruh manusia setelah mati, tidak akan kembali ke dunia dan tidak akan memulai kehidupan baru di dunia ini, melainkan akan bermukim di barzakh hingga hari Kiamat, kemudian pada akhirnya akan berpindah memasuki kediaman abadi.
Akan tetapi, semenjak beberapa abad yang lalu di India mengemuka sebuah doktrin yang bernama “reinkarnasi.” Doktrin ini mengemukakan tentang kembalinya arwah secara berulang ke dunia. Doktrin ini seiring dengan berlalunya masa, secara perlahan telah menarik perhatian banyak orang dan bahkan terdapat orang-orang yang memandangnya sebagai sebuah keyakinan mazhab. Sepanjang perjalanan sejarah ini, terdapat para ilmuwan besar yang membahas dan mengkritisi pandangan ini serta mengemukakan beberapa dalil akan absurdnya doktrin reinkarnasi ini.
Para penyokong doktrin reinkarnasi ini meyakini ruh dua kelompok manusia tidak akan kembali ke dunia: Pertama, mereka yang berada pada lintasan kebahagiaan telah sampai pada kesempurnaan pamungkas dan setelah kematian sampai pada kesempurnaan absolut (ananda). Mereka tidak memiliki kekurangan sehingga harus kembali ke dunia dan menebus segala kekurangan yang dialaminya pada kehidupan sebelumnya dengan usaha dan tindakan.
Kelompok kedua mereka yang berada pada tingkatan puncak penderitaan. Mereka juga tidak akan kembali ke dunia; lantaran pada kehidupan kesehariannya di dunia sedemikian jahat dan menyimpang serta menutup jalan kebahagiaan untuknya sehingga mereka terpuruk selamanya dan tidak dapat kembali ke dunia untuk menebus masa lalu yang kelam dan memperoleh kebahagiaan dan kesempurnaan meski bersifat nisbi.
Mereka yang meyakini bahwa reinkarnasi dan kembalinya manusia ke dunia terkhusus untuk tiga kelompok manusia, yaitu kelompok medium yang berada di antara orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan dan bahagia dan orang-orang yang terpuruk dan celaka. Tatkala mereka meninggal dunia, maka ruh mereka akan kembali ke dunia dalam ragam bentuk sesuai dengan suasana hatinya. Dengan demikian, mereka memberikan nama khusus atas setiap bentuk reinkarnasi tersebut. Misalnya, apabila mereka kembali berbentuk manusia, maka ia disebut sebagai “naskh”; jika berbentuk hewan dinamai “maskh”; bila berbentuk tumbuh-tumbuhan disebut “faskh”; dan apabila ruh manusia dalam proses kembalinya berbentuk mineral (jamad), maka ia disebut sebagai “raskh.”
Orang-orang yang meyakini reinkarnasi berpendapat bahwa pada sebagian urusan, kembalinya arwah ke dunia adalah untuk menebus segala kekurangan guna mencapai kesempurnaan jiwa (atma) dan sampai kepada tingkatan tertinggi kemanusiaan. Demikian juga mereka berkata, “Salah satu sebab kembalinya arwah (plural: ruh) ke dunia adalah bahwa orang-orang baik dalam kehidupannya, kembali akan memperoleh ganjaran akhlak budimannya dan juga menerima hajaran atas perbuatan (karma) jahat dan buruknya; boleh jadi ia hidup sebagai orang-orang utama sebagai manusia dan menghabiskan usianya dengan kesucian, tetapi senantiasa didera dengan pelbagai kesulitan dan himpitan hidup. Atau, melalui masa hidupnya dengan kefakiran dan kesempitan, penderitaan dan nestapa, mereka akan mendapatkan ganjaran akhlak pada kehidupan selanjutnya dan memperoleh pelbagai kenikmatan dan kesejahteraan serta keselamatan badan. Boleh jadi orang-orang pada kehidupan sebelumnya memiliki akhlak buruk dan kelakuan tercela dan manusia menderita akibat perbuatannya dan memperoleh pelbagai kenikmatan. Arwah orang-orang ini kembali ke dunia pada kehidupan selanjutnya sesuai dengan perbuatannya. Ada yang berbentuk hewan, serangga, tumbuh-tumbuhan, mineral atau manusia-manusia cacat, berpenyakitan dan tertolak oleh masyarakat dan intinya mengalami penderitaan jiwa dan raga.
Adapun Islam, tidak menerima doktrin kembalinya ruh ke dunia dalam format seseorang lain atau satu makhluk hidup lainnya untuk mengerjakan seabrek pekerjaan baik dan meraup pelbagai syarat untuk hidup bersama dengan arwah. Secara tegas Islam menolak pandangan seperti ini. Terkait dengan masalah ini, Al-Quran menandaskan, Hingga apabila datang kematian kepada salah seorang dari mereka, dia berkata, “Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang ia ucapkan saja. Dan di hadapan mereka terdapat alam barzakh sampai hari mereka dibangkitkan. (QS. Al-Mukminun [23]:99-100)
Sementara sesuai dengan pandangan mereka yang meyakini doktrin reinkarnasi, kiamat, perhitungan, surga dan neraka dan singkatnya ganjaran dan hajaran alam akhirat, tidak lagi memiliki tempat dalam doktrin ini. Lantaran mereka berpendapat bahwa anak manusia secara berketerusan dan berulang-ulang akan kembali ke dunia ini pascakematian dan segala jenis ganjaran dan hajaran mereka akan peroleh di dunia ini. Pandangan seperti ini berseberangan secara asasi dengan ajaran-ajaran para nabi dan bertentangan dengan ajaran pokok agama Islam. Para imam Syiah secara tegas dan lugas memandang kafir orang-orang yang menerima dan meyakini doktrin seperti ini. Makmun berkata kepada Imam Ridha As terkait dengan orang-orang yang meyakini doktrin reinkarnasi, Imam Ridha As bersabda, “Barangsiapa yang menerima reinkarnasi dan meyakininya, maka sesungguhnya ia telah kufur kepada Allah Swt dan telah mengingkari surga dan neraka.”[1]
Imam Shadiq As juga bersabda terkait dengan orang-orang yang meyakini doktrin reinkarnasi, “Mereka beranggapan bahwa tidak ada surga juga tidak ada neraka, tidak ada penghidupan kembali, hari Kiamat dalam pandangan mereka adalah ruh keluar dari satu bentuk dan masuk ke dalam bentuk yang lain. Apabila dalam bentuk pertama, ruh merupakan ruh budiman maka ia akan kembali ke dunia ke dalam bentuk yang lebih baik dan lebih budiman, lebih tinggi derajatnya di dunia. Namun apabila ruh tersebut adalah ruh jahat dan bodoh, maka ia akan kembali menitis pada hewan berkaki empat yang penuh peluh dan kerja keras serta melalui hidupnya dengan susah dan payah. Atau kembali pada badan hewan kecil dan buruk rupa yang terbang di malam hari dan senang berdiam di kuburan.”[2]
Tentu saja, harus diperhatikan bahwa masalah reinkarnasi dan kembalinya arwah ke dunia tidak hanya bertentangan dengan ajaran para nabi Ilahi dan menyebabkan kekufuran kepada Tuhan, pengingkaran hari Kiamat, ganjaran dan hajaran alam akhirat, bahkan terdapat para ilmuwan besar dan filosof yang menolak dan menampik doktrin ini kemudian mengemukakan beberapa dalil akan absurdnya doktrin reinkarnasi ini.
Mulla Shadra Syirazi, filosof terkemuka berkata, “…nafs (jiwa) pada tingkatan pertama penciptaan, tingkatannya adalah tingkatan tabiat. Kemudian sesuai dengan gerakan menyempurna materi, ia beranjak meninggi hingga mencapai batasan nabati (tumbuhan) dan hewan. Karena itu, tatkala nafs pada satu tingkatan sampai pada tingkatan aktual dari tingkatan potensi kendati aktual (fi’li) tersebut tidak begitu berarti, maka mustahil ia kembali ke tingkatan potensi (quwwah). Di samping itu, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, forma (shurat) dan materi (maddah) merupakan satu hal yang memiliki dua dimensi aksi dan potensi dan secara bersamaan bergerak melintasi jalan kesempurnaan dan akan sampai pada tingkatan aktual khusus. Karena itu, mustahil ruh yang telah melewati tingkatan tumbuhan dan hewan akan kembali ke materi sperma dan janin.”[3]
Kritikan yang lain dari doktrin reinkarnasi ini adalah bahwa bagaimana dapat dihukumi bahwa “dia orang ini sendiri” di antara orang-orang pada masa T2 adalah orang itu sendiri sesuai dengan klaim pada masa yang lain adalah T1? Sepanjang hidup, kita telah melintasi banyak tingkatan dimana karakteristik jasmani dan kejiwaan berbeda satu dengan yang lain, tetapi kisaran-kisaran seperti memori untuk melintasi tingkatan konsepsi dan kisaran ini yang menghukumi kesatuan wujud seseorang. Namun dalam doktrin reinkarnasi, atas argumen apa mereka dapat menghukumi ruh itu adalah satu pada dua masa T1 dan T2? Apabila yang menjadi ukuran adalah keberlanjutan ingatan, galibnya (sesuai dengan doktrin reinkarnasi kebanyakan orang berada pada lingkaran reinkarnasi) seseorang tidak memiliki memiliki ingatan sama sekali dari kehidupannya di masa lalu dan apabila ukurannya adalah keberlanjutan jasmani, maka ia tetap tidak memiliki objek luaran dalam asumsi reinkarnasi; karena sesuai dengan doktrin ini, orang terkadang kembali ke dunia dalam bentuk wanita dan terkadang dalam model pria, terkadang pada jenis manusia dan terkadang pada jenis hewan dan apabila ukurannya mirip dengan pelbagai kecenderungan psikis, kemenduaan orang Alif dan orang Ba yang pada satu masa memiliki kemiripan ini, tidak dapat diterangkan dengan benar. Dengan kata lain, kesulitan sedemikian akan mengemuka bahwa seberapa besar ukuran kemiripan dalam tipologi kejiwaan yang diperlukan sehingga kesatuan pada dua orang dapat digambarkan? Karena itu, keberlanjutan identitas seseorang pada dua masa yang diasumsikan tidak dapat diterima.[4]
Dua Faktor Kemunculan Doktrin Reinkarnasi
Di sini kiranya pantas kita menyebutkan dua faktor yang melatarbelakangi munculnya doktrin reinkarnasi ini:
A. Faktor-faktor Pemikiran dan Filosofis
1. Pengingkaran hari Kiamat dan dunia yang lain
Sekelompok orang yang tidak meyakini alam lain dan boleh jadi mereka memandangnya mustahil, dari satu sisi tiadanya ganjaran atas kebaikan dan hukuman atas kejahatan bertentangan dengan “keadilan” Tuhan, karena itu mereka meyakini bahwa ruh orang-orang baik akan kembali (menitis) pada badan yang lain di dunia ini yang lebih beruntung dan lebih baik dari badan pertama. Ia melihat ganjaran atas perbuatan-perbuatan baiknya pada masa lalu dan ruh orang-orang jahat akan kembali pada badan-badan yang mengalami penderitaan atau cacat dalam penciptaannya, dengan demikian ia akan melihat hukuman atas segala perbuatan jahatnya. Pada hakikatnya, dengan media ini ruhnya akan dicuci dan disterilkan dan meraup kesempurnaan.
2. Pembenaran atas falsafah penciptaan anak-anak sakit dan cacat
Sekelompok lainnya dengan menyaksikan sebagian anak-anak cacat dan berpenyakitan berpikir bahwa anak-anak ini tidak melakukan dosa; mengapa Tuhan menciptakan mereka dalam kondisi sedemikian dan menderita, pasti terdapat arwah dalam dirinya, arwah orang-orang jahat dan pendosa yang berbentuk demikian sebagai hukuman atas perbuatannya dan kembali ke dunia ini untuk melewati penderitaan!
B. Faktor Kejiwaan
1. Menebus pelbagai kekalahan dan kekecewaan dalam hidup
Nampaknya salah satu faktor kejiwaan doktrin ini adalah adanya berbagai kekalahan yang dialami oleh kebanyakan orang dalam hidupnya. Reaksi kejiwaan atas pelbagai kekalahan dan kekecewaan tersebut diekspresikan dalam ragam bentuk. Terkadang dalam bentuk “internalisme” dan berlindung pada fantasi dan mencari miliknya yang hilang dalam alam fantasi, sebagian hal ini dapat disaksikan pada kebanyakan penyair. Tatkala mereka tidak menemukan kinasihnya di alam ini, dengan mensketsanya di alam imaginal, dan jatuh di tengah “piala”, maka hati mereka menjadi riang gembira! Sebagian lainnya memandang bahwa kembalinya manusia ke dunia ini merupakan jembatan untuk menenangkan pikirannya yang bingung. Orang-orang kalah ini beranggapan bahwa untuk menebus pelbagai kekalahan dan kekecewaannya ruhnya kembali dalam bentuk lain di dunia ini dan harapannya dapat terpenuhi pada kehidupan tersebut.
2. Menjustifikasi pelbagai tindakan kekerasan
Faktor kejiwaan lainnya dari doktrin ini adalah untuk menjustifikasi tindakan-tindakan kekerasannya dalam menuntut balas kejahatan orang lain. Misalnya, orang-orang Arab pada masa jahiliah dalam memuaskan tuntutan balasnya sangat getol dan keras kepala. Dan boleh jadi perasaan dendam terhadap orang lain atau suku lainnya mereka warisi dari ayah dan datuk mereka, terkadang untuk menjustifikasi tuntutan balas liarnya, kemudian mereka bersandar pada doktrin semacam ini.
Mereka meyakini bahwa tatkala salah seorang dari kabilah mereka terbunuh, maka ruhnya dalam bentuk seekor burung yang mirip “burung hantu” yang mereka sebut sebagai Hame dan senantiasa berada di sekeliling jasad orang yang terbunuh. Burung itu mengerang-ngerang dan tatkala jasad orang itu dikebumikan maka ia akan mengelilingi kuburannya, secara teratur berteriak, “Lepaskan dahagaku… lepaskan dahagaku..!” Selama darah pembunuh belum tumpah, maka erangan memilukannya tidak akan pernah berhenti.
Akhir kata kami mengajak Anda untuk memperhatikan poin ini bahwa keyakinan terhadap raj’at (salah satu dari keyakinan Syiah) berbeda dengan reinkarnasi. Karena, dalam raj’at ruh akan kembali dengan tetap memelihara kesempurnaan pertama dan tetap dalam bentuk badan sebelumnya. Dengan demikian, tidak meniscayakan kembalinya sesuatu yang tiada menjadi ada atau berubah dan kembalinya tingkatan aktual kepada tingkatan potensial, berbeda dengan reinkarnasi ketika ruh setelah sampai pada tingkatan aktual dan melalui pelbagai tingkatan kesempurnaan material dan natural, akan kembali dalam bentuk-bentuk yang lain.[IQuest]