Majelis duka untuk Imam Husain As merupakan salah satu masalah cabang (furu) dalam mazhab Syiah. Terdapat banyak dalil yang menyokong hal tersebut.
Adapun terkait dengan model majelis duka juga harus dikatakan bahwa hal ini tidak menjadi masalah sepanjang majelis duka tidak bertentangan dengan salah satu prinsip, ajaran Islam, ayat dan riwayat. Model pelaksanaannya juga berbeda-beda bergantung pada tradisi masyarakat yang ingin mengadakan majelis duka untuk Imam Husain As.
Perlu untuk disebutkan bahwa berdasarkan banyak riwayat dan hadis tsaqalain, sunnah juga merupakan salah satu sumber utama Islam di samping al-Quran. Sesuai dengan pandangan Syiah, sabda-sabda para Imam Maksum Syiah juga dapat dijadikan sebagai sandaran dan hujjah sejajar dengan sabda-sabda Rasulullah Saw. Karena itu apabila terdapat sebuah sunnah dari para imam maka hal itu akan memadai dalam menyelenggarakan acara-acara duka seperti ini.
Terdapat beberapa dalil yang membolehkan memukul dada yang akan disinggung pada jawaban detil.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda kiranya kami memandang perlu menyebutkan beberapa poin penting sebagai berikut:
Pertama: Berdasarkan banyak riwayat dan hadis tsaqalain, sunnah juga (yaitu perkataaan, perbuatan dan ketetapan maksum)[1] merupakan salah satu sumber utama Islam di samping al-Quran. Sesuai dengan pandangan Syiah, sabda-sabda para Imam Maksum Syiah juga dapat dijadikan sebagai sandaran dan hujjah sejajar dengan sabda-sabda Rasulullah Saw. Karena itu apabila terdapat sebuah sunnah dari para imam maka hal itu akan memadai dalam menyelenggarakan acara-acara duka seperti ini.[2]
Kedua: Majelis duka untuk Imam Husain As merupakan salah satu masalah cabang (furu) dalam mazhab Syiah. Terdapat banyak dalil yang menyokong hal tersebut.
Adapun terkait dengan model majelis duka juga harus dikatakan bahwa hal ini tidak menjadi masalah sepanjang majelis duka tidak bertentangan dengan salah satu prinsip, ajaran Islam, ayat dan riwayat. Model pelaksanaannya juga berbeda-beda bergantung pada tradisi masyarakat yang ingin mengadakan majelis duka untuk Imam Husain As.
Kami meyakini terdapat banyak dalil untuk menetapkan legalitas majelis duka dan memukul dada untuk Imam Husain As.
Karena itu kami di sini akan menyinggung dua hal dari sunnah para maksum As sebagai berikut:
Pertama: Imam Sajjad As bersabda, “Pada suatu malam yang esok harinya (Asyura) ayahku syahid saya duduk di tenda dan bibiku Zainab sibuk mengurusku. Ayahku pergi ke tendanya dan Juwain budak Abu Dzar memberbaiki pedang ayahku. Ayahku berkata, “Celakah engkau duhai masa! Pada setiap pagi dan malam betapa banyak engkau telah membunuh sahabat dan penolong. Engkau tidak pernah mencukupkan dirimu. Sesungguhnya seluruh nasib berada di tangan Tuhan dan setiap yang bernyawa akan pergi suatu tempat yang (kini) aku datangi.”[3] Dan kandungan ini berulang kali beliau sampaikan. Mendengarkan kandungan ini saya memahami tujuan ayahku dan tangisanku membuat kerongkonganku kering. Namun saya menghindari dan duduk tenang. Saya kemudian tahu bahwa musibah telah datang. Namun bibiku Zainab begitu mendengarkan kandungan syair, mengingat kelembutan hati khususnya kaum wanita, tidak dapat menghindar dan dalam keadaan tercengang keluar dari tenda berjalan menuju Imam Husain. Bibi Zainab berkata, “Duhai sekiranya saya mati. Ibuku Fatimah, ayahku Ali dan saudaraku Hasan telah tiada. Wahai cendera mata orang-orang terdahulu dan pengurus orang-orang yang ditinggalkan.” Imam Husain As berpaling kepada saudarinya dan dengan mata berlinang bersabda, “Saudariku! Jangan biarkan setan menguasai dirimu dan mengambil kesabaran darimu.” Imam Husain mengimbuhkan, “Sekiranya merpati dibiarkan sendiri maka ia akan tidur dengan lelap.” Zainab berkata, “Saudaraku engkau menyiapkan dirimu untuk mati! Kesiapanmu ini membuat hatiku perih dan aku tidak kuasa menahannya.” Tiba-tiba ia menampar pipiya dan menangis tersedu, merasa gundah lalu terjatuh ke bumi. Husain mendatangi saudarinya dan memercikkan air ke wajahnya dan menyadarkannya. Imam Husain bersabda, “Tenanglah saudariku! Takutlah kepada Allah dan relalah dengan kehendak-Nya. Ketahuilah bahwa semua orang akan mati dan langit-langit tidak akan abadi. Segala sesuatu selain Allah akan binasa. Selain Dia yang menciptakan makhluk dan membangkitkan manusia, Esa tiada yang menyerupainya, tiada yang akan abadi.”[4]
Dari dua sisi hadis ini dapat digunakan untuk menetapkan kebolehan memukul dada sebagai tanda duka atas syahidnya Imam Husain:
- Kita jumpai pada hadis ini bahwa Imam As mencukupkan diri hanya dengan memberikan nasihat kepada saudarinya yang menampar pipinya dan sama sekali tidak melarang saudarinya khususnya menampar pipi sementara apabila hal ini terlarang menurut syariat dan haram maka tentu saja Imam Husain harus mengingatkan saudarinya untuk tidak melakukan hal tersebut.
- Mengingat kepribadian Bunda Zainab, sosok yang disebut oleh Imam Maksum (Imam Sajjad As): “Segala puji bagi Allah Swt karena Anda adalah seorang alim dan pandai terhadap hakikat-hakikat kondisi penduduk dunia tanpa harus belajar dan diajari.”[5] Tentu tidak dapat kita terima Bunda Zainab melakukan perbuatan haram semencolok ini.
Kedua: Musafir budak Imam Musa Kazhim As berkata, “Tatkala mereka ingin membawa Imam Musa bin Ja’far As, Imam Musa memerintahkan Imam Ali bin Musa al-Ridha As untuk tidur setiap malam di rumahnya hingga datang sebuah berita kepadanya.” Musafir mengimbuhkan, “Kami setiap malam menggelar tikar (kasur) untuk Imam Ridha As, setelah salat Isya kami tidur di tempat itu dan ketika pagi tiba kami pergi ke rumah masing-masing. Kondisi ini berlanjut hingga empat tahun. Suatu malam kami menggelar tikar untuk tidur namun beliau tidak datang. Kami, istri dan anak-anak beliau merasa gundah mengapa beliau terlambat. Keesokan harinya beliau datang dan masuk ke rumah lalu pergi kepada Ummu Ahmad lalu berkata, “Berikanlah apa yang diserahkan ayahku (dalam kapasitasnya sebagai imam) kepadamu.” Ummu Ahmad menjerit, menampar wajah, meronta lalu menangis. Ia berkata, “Demi Allah! Junjunganku telah meninggal!” Imam Ridha menahannya dan berkata kepadanya, “Janganlah engkau berkata-kata tentang masalah ini hingga berita resmi sampai kepada gubernur.” Sebuah keranjang yang merupakan amanat berisikan dua ribu atau empat Dinar diserahkan kepada Imam Ridha dan tidak diberikan kepada orang lain.[6]
Hadis ini juga yang diriwayatkan dari kitab standar (al-Kafi) menunjukkan kebolehan (memukul kepala dan dada); karena berdasarkan nukilan hadis ini tidak terdapat larangan dari Imam Ridha dan sekiranya perbuatan (memukul kepala dan dada) itu dilarang secara syar’i tentu saja Imam Ridha akan mengingatkannya.
Karena itu, tanpa ragu majelis-majelis duka yang diadakan secara normal (bukan ekstrem) dewasa ini dan para pecinta Ahlulbait As dan Imam Husain memukul dada mereka sebagai tanda duka adalah hal yang dibolehkan. [iQuest]
Untuk menelaah jawaban-jawaban lain atas pertanyaan ini silahkan Anda melihat beberapa indeks terkait berikut:
Majelis Duka Imam Husain As Biang Kehidupan Masyarakat, Pertanyaan 11457 (Site: id11275)
Peran Majelis Duka Imam Husain As, Pertanyaan 11460 (Site: id11278)
[1]. Ketetapan (taqrir) Imam Maksum artinya adalah bahwa sebuah pekerjaan dilakukan di hadapan seorang Imam Maksum As atau sebuah ucapan disampaikan di hadapannya namun Imam Maksum tersebut tidak melarang pekerjaan dan ucapan tersebut.
[2]. Dalam hal ini, silahkan lihat “Amalan-amalan dan Ucapan-ucapan Para Maksum Dapat Dijadikan Hujjah, Jawaban No. 26384 (Site: fa7028) yang dapat Anda telaah pada site ini.
[3]. Penggalan syair yang dibacakan Imam Husain As dalam bahasa Arab:
يَا دَهْرُ أُفٍّ لَكَ مِنْ خَلِيلٍ
كَمْ لَكَ بِالْإِشْرَاقِ وَ الْأَصِيلِ
مِنْ صَاحِبٍ وَ طَالِبٍ قَتِيلٍ
وَ الدَّهْرُ لَا يَقْنَعُ بِالْبَدِيلِ
وَ إِنَّمَا الْأَمْرُ إِلَى الْجَلِيلِ
كُلُّ حَيٍّ سَالِكٌ سَبِيلِي
[4]. Muhammad Mufid, al-Irsyâd, Muhammad Baqir Sa’idi Khurasani, hal. 444 dan 445, Nasyir Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1380 S.
[5]. Abu Manshur Ahmad bin Ali Thabarsi, al-Ihtijâj, jil. 2, hal. 305, Nasyr Murtadah Masyhad Muqaddas, 1403 H.
[6]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 381 dan 382, dengan memanfaatkan terjemahan Zendegani Hadhrat Imam Musa Kazhim As, hal. 226 & 227.
"و أنت بحمد الله عالمة غير معلمة فهمة غير مفهمة"