Islam tidak memberikan batasan usia terkait pada keabsahan akad nikah. Dan hal ini dikembalikan kepada kedua belah pihak (ketika nanti keduanya telah mencapai baligh) dan para wali syar’inya memberikan restu atas pernikahan keduanya. Seluruh mazhab Islam memandang benar dan sahih pernikahan putri berusia belia yang belum sampai pada usia baligh. Dan demikian juga pernikahan putra berusia belia yang belum mencapai usia baligh dengan izin wali syar'i keduanya (ayah atau kakek dari pihak ayah). Masalah ini pernah terjadi dalam kehidupan Rasulullah Saw dalam pernikahannya dengan Aisyah. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa kebolehan melangsungkan akad nikah, tidak bermakna dibolehkannya memperoleh seluruh kenikmatan seksual dan hubungan suami-istri serta sebagian kenikmatan seksual antara suami dan istri lainnya. Karena hal ini bersyarat pada usia tertentu pihak wanita (istri), sehingga kecelakaan jasmani dan mental yang bakalan dideritanya dapat dicegah.
Apabila suami melanggar aturan Islam ini dan menggauli istrinya yang masih belum baligh (bocah belia) sehingga perbuatanya ini menyebabkan kerugian terhadap keselamatan jasmani istrinya, maka dalam pandangan Islam, di samping perempuan itu (istri) menjadi haram secara permanen baginya, ia juga diancam hukuman material yang cukup berat sebagaimana yang dijelaskan oleh para fukaha (juris) besar Syiah dalam kitab-kitab fikih dan risalah amaliah mereka.
Terang bahwa penjelasan dibolehkannya secara praktik (amali) tidak bermakna bahwa amalan tersebut harus dilakukan atau dianjurkan untuk melakukannya. Melainkan bermakna bahwa apabila seseorang melakukan perbuatan ini, maka ia akan terhindar dari perbuatan haram dan melanggar syariat.
Harus diperhatikan bahwa pertama, hukum ini harus dipandang dalam kaitannya dengan peran dan hak-hak yang diberikan Islam kepada para wali putri yang belum baligh. Para wali harus memperhatikan bahwa hanya dan hanya ketika pernikahan ini mengandung maslahat dan kebaikan untuk putrinya, mereka dapat melakukan pernikahan tersebut.
Kedua, fakih (juris) dan mujtahid Syiah tidak dapat memberikan fatwanya sesuai dengan selera dan sangkaannya sendiri, melainkan fatwanya itu harus disesuaikan dengan ayat dan riwayat serta kaidah-kaidah standar fikih. Meski fatwa ini tidak sesuai dengan keinginan sebagian orang dan tidak peduli apakah orang-orang mengamalkannya atau tidak mengamalkanya pada tataran praktis.
Dalam pandangan Islam, pernikahan putra dan putri belia yang belum mencapai usia baligh dapat dilangsungkan dengan wilâyah dan wewenang (baca: izin dan restu) wali syar'i (ayah atau kakek dari pihak ayah) mereka. Dengan adanya izin dan restu ini, maka pernikahan keduanya benar dan sahih. Dalam masalah ini, Syiah sependapat dengan Sunni. Dalam kitab al-Fiqh 'ala Madzâhib al-Khamsah disebutkan, "Seluruh mazhab Islam sepakat bahwa wali memiliki hak untuk menikahkan putra dan putri belia (di bawah usia baligh) atau yang gila dengan suami atau istri yang sesuai. Akan tetapi Syafi'i dan Hanbali menyatakan bahwa wilâyah dan wewenang (baca: izin dan restu) terkhusus kepada putri belia yang perawan dan tidak termasuk belia non-perawan.[1] Demikian juga, Syiah dan Syafi'i meyakini bahwa di antara para wali anak kecil yang memiliki hak adalah hanya ayah dan kakek dari pihak ayah. Maliki dan Hanbali meyakini bahwa hanya ayah yang memiliki wilâyah (wewenang) semacam ini.
Maliki dan Hanbali meyakini bahwa hanya ayah yang memiliki wilayah semacam ini. Hanafi meyakini bahwa seluruh famili dan kerabat bahkan saudara dan paman, memiliki wilayah semacam ini.[2] Sementara keluasan wilayah ini atas seorang belia, tidak diterima oleh fukaha Syiah.
Karena itu, seluruh mazhab Islam memandang benar pernikahan semacam ini. Dan lebih dari itu, sesuai dengan nukilan Ahlusunnah terkait dengan masalah ini bahwa hal ini juga terjadi pada kehidupan Rasulullah Saw yang menikah dengan Aisyah. Beliau meminang Aisyah dan sesuai izin ayahnya (Abu Bakar) ketika ia masih berusia enam tahun. Akan tetapi ritual malam pertama (zhafâf) dan senggamanya dilakukan ketika Aisyah telah mencapai usia baligh.[3]
Namun demkian, sudah lama sebagian orang berusaha, karena penyimpangan dalam pikirannya, mempertanyakan realitas hukum Islam ini dan memperbesar masalah-masalah yang tidak ril dan menyandarkannya kepada pendiri Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini Ra, orang-orang Syiah dan Republik Islam Iran. Mereka mengadakan perang anti-propaganda dengan memperbesar masalah ini. Namun sayang, sebagian orang yang kurang informasi juga terjerembab dalam syubha ini dan berpikir bahwa hal ini (pernikahan dengan wanita usia belia) merupakan rekaan dan ciptaan Syiah? Untuk menjelaskan persoalan ini kiranya perlu diperhatikan beberapa poin di bawah ini:
1. Islam tidak mengemukakan batasan usia atas validitas dan kebenaran akad nikah. Urusan ini dikembalikan kepada kedua belah pihak yang bersangkutan (dengan syarat telah mencapai usia baligh) dan kepada para wali mereka supaya menimbang beberapa kondisi tertentu, faktor keluarga, kaum, letak geografis dan sebagianya.
2. Bolehnya dilangsungkan acara akad nikah, tidak bermakna bolehnya mendapatkan kenikmatan seksual dan hubungan badan di antara keduanya; karena sebagian kenikmatan seksual di antara pria (suami) dan wanita (istri) bersyarat pada usia tertentu pihak wanita (istri) sehingga pelbagai kecelakaan jasmani dan mentalnya dapat dicegah. Dan apabila suami melanggar aturan Islam ini dan menggauli istrinya yang belum baligh, serta menyebabkan kerugian keselamatan jasmaninya, maka dalam pandangan Islam, di samping istri tersebut haram baginya secara permanen, denda berat uang juga akan dikenakan kepadanya yang dijelaskan para fakih besar Syiah dalam kitab-kitab fikih dan risalah mereka semenjak awal kemunculan Islam hingga kini. Syaikh Mufid (413 H) terkait dengan hal ini berkata, "Bilamana ada seorang pria menggauli seorang putri yang usianya kurang dari sembilan tahun dan perbuatannya ini menyebabkan "ifdhâ" (sobeknya rahim wanita), maka ia harus menyerahkan diyat secara sempurna dan harus membayar seluruh pengeluaran putri tersebut hingga akhir usianya."[4] Demikian juga, juris besar Syiah, Ibnu Idris Hilli (589) berkata, "Barang siapa yang menggauli istrinya yang masih belum mencapai usia sembilan tahun, maka istri tersebut haram selamanya (hurmat abadi) baginya.[5] Imam Khomeini Ra dalam menjelaskan pelbagai hukuman atas perbuatan ini dari sudut pandang Islam berkata: "Apabila seorang pria menggauli istrinya yang masih belum lengkap berusia sembilan tahun dan ia melakukan "ifdhâ" atasnya, maka hubungan suami istri baginya menjadi haram selamanya. (Di samping itu), ia harus menyerahkan diyat secara sempurna dan membayar seluruh pengeluaran bagi putri tersebut hingga akhir usianya, dan juga ia harus membayar seluruh maharnya…"[6]
Dengan memperhatikan pelbagai hukuman berat ini, dan demikian juga mengingat peran dan hak-hak yang diberikan Islam kepada para wali yang menghendaki kebaikan dan maslahat bagi putrinya yang belum baligh, mereka sepenuhnya harus sadar untuk menikahkan putri belianya yang sesuai dengan kemaslahatannya. Dan sekali-kali tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kemaslahatan putrinya. Dan tentunya terdapat dalil yang jelas terkait dengan masalah ini. Apabila Anda melakukan riset dan penelitian dalam masyarakat Syiah, maka Anda akan jarang menjumpai pernikahan dengan putri-putri berusia belia, apatah lagi bocah putri yang masih menyusu? Dengan memperhatikan beberapa persoalan di atas, apakah Islam membuka jalan bagi pemenuhan syawat hewani dan kekerasan atau berpikir ekstra dan jauh ke depan dan mencegah pelbagai jenis penyalahgunaan yang dapat ditimbulkan dari pemenuhan syahwat binatang ini?
3. Jelas, bahwa penjelasan tentang dibolehkannya sebuah perbuatan itu, tidak bermakna bahwa perbuatan tersebut harus dilakukan, melainkan bermakna bahwa apabila ada seseorang yang melakukan hal ini, maka tujuannya adalah agar ia tidak melakukan perbuatan haram dan melanggar syariat.
4. Apa yang telah dijelaskan di atas adalah ihwal dibolehkannya inti pernikahan. Selain itu, terdapat beberapa riwayat yang menegaskan untuk sebaiknya tidak menikah sebelum mencapai usia baligh.[7] Apatah lagi masa menyusu.
Atas dasar ini, maka pada tataran perbuatan, kaum muslimin tidak dianjurkan untuk melakukan pernikahan semacam ini, kecuali karena alasan tertentu yang jarang sekali atau bahkan tidak pernah terjadi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa dewasa ini jenis pernikahan sedemikian tidak dapat kita saksikan pada dunia realitas. Demikian juga pada masa-masa yang lalu pernikahan model seperti ini amat jarang terjadi. Dalil orang-orang melakukan pernikahan seperti ini terkadang karena dimotivasi oleh keinginan-keinginan luhur; misalnya pernikahan dengan anak putri yang masih menyusu dimana pada sebuah peristiwa yang mengenaskan seluruh kerabat dan keluarganya telah tewas dan tidak ada seorang pun yang memikul tanggung jawab untuk merawatnya, atau misal yang lain seperti untuk menciptakan hubungan mahramiyah (mahram) di antara pria dan wanita yang kerja di satu tempat dan saling berinteraksi satu dengan yang lain; supaya dalam lingkungan keluarga dan kerabat tidak terjerembab pada perbuatan haram (dengan memeprhatikan kondisi-kondisi hidup dan perumahan pada masa-masa sebelumnya), maka –ketika itu- ibu menikahkan anak putrinya yang masih menyusu dengan seorang pria, supaya secara syar'i wanita tersebut menjadi mertua perempuan baginya, sehingga bebas berinteraksi antara satu dengan yang lain. Atau seorang ayah yang ingin menikahkan anak putrinya yang masih belia dengan seorang pembesar untuk mendapatkan kehormatan kekerabatan dengan pembesar tersebut; seperti Abu Bakar yang menikahkan anak putrinya yang masih belia dengan Rasulullah Saw. Dengan adanya motivasi-motivasi seperti ini, toh pernikahan dengan anak belia yang belum sampai usia baligh sangat jarang terjadi. Dan yang lebih jarang lagi pernikahan dengan anak wanita kecil yang masih menyusu.
Namun demikian, fakih dan mujtahid memiliki tugas untuk menjelaskan hukum Tuhan sehingga ketika orang-orang menghadapi persoalan seperti ini, mereka tahu apa yang harus dilakukan.
5. Apabila terjadi pernikahan seperti ini, seluruh fakih dan ulama Syiah menegaskan bahwa suami dapat memperoleh kenikmatan-kenikmatan seksual rasional lainnya seperti, mencium, meraba dan sebagainya dari istrinya yang belum mencapai usia sembilan tahun. Fadhil Miqdad, salah satu fakih Syiah pada abad kesembilan (826 H) dalam hal ini berkata, "Sepanjang tidak melakukan ifdhâ, maka tidak ada masalah (untuk memperoleh) kenikmatan-kenikmatan lainnya; seperti mengecup, meraba..."[8] Demikian juga fakih terkemuka lainnya pengarang kitab Jawahir al-Kalam (Shâhib al-Jawâhir) dalam hal ini berkata, " …tidak ada masalah memperoleh kenikmatan seksual lainnya selain melakukan penetrasi (dukhûl)…"[9] Seluruh fukaha kiwari Syiah juga dalam hal ini sepakat dengan para fukaha terdahulu dan terkini, sebagai contoh fakih kiwari Ayatullah Fadhil Langkarani yang berpandangan bahwa, "mengingat dalam sebagian riwayat menunjukkan adanya larangan terhadap kenikmatan seksual berupa penetrasi, maka menjadi jelas bahwa kenikmatan seksual lainnya boleh dilakukan."[10]
Akhir kata, kiranya kita perlu menyebutkan dua poin penting dalam masalah ijtihad dalam mazhab fikih Syiah:
1. Harus diperhatikan bahwa fakih dan mujtahid Syiah tidak mengeluarkan fatwa dari dirinya sendiri melainkan mendasarkan fatwanya dengan ayat-ayat Al-Qur'an dan riwayat serta kaidah-kaidah standar fikih. Karena itu, kendati fatwa ini tidak sejalan dengan selera sebagian orang, namun fakih yang mengeluarkan fatwa semata-mata bertugas untuk menjelaskan hukum Tuhan.
2. Seorang fakih harus menjelaskan hukum Tuhan dan tidak peduli apakah masyarakat mengamalkan fatwa tersebut atau tidak.
Pendapat Hadhrat Ayatullah Mahdi Hadawi Tehrani (Semoga Allah melanggengkan keberkahannya) ihwal nikah mut'ah dengan anak putri yang masih menyusui sebagai berikut:
1. Untuk pernikahan permanen (daim) atau temporal (mut'ah) tidak terdapat batasan usia. Akan tetapi apabila pernikahan dilangsungkan sebelum usia baligh, pernikahan tersebut akan benar apabila wali syar'i (ayah atau kakek dari pihak ayah) yang melangsungkan pernikahan tersebut dan harus dilakukan berdasarkan kemaslahatan anak tersebut. Meski pernikahan sebelum baligh ada baiknya dihindari sehingga kedua belah pihak dapat mengenal dengan baik dan sempurna satu dengan yang lain sebelum melangsungkan pernikahan dan tentunya kehidupan rumah tangga yang mereka akan bina akan lebih kokoh.
2. Apabila seorang anak putri menikah secara permanen atau temporal sebelum mencapai usia baligh, maka tidak dibenarkan menggauli dan bersenggama dengannya hingga ia mencapai usia baligh.[IQuest]
[1]. Ibnu Qudama, al-Mughni, jil. 14, hal. 543, Bâb al-Zuwâj, Nikah al-Shagirah, al-Maktbat al-Syamilah, Site al-Islam.
[2]. Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Khamsah, jil. 2, hal. 323, Dar al-Tayyar al-Jadid, Dar al-Jawad Beirut – Libanon, 1421 H, Cetakan Kesepuluh, Jil. 2; Lihat Mazhab Maliki; Al-Kharrasyi, 3/176. Qawânin al-Ahkâm Libni Hazi, hal. 222-223. Bidâyat al-Mujtahid, 2/5-6. Mazhab Hanbali: al-Mughni wa al-Syarh al-Kabir, 7/379-380. Al-Inshaf, 8/62 dan al-Mubdi’, 7/22-25. Mazhab Zhahiri: Al-Mahalli, 9/458-460. Sesuai dengan nukilan dari A’udh bin Raja bin Farij al-‘Aufi, al-Wilayah fi al-Nikah, Bag. Keempat, ‘Imadat al-Bahts al-‘Ilmi bil Jami’a al-Islamiyah, al-Madinah al-Munawwara, al-Mamlakati al-‘Arabiyah al-Sa’udiyyah, al-Thaba’ti al-Ula, 1423 H/2002 M. Matan Arab kitab Al-Fiqh ‘ala Madzhaib al-Khamsah:
“اتفقوا على أن للولی أن یزوج الصغیر و الصغیرة، و المجنون و المجنونة، و لکن الشافعیة و الحنابلة خصصوا هذه الولایة بالصغیرة البکر، أما الصغیرة الثیب فلا ولایة له علیها (المغنی ج 6 باب الزواج).و قال الإمامیة و الشافعیة: زواج الصغیرة و الصغیر موکول للأب و الجد للأب فقط دون غیرهما.و قال المالکیة و الحنابلة: بل للأب فقط.و قال الحنفیة: یجوز ذلک لجمیع العصبیات، حتى العم و الأخ.”
[3]. Muhammad bin Ismail Bukhari, Shahih al-Bukhâri, jil. 16, hal. 94 dan 96, Hadis 4738.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ یُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْیَانُ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِیهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِیَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِیَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِیَ بِنْتُ سِتِّ سِنِینَ وَأُدْخِلَتْ عَلَیْهِ وَهِیَ بِنْتُ تِسْعٍ وَمَکَثَتْ عِنْدَهُ تِسْعًا" ،( نسخه المکتبه الشامله ، موقع الاسلام ).
[4]. Muhammad bin Muhammad bin al-Nu’man al-Akbari al-Muknia’ al-Mufid, hal. 747, Al-Mu’tamar al-‘Alami li Alfiyah al-Syaikh Mufid Ra, 1413 H, Cetakan Pertama, Qum.
"...الرجل إذا جامع الصبیة و لها دون تسع سنین فأفضاها کان علیه دیة نفسها و القیام بها حتى یفرق الموت بینهما... "
[5]. Muhammad bin Manshur bin Ahmad, Ibnu Idris, al-Sarâir al-Hâwi li Tahrir al-Fatâwa, jil. 2, hal. 530, Muasassah al-Nasyr al-Islami al-Thabi’ah li Jama’at al-Mudarrisin, 1410 H, Cetakan Kedua, Qum.
"من وطأ زوجته و لها دون تسع سنین، حرّمت علیه أبدا، و فرّق بینهما بغیر خلاف بینکم فی ذلک.."
[6]. Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 242, Masalah 12, Muassasah Dar al-‘Ilm, Cetakan Pertama, Qum, edisi dua jilid.
" و إن أفضاها بأن جعل مسلکی البول و الحیض واحدا أو مسلکی الحیض و الغائط واحدا حرم علیه وطؤها أبدا لکن على الأحوط فی الصورة الثانیة، و على أی حال لم تخرج عن زوجیته على الأقوى، فیجری علیها أحکامها من التوارث و حرمة الخامسة و حرمة أختها معها و غیرها، و یجب علیه نفقتها ما دامت حیة و إن طلقها بل و إن تزوجت بعد الطلاق على الأحوط، بل لا یخلو من قوة، و یجب علیه دیة الإفضاء، و هی دیة النفس، فإذا کانت حرة فلها نصف دیة الرجل مضافا إلى المهر الذی استحقته بالعقد و الدخول".
[7]. Al-Kâfi, jil. 5, hal. 398.
عَنْ أَبِی عَبْدِ اللَّهِ أَوْ أَبِی الْحَسَنِ ع قَالَ قِیلَ لَهُ إِنَّا نُزَوِّجُ صِبْیَانَنَا وَ هُمْ صِغَارٌ قَالَ فَقَالَ إِذَا زُوِّجُوا وَ هُمْ صِغَارٌ لَمْ یَکَادُوا یَتَأَلَّفُوا.
[8]. Jamal al-Din al-Miqdad bin ‘Abdullah, Al-Fadhil al-Miqdad, al-Tanqih al-Rai’ Limukhtasar al-Syarâ’i, jil. 3, hal. 26, Kitab Khane Ayatullah al-Mar’asyi al-Najafi Ra, 1414 H, Cetakan Pertama, Qum, edisi empat jilid.
لا یدخل بالمرأة حتى یمضى لها تسع سنین... الثالثة) مع عدم الإفضاء یحرم تکرار الوطی لا غیره من التقبیل و العناق و التفخیذ..".
[9]. Muhammad Hasan al-Najafi, Jawâhir al-Kalâm fii Syarh Syarâ’i al-Islâm, jil. 29, Tashih: Syaikh Abbas Qucani, hal. 416, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Libanon, Cetakan Pertama, edisi 4 jilid.
" لا یحل وطء الزوجة حتى تبلغ تسع سنین إجماعا بقسمیه و نصوصا... نعم لا بأس بالاستمتاع بغیر الوطء للأصل السالم عن المعارض."
[10]. Muhammad al-Muwahhidi, Al-Fadhil al-Lankarani, al-Nikah (Tafsil al-Syari’a fii Syarhi Tahrir al-Wasilah), hal. 25. Markaz Fiqh al-Aimmah al-Athar ‘Alaihim al-Salam, 1421, Cetakan Pertama, Qum, edisi satu jilid.
الثانی: جواز سائر الاستمتاعات من الزوجة قبل إکمال تسع سنین أیضاً، و یدلّ علیه مضافاً إلى الأصل و إلى انّ أصل جواز التزویج ملازم لجوازها، و إلّا لا یبقى لجواز التزویج کثیر فائدة الروایات الناهیة عن الوطء و الدخول قبل إکمال تسع سنین، فانّ اللقب و إن لم یکن له مفهوم کما بین فی الأصول، إلّا أنّه لو کان سائر الاستمتاعات منها قبل الإکمال المزبور غیر جائز أیضاً لکان اللازم جعلها.