Sebagaimana yang Anda perhatikan bahwa pada akhir ayat ini disebutkan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan keji, apabila ia menyesal dan bertaubat atas apa yang telah dilakukannya, artinya memutuskan untuk tidak lagi melakukan perbuatan tersebut, maka ia tidak boleh dihukum.
Rasulullah Saw dua bulan sebelum wafatnya, pada khutbah Hajjat al-Wida (haji perpisahan), yang merupakan khutbah terakhir dan umum Rasulullah, menyampaikan hukuman-hukuman wanita bersuami yang melakukan perbuatan bertentangan dengan kemuliaannya sebagaiman berikut, “Ayyuhannas!Fainnalakum ‘ala nisaikum haqqan walahunna ‘alaikum haqqan. Lakum ‘alaihinna an la yu’thiinna firasyakum ahadan tukrihunahu wa ‘alaihinna an laa ya’tina bifahisyatin mubayyinatin. Fain fa’alna fainnaLlâh qad adzina lakum an tahjiruhunna fi al-madhaji’ wa tadhribuhunna dharban ghaira mubarrih. Fain intahina falahunna rizquhunna wa kiswatuhunna bilma’ruf. Wahai Manusia! Kalian memiliki hakatas wanita-wanita kalian dan mereka memiliki hak katas kalian. Hak kalian atas mereka adalah bahwa ia tidak memberikan jalan kepada orang lain yang engkau tidak senangi ke rumah kalian, dantidak melakukan keji yang nyata; apabila seperti itu Allah Swt telah memberikan kepada kalian izin untuk menjauhkannya dari pembaringanmu dan pukullah mereka yang tidak melukai badannya. Karena itu apabila mereka menjauhi perbuatan tersebut maka mereka memiilki hak untuk menerima nafkah dan pakaiannya berdasarkan pandangan masyarakat (urf).”Khutbah ini merupakan hukum terakhir yang dikeluarkan Rasulullah Saw terkait dengan para wanita bersuami yang melakukan perbuatan zina.Setelah menyampaikan pidato ini, wahyu untuk selamanya tidak lagi diturunkan; dan di sinilah ayat terakhir diturunkan yang menegaskan bahwa hari ini telah disempurnakan agama Islam (al-yaum akmaltu lakum dinakum).Satu-satunya hukum yang disebutkan bagi wanita bersuami yang melakukan perbuatan bertentangan dengan kemuliaan mereka dalam pidato ini adalah bahwa suaminya harus menekannya supaya menjauh dan tidak lagi melakukan perbuatan keji?3. Apa hukumnya apabila seorang pezina itu pria atau wanita yang melakukan perjalanan dan suami (atau istrinya) di tempat lain? 4. Apa hukumnya Apabila zina muhshana dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan apakah dosanya diampuni apabila kemudian iabertaubat?
Terkait dengan wanita atau pria yang memiliki suami atau istri dan kemudian melakukan perbuatan zina (dengan memperhatikan syarat-syarat yang disebutkan) terdapat dua pandangan apabila keduanya adalah seorang pemuda (pemudi).Pertama, keduanya di samping harus dicambuk juga harus dirajam.Kedua, keduanya hanya menerima hukuman rajam.Apabila keduanya adalah orang tua maka pertama-tama keduanya harus dicambuk kemudian dirajam.
Apabila salah seorang pasangan suami-istri melakukan zina semasa dalam perjalanan kemudian salah satu dari keduanya melakukan perbuatan zina maka mereka tidak akan dirajam. Apabila pezina melakukan taubat sebelum dibeberkan bukti-bukti maka hukuman akan gugur dan tidak akan dikenakan kepadanya. Namun apabila ia bertaubat setelah dibeberkan bukti-bukti, pada masa kehadiran Imam Maksum As maka Imam Maksum memiliki pilihan apakah ia dimaafkan atau dikenakan hukuman. Terlepas apakah hukum tersebut adalah rajam atau selainnya, dan mungkin juga ada benarnya (lâyab’ud) apabila pilihan ini juga dapat dilakukan oleh para deputi Imam Maksum (baca: mujtahid yang memenuhi syarat).
Pengaruh ukhrawi dan pengurangan azab ukhrawi keduanya dapat terealisir atau hukuman telah dikenakan kepadanya atau hukuman belum dikenakan kepadanya.
Pertama, apabila ia bertaubat maka ia akan mendapatkan kemurahan Ilahi; karena dari sekumpulan ayat dan riwayat dapat disimpulkan bahwa Allah Swt tidak akan mengazab orang-orang yang bertaubat (dengan catatan taubat yang sebenarnya dengan menjalankan syarat-syaratnya). Namun apabila hukuman telah dikenakan kepadanya paling tidak dengan dua dalil ia tidak akan mendapatkan hukuman lagi di akhirat:
1. Berdasarkan beberapa riwayat hukuman-hukuman Ilahi adalah pensuci (mutahhir) dan pembersihyaitu mensucikan para pendosa dari noda-noda dosa.
2. Pada dasarnya apabila seseorang itu adil tidak akan menghukum seseorang (pendosa) dua kali atas sebuah perbuatan dosa. Apatah lagi Allah Swt yang Mahaadil tentu tidak akan menghukum dua kali atas sebuah perbuatan dosa.
Pertanyaan ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian kemudian dijawab berdasarkan urutan pertanyaannya.
Apa Hukum terakhir bagi pezina muhshanah (yang telah bersuami atau beristri) dalam Islam?
Pria dan wanita yang memiliki istri dan suami kemudian melakukan perbuatan zina (dengan memperhatikan syarat-syarat yang akan dijelaskan) apakah ia seorang pemuda (atau pemudi) atau tua renta yang masing-masing memiliki hukum khusus tersendiri.
Menurut sebagian riwayat yang disebutkan terkait dengan masalah ini dan berdasarkan riwayat tersebut para juris mengeluarkan fatwa jawabannya adalah bahwa apabila ia seorang pemuda maka ia hanya harus dirajam.[1]
Namun apabila ia seorang tua maka pertama ia harus dicambuk kemudian dirajam.[2]
Catatan: Apabila seseorang (tahu atau tidak tahu) melakukan zina dengan seorang wanita yang telah bersuami (suami dengan akad permanen atau temporal) maka pria tersebut tidak akan pernah dapat menikahi wanita itu selamanya (terlepas dari apakah suami wanita tersebut telah menggauli [memasukkan alat kelaminnya] atau tidak) meski suaminya telah berpisah darinya.[3]
Rasulullah Saw menyampaikan sabdanya pada Khutbah Ghadir Khum sebagai berikut, “Hak yang kalian miliki atas wanita-wanita kalian adalah tidak memasukkan orang asing ke dalam rumah Anda, tidak memberikan izin kepada seseorang yang kalian tidak sukai untuk masuk ke rumah kalian tanpa izin dari kalian, dan tidak melakukan perbuatan keji, maka apabila mereka melakukan hal ini Anda dapat menjauhkannya dari pembaringan! Dan (apabila tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan intensitas perbuatan untuk memaksa ia menunaikan kewajibannya) kalian menghukum mereka namun tanpa melukai badannya, dan apabila ia berubah menjadi taat maka kalian harus menyerahkan makanan dan pakaian kepada mereka (menafkahi).”[4]
Khutbah Rasulullah Saw dan Penjelasan Hukum Zina
Rasulullah Saw dalam khutbah ini menyampaikan tiga persoalan terkait dengan hak pria atas wanita yang sama sekali tidak bermakna zina. Pertama bahwa Rasulullah Saw bersabda, “an la yu’thiinna firasyakum ghairakum” (Tidak memasukkan orang lain ke dalam rumah Anda selain Anda). Abdul Qadir Mulla Huwaisy dalam kitab Bayân al-Ma’âni sekaitan dengan redaksi sabda Rasulullah Saw ini, menjelaskan, “Yaitu mereka (kaum wanita) tidak memasukkan seseorang ke rumah tanpa izin untuk bercakap-cakap dengannya; karena pada masa jahiliyyah hal seperti ini berlaku secara resmi dan tidak dipersoalkan bagi kaum wanita yang mengundang orang-orang ke rumah untuk bercakap-cakap dengan mereka dan hal ini tidak bermakna zina.”[5]
Bagian kedua sabda Rasulullah Saw yang tentu saja tidak ada hubungannya dengan zina.
Adapun sehubungan dengan bagian ketiga sabda Rasulullah Saw, Ibnu Arabi dalam kitab “Ahkam al-Qur’an”, menulis, “Dari sabda Rasulullah Saw ini dapat disimpulkan bahwa wanita nusyuz(durhaka kepada suami) tidak perlu diberikan nafkah dan pakaian. Dan fâhisyah (pelaku perbuatan keji) tidak bermakna zina.”[6]
Hal ini disokong dengan memperhatikan penyandaran Rasulullah Saw pada ayat 34 surah al-Nisa yang menyoroti masalah nusyuz para wanita (bukan zina) dan dengan memperhatikan bahwa fahisyah disebut secara mutlak bagi perbuatan tidak layak dan keji wanita bukan zina.[7]
Hukum Zina dalam Perjalanan dan Tiadanya Istri atau Suami?
Salah satu syarat untuk merajam seorang pezina yang dijelaskan adalah bahwa istri atau suaminya berada dalam jangkauannya atau terdapat kemungkinan untuk mendekatinya karena itu apabila salah seorang pasangan suami istri dalam perjalanan dan masing-masing dari keduanya melakukan zina maka mereka tidak akan mendapatkan hukuman rajam.
Imam Shadiq As, dalam menjawab pertanyaan seseorang, bagaimana pendapat Anda tentang seorang pria yang dalam perjalanan (jauh dari istrinya) melakukan zina, bersabda, “Orang seperti ini tidak akan dirajam.”[8]
Hukum Taubat bagi Pezina Muhshanah dan Kemungkinannya
Adapun persoalan taubat dapat dikaji dari dua sisi. Sisi pertama efek duniawi dan pengurangan dalam pelaksanaan hukuman yang juga memiliki dua bentuk:
1. Bertaubat sebelum dibeberkan bukti-bukti.
2. Bertaubat setelah dibeberkan bukti-bukti.
Apabila seorang pezina bertaubat sebelum dibeberkannya bukti-bukti maka hukuman baginya akan gugur dan tidak akan dikenakan kepadanya, terelpas apakah hukumannya itu adalah rajam atau cambuk. Demikian juga apabila sebelum disampaikannya kesaksian maka hukuman akan gugur baginya.[9]
Namun seseorang yang telah melakukan perbuatan dosa dan layak dihukum apabila ia bertaubat setelah dibeberkannya bukti-bukti atau setelah disampaikannya kesaksian, apabila hal tersebut terjadi pada masa kehadiran seorang Imam Maksum, maka Imam Maksum As memiliki pilihan apakah orang tersebut dimaafkan atau hukuman dikenakan kepadanya. Terlepas dari apakah hukuman orang tersebut adalah hukuman rajam atau selainnya dan mungkin juga ada benarnya (lâyab’ud) apabila pilihan ini juga dapat dilakukan oleh para deputi Imam Maksum (baca: mujtahid yang memenuhi syarat)..[10]
Efek Ukhrawi dan Pengurangan Azab Ukhrawi
Pengaruh ukhrawi dan pengurangan azab ukhrawi keduanya dapat terealisir atau hukuman telah dikenakan kepadanya atau hukuman belum dikenakan kepadanya.
Apabila ia bertaubat maka ia akan mendapatkan kemurahan Ilahi; karena dari sekumpulan ayat dan riwayat dapat disimpulkan bahwa Allah Swt tidak akan mengazab orang-orang yang bertaubat (dengan catatan taubat yang sebenarnya dengan menjalankan syarat-syaratnya). Kami akan menyebutkan satu riwayat sehubungan dengan masalah ini.
Diriwayatkan dari Imam Baqir As yang bersabda, “…Rasulullah Saw bersabda di atas mimbarnya, “…. Demi Dia yang selain-Nya tidak layak untuk disembah.Allah Swt tidak akan mengazab seorang mukmin pun setelah taubat dan istighfar kecuali karena buruk sangkanya kepada Tuhan dan berputus asa, berakhlak jelek dan menggunjing orang-orang beriman.”[11]
Namun apabila hukuman dikenakan kepadanya paling tidak, dengan dua dalil, ia tidak akan lagi dihukum di akhirat:
1. Berdasarkan beberapa riwayat menyebutkan bahwa hukuman-hukuman Ilahi adalah pensuci (mutahhir) dan pembersih yaitu mensucikan para pendosa dari noda-noda dosa. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa seseorang datang kepada Amirul Mukminin As dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Aku telah melakukan zina. Bersihkanlah aku dari dosa. Semoga Allah Swt mensucikanmu dari dosa. Karena azab dunia lebih mudah ketimbang azab akhirat yang sekali-kali tidak akan terputus…”[12]
2. Pada dasarnya apabila seseorang itu adil tidak akan menghukum seseorang (pendosa) dua kali atas sebuah perbuatan dosa. Apatah lagi Allah Swt yang Mahaadil tentu tidak akan menghukum dua kali atas sebuah perbuatan dosa. Dalam beberapa riwayat yang dinukil dari Imam Ali As yang bersabda bahwa, “Allah Swt sangat agung dan sangat mulia untuk menghukum hamba-Nya dua kali.”[13][IQuest]
Indeks Terkait:
Pertanyaan 2688 (Site: 2914), Hukum Berzina dengan Wanita Bersuami
[1]. Tahrir al-Wasilah, Sayid Ruhullah Musawi Khomeini, jil.2, hal.463, Masalah Kedua, Muassasah Dar al-‘Ilm, Cetakan Pertama, Qum, Iran.Al-Ishtibshâr, Syaikh Thusi, jil.4, hal.202, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1390 H.
عَنْ أَبِی جَعْفَرٍ (ع) قَالَ قَضَى أَمِیرُ الْمُؤْمِنِینَ (ع) فِی الشَّیْخِ وَ الشَّیْخَةِ أَنْ یُجْلَدَا مِائَةً وَ قَضَى فِی الْمُحْصَنِ الرَّجْم...
[2]. Tahrir al-Wasilah, jil.2, hal.463 dan 464.Al-Ishtibshâr, jil.4, hal. 202.
عَنْ أَبِی جَعْفَرٍ (ع) قَالَ قَضَى أَمِیرُ الْمُؤْمِنِینَ (ع) فِی الشَّیْخِ وَ الشَّیْخَةِ أَنْ یُجْلَدَا مِائَةً وَ قَضَى فِی الْمُحْصَنِ الرَّجْم... .
[3]. Rasâil al-Syarif al-Murtadha, Musawi, Syarif Murtadha, Ali bin Husain, Sayid Mahdi Rajai, jil. 1, hal.130, Dar al-Qur’an al-Karim, Qum, Iran, Cetakan Pertama, 1405 H.Tahrir al-Wasilah,jil.2, hal.281, Masalah 22.
[4]. Nafahât al-Azhâr fi Khulâsati ‘Aqâbat al-Anwâr, Sayid Ali Milani, jil.2, hal. 71, Nasyr Mehr, Qum, 1414:
“أیها الناس! ان لنسائکم علیکم حقا و ان لکم علیهن حقا، لکم علیهن الا یوطئن فرشکم غیرکم، و لا یدخلن أحدا تکرهونه بیوتکم الا باذنکم، و لا یأتین بفاحشة، فان فعلن فان اللّه قد أذن لکم أن تعضلوهن و تهجروهن فی المضاجع و تضربوهن ضربا غیر مبرح، فان انتهین و أطعنکم فعلیکم رزقهن و کسوتهن بالمعروف "
[5]. Bayân al-Ma’âni, Abdul Qadir Mulla Huwaisy, jil.8, hal.188, al-Taraqqi, Damaskus, 1383 H.
، "و لکم علیهن أن لا یوطئن فرشکم أحدا تکرهون، أی لا یؤذن لأحد بالدخول لیتحدث معهن (و کان هذا عند الجاهلیة لا بأس به، و لا یتصور فیه معنى آخر کالزنى مثلا، لأن فیه الحد و الرجم) یؤیده قوله (فإن فعلن ذلک فاضربوهن) (و قد أجمع العلماء على أن المراد بهذا الضرب) ضربا غیر مبرح (فلو کان المراد به الزنى لقال علیهن الحد و الرجم.
[6]. Ahkâm al-Qur’ân, Muhammad bin Abdillah Ibnu al-‘Arabi, jil. 1, hal. 420, tanpa tahun, tanpa keterangan tempat penerbitan:
قال: أیها الناس، إنّ لکم على نسائکم حقّا، و لنسائکم علیکم حقا لکم علیهنّ ألا یوطئن فرشکم أحدا تکرهونه، و علیهن ألّا یأتین بفاحشة مبیّنة، فإن فعلن فإنّ اللّه تعالى قد أذن لکم أن تهجروهنّ فی المضاجع و تضربوهن ضربا غیر مبرّح، فإن انتهین فلهنّ رزقهنّ و کسوتهن بالمعروف.و فی هذا دلیل على أنّ الناشز لا نفقة لها و لا کسوة، و أن الفاحشة هی البذاء لیس الزنا کما قال العلماء، ففسر النبىّ صلّى اللّه علیه و سلّم الضرب، و بیّن أنه لا یکون مبرّحا، أى لا یظهر له أثر على البدن، یعنى من جرح أو کسر.
[7]. Tafsir Nemune, Makarim Syirazi, jil. 3, hal.320, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1374.
[8]. Wasâil al-Syiah, Syaikh Hurr Amili, jil.28, hal. 74, 34243 dan 34242, Muassasah Ali al-Bait, Qum 1409 H.
[9]. Tahrir al-Wasilah, jil.2, hal.462, Masalah 16.
[10]. Tahrir al-Wasilah, jil.2hal. 460, Masalah 16.
[11]. Al-Kâfi, Kulaini, jil.2, hal.71 & 72, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S. Ushul Kafi, terjemahan Kumrei, jil.4, hal. 221.
[12]. Man Lâ Yahdhuruh al-Faqih, Syaikh Shaduq, jil. 5, hal. 354-356, Hadis 5018, Nasyr Shaduq, Cetakan Pertama, Teheran, 1367 S.
[13]. Durar al-Akhbâr, Sayid Mahdi Hijazi, Sayid Ali Ridha Hijazi, Aidi Khusyrusyahi, hal. 95, Daftar Muthala’at Tarikh wa Ma’arif Islami, Cetakan Pertama, Qum, 1419.